September 23, 2010

Memaknai Kembali Nasehat RMP Sosro Kartono, Renungan Kelima “Sugih Tanpa Bandha”

Sepasang suami istri setengah baya membicarakan tentang Nasehat RMP Sosro Kartono. Untuk mendekatkan rasa mereka menyebut beliau sebagai “Eyang” Sosro Kartono. Mereka menggunakan buku-buku Bapak Anand Krishna sebagai referensi mereka.

Sang Istri: Renungan kelima……….  “Sugih tanpa bandha. Digdaya tanpa adji. Nglurug tanpa bala. Menang tanpa ngasorake.”……… “Kaya tanpa harta. Kuat tanpa jimat. Mendatangi tempat musuh tanpa balatentara. Menang tanpa merendahkan.”……. Nampaknya Eyang Sosro Kartono menyampaikan pentingnya “kesejahteraan”, “kekuatan diri”,  “perdamaian” dan “menjaga kehormatan orang ”. Perdamaian dan menjaga kehormatan orang juga merupakan wujud dari “kasih”.

Sang Suami: Sebagai orang-orang terpelajar lulusan Universitas Belanda, para pemimpin kita pada awal pergantian milenea ke 20, sedikit banyak tentu memahami oleh Ajaran Theosofi. Para pengurus Boedi Oetomo  sangat spiritual. Demikian juga mestinya dengan “Eyang” Sosro Kartono yang pada tahun 1908 lulus dari universitas Leiden Belanda. Para pemimpin kita baik pada pergerakan tahun 1908, 1928 dan 1945 sangat spiritual. Mereka tidak ikut blok Kapitalis atau Komunis tetapi memimpikan persatuan bangsa yang diwujudkan dengan Sumpah Pemuda dan seterusnya Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika……. Kembali ke nasehat “Sugih tanpa bandha”, “kaya tanpa harta” atau “sejahtera”……. Istilah “kesejahteraan” itu sendiri mengandung makna holistik. Punya harta belum tentu sejahtera. Sejahtera berarti “tidak kekurangan”. Dan “tidak kekurangan” itu sendiri merupakan “sikap mental”. Ada yang memiliki 2 mobil dan masih merasa “kurang”. Ada yang berjalan kaki dan merasa “cukup”. Dalam hal ini, si pemilik mobil sesungguhnya belum sejahtera. Sebaliknya, si pejalan kaki sudah sejahtera. Dalam buku “Saptapadi, Tujuh Langkah Menuju Keluarga Bahagia” disampaikan bahwa…… “Kesejahteraan” sungguh sangat luas lingkupannya. Bukan saja kesejahteraan materi, tetapi juga kesejahteraan jiwa, kesejahteraan mental dan rasa. Nilai-nilai luhur yang ada di dalam budaya kita harus dikembangkan, dilakoni. Semuanya itu dapat membuat hidup kita sejahtera. Dan, nilai utama adalah cinta kasih. Bila hidup kita diwarnai olehnya, selesailah segala macam persoalan……..

Sang Istri: Benar suamiku, dalam buku “Mengikuti Irama Kehidupan Tao Teh Ching Bagi Orang Modern” disampaikan…….. Mengapa seseorang mengharapkan sesuatu? Karena la tidak sejahtera! Kesejahteraan tidak berarti kekayaan. la yang sejahtera, memiliki secukupnya, tidak berkelebihan, tidak kekurangan dan oleh karena itu ia tenang. la memiliki keseimbangan jiwa. Dan ia yang memiliki keseimbangan jiwa, tidak akan merasa kekurangan sesuatu. la tidak mengharapkan sesuatu. Ini harus kita renungkan bersama. Jadi harapan-harapan itu muncul, karena kita belum puas dengan situasi kita saat ini. Seseorang yang sudah merasakan kecukupan dalam hidupnya tidak akan mengharapkan tambahan lagi. la sudah tidak berambisi lagi…….

Sang Suami: Kepemilikan akan harta harus diganti dengan kepemilikan akan kesadaran. Kebahagiaan sementara yang tidak merupakan hasil dari ketentraman jiwa tidak akan bertahan lama. Kita mengharapkan kebahagiaan yang abadi. Dalam buku “Zen Bagi Orang Modern” disampaikan……. Terkendalinya pikiran menghasilkan kebahagiaan. “Kebahagiaan” merupakan suatu outcome, suatu hasil. Ia yang pikirannya kacau tidak pernah bahagia. Harta benda, kekuasaan,  dan ketenaran tidak sesuatu pun dapat membahagiakan Anda…….. Dalam buku “Sabda Pencerahan,  Ulasan Khotbah Yesus Di Atas Bukit Bagi Orang Modern” disampaikan…… Ketenaran, kedudukan dan kekayaan – tiga “K” ini merupakan perkembangan dari rasa kepemilikan kita. Rasa kepemilikan ini harus diganti dengan Kesadaran. Selama ini tidak terjadi, selama itu pula kita akan selalu terombang-ambing di tengah lautan kehidupan. Kita akan selalu menderita. Mengumpulkan harta di dunia berarti mengumpulkan tiga “K” tadi. Dan tiga “K” ini tidak langgeng, tidak abadi. Sewaktu kita masih memilikinya, kita senang. Begitu kehilangan, kita kecewa, kita sedih. Harta sorgawi yang dimaksudkan oleh Yesus adalah Kesadaran. Dalam lautan kesadaran, segala rasa terlarut dan jiwa kita menjadi bersih. Sekali rasa kesadaran ini terkembangkan, kita akan terbebaskan dari keterikatan-keterikatan duniawi……

Sang Istri: Dalam buku “Be Happy! Jadilah Bahagia Dan Berkah Bagi Dunia” dijelaskan bahwa……. Mengutamakan  “kebahagiaan”  tidak berarti bahwa uang tidak penting. Uang tetap penting, tetapi uang bukanlah segalanya. Bila uang dapat membahagiakan, semestinya orang kaya tidak pernah menderita, walaupun sakit. Ternyata tidak demikian. Penelitian di Barat, khususnya yang dilakukan oleh BBC dan Newsweek itu, telah menggugurkan mitos bahwa harta dapat membahagiakan. Kesehatan, relasi atau persahatan, dan kepuasan serta ketenangan batinlah yang membahagiakan manusia……..

Sang Suami: “Digdaya tanpa adji”, “Kuat  tanpa jimat” atau “kekuatan diri”……… “Eyang” Sosro Kartono menasehati agar kita kuat karena kekuatan diri dan tidak menggantungkan diri dari hal-hal di luar termasuk jimat. Mereka yang lemah selalu membutuhkan sandaran. Dalam buku “Be Happy! Jadilah Bahagia Dan Berkah Bagi Dunia” disampaikan……. Power adalah kekuatan yang berasal dari dalam diri sendiri. Sifatnya alami. Force adalah kekuatan yang berasal dari luar diri, dibuat-buat, tidak alami, termasuk bila kita percaya pada dukungan dari pihak lain, baik  institusi maupun perorangan…….. Dalam buku “Menemukan Jati Diri I Ching Bagi Orang Modern” disampaikan……. Orang bijak tidak pernah bersandar. Seorang diri, mandiri ia menghadapi setiap situasi. Yang tidak bijak selalu mencari sandaran. Yang bijak tidak membutuhkan sandaran. Itulah kelebihan seorang bijak. Lepaskan sandaran dan hadapilah hidup ini dengan penuh kesadaran, dan kau akan berhasil! Dilihat dari jauh, anda hampir tidak bisa membedakan mana yang bijak, mana yang tidak. Dua-duanya dalam keadaan berdiri tegak-lurus. Anda harus mendekati mereka untuk mengetahui, yang mana bijak, yang mana tidak bijak. Anda akan menemukan “yang tidak bijak” bersandar pada sesuatu, pada seseorang. Sebaliknya, “yang bijak” tidak membutuhkan sandaran…….

Sang Istri: “Eyang” Sosro Kartono menasehati agar kita tidak mengejar kesaktian, kewaskitaan dari luar diri. Kita kuat karena pengenalan diri bukan karena “jimat” di luar. Dalam buku ”Atisha, Melampaui Meditasi untuk Hidup Meditatif” disampaikan……. Kekuatan Pengenalan Diri ini tidak membuat anda sombong atau arogan. Sama sekali tidak. Anda tidak angkuh, tetapi percaya diri. Anda tahu persis kemampuan diri anda, sehingga anda bisa melangkah maju tak gentar! Anda juga tahu persis, apa yang hendak anda capai. Anda berhenti mengejar “kesaktian”, kewaskitaan” dan lain sebagainya, yang, kekuatan Pengenalan Diri justru membuat anda berhenti mengejar “kesaktian” dari luar diri. Sederhana sekali, yang  merasa “kuat” tidak akan mengejar kekuatan lagi…

Sang Suami: “Nglurug tanpa bala”, “mendatangi tempat musuh tanpa balatentara” atau membuat “perdamaian”…… “Eyang” Sosro Kartono membicarakan tentang pentingnya makna “damai” dan “kasih”. Dalam buku “Otak Para Pemimpin Kita, Dialog Carut Marutnya Keadaan Bangsa” disampaikan…… Bila Kedamaian dan Kasih menjadi program universal, bukan demi kepentinganku, tetapi demi kepentingan kita semua, bersama, maka dunia menjadi tempat yang sangat indah untuk dihuni. Kenapa Program Kedamaian dan Kasih? Karena Program-Program Kekacauan dan Kebencian sudah kita coba dengan memproduksi senjata dan amunisi dan menonjolkan perbedaan-perbedaan. Ternyata dunia kita menjadi tempat yang menyeramkan, tidak aman. Maka, marilah kita mencoba sesuatu yang lain. Bukan baru, Kasih dan Kedamaian bukanlah sesuatu yang baru, hanya saja dulu dipraktekkan oleh individu-individu tertentu. Sekarang kita praktekkan bersama, secara kolektif……….

Sang Istri: Dalam buku “The Gospel of Obama” disampaikan……. Kita bisa “hidup bersama dalam damai”. Rumusnya sederhana: Bebaskanlah nafsu keserakahan dan kendalikan keinginan. Kita jangan diperbudak oleh keinginan. Fokus pada faktor-faktor pemersatu yang mengikat kita semua sebagai satu keluarga besar. Jangan berfokus pada perbedaan. Yang penting, mari kita kembangkan cinta; mari kita tumbuhkan rasa welas asih antar sesama. Mari kita percaya akan persahabatan, bukan permusuhan…….. Dalam buku “Bersama Kahlil Gibran Menyelami ABC Kehidupan” disampaikan bahwa menyerang dengan balatentara dan merampas milik musuh adalah tanda keserakahan, tanda jiwa yang lemah…….. Sesungguhnya orang yang tamak, yang merampas hak orang lain amat sangat lemah. Dengan merampas hak orang lain, ia pikir bisa menjadi kuat. Mereka yang melakukan agresi, ingin merebut hak atas tanah, atas kedudukan, sebenarnya adalah orang-orang lemah. Sadarilah bahwa kita sesungguhnya tidak lemah. Selama ini kita pikir anda lemah. Lalu kita mempercayai “pikiran” itu. Kelemahan diri kita hanya ada dalam pikiran. Bangkitlah-bangunlah-sadarlah! Dan setelah menyadari kekuatan diri, jangan duduk diam…… Lalu jiwa yang lemah ingin menutupi kelemahannya dengan menguasai orang lain, dengan menimbun harta, dengan mengejar kesaktian. Demikian jiwa yang lemah justru menjadi keras. Demikian, manusia kehilangan kemanusiaannya………

Sang Suami: Dalam buku “Kidung Agung Melagukan Cinta Bersama Raja Salomo” disampaikan……. Kasih tidak pernah menaklukkan. Sekalipun kebencian dan kekerasan yang dihadapinya, ia tetap merangkul keduanya. Ia tidak perlu menaklukkan siapa pun karena dengan merangkul mereka yang bertentangan dengannya, ia dapat menyelesaikan perkara sepelik apapun jua. Kasih tidak pernah menaklukkan karena ia yakin pada kekuatannya. Ia tidak lemah. Ia tidak perlu membuktikan kekuatannya dengan menaklukkan siapa pun jua. Kebencian tidak percaya diri; kekerasan sangat lemah; maka membutuhkan pembuktian. Ya, pembuktian yang sebetulnya tidak membuktikan apa-apa……..

Sang Istri: “Menang tanpa ngasorake”, “menang tanpa merendahkan” atau “menjaga kehormatan orang ”. “Eyang” Sosro Kartono mengingatkan akan harga diri manusia. Harga diri adalah nilai yang paling tinggi, paling berharga dalam diri setiap manusia. Dalam buku “Otak Para Pemimpin Kita, Dialog Carut Marutnya Keadaan Bangsa” disampaikan…… Kita menentukan harga diri kita, juga harga diri orang lain. Umumnya kita menaruh harga sangat tinggi bagi diri sendiri, dan sangat rendah bagi orang lain. Kita mudah tersinggung karena menaruh harga terlalu tinggi bagi diri sendiri. Mudah kecewa, mudah sakit hati, sedikit-sedikit merasa dihina dan menghina kembali… semua karena harga diri……..

Sang Suami: Untuk menjaga harga diri pihak lain kita harus menghormati perbedaan. Dalam buku “Menemukan Jati Diri I Ching Bagi Orang Modern” disampaikan……. Dalam hal kerja sama dengan pihak lain, hormatilah perbedaan-perbedaan yang ada. Temukan “sesuatu” yang dapat mempersatukan, tanpa harus mengorbankan ciri khas masing-masing pihak…….. Dalam buku “Neo Psychic Awareness” disampaikan…… Kita harus belajar untuk “mengangkat” kesadaran kita dari alam dualitas. Ini pula yang dilakukan oleh para leluhur kita, sehingga terciptalah kedamaian sejati. Spiritualitas adalah: kemampuan untuk melihat Yang Tunggal di balik Kebinekaan, dan kesadaran bahwa tidak sesuatu pun terjadi di luar Kehendak-Nya, maka Kebhinekaan pun harus dihargai, dihormati, dan diterima sebagai wujud Kehendak-Nya……..

Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva!

Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.net/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

September 2010

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone