Sepasang suami istri setengah baya sedang membicarakan Nasehat Raden Mas Panji Sosro Kartono. Mereka sudah sampai pada renungan “Eyang” Sosro Kartono ketiga tentang “Jaka Pring”. Begitulah beliau sering menyebut dirinya. Mereka menggunakan buku-buku Bapak Anand Krishna sebagai referensi mereka.
Sang Istri: Renungan “Eyang” Sosro Kartono ketiga……. “Pring padha pring. Weruh padha weruh. Eling tanpa nyanding“…….. “Bambu dengan bambu lainnya, tahu sama-sama tahu, ingat tanpa mendekat”….. Beliau sering menyebut dirinya sebagai “Jaka Pring”………
Sang Suami: Beliau lahir pada tahun 1877 dan meninggal pada tahun 1952. Beliau menempuh pendidikan di Belanda dan mendapat gelar sarjana sastra tahun 1908 dan dianggap sebagai seorang cendekiawan Nusantara. Belanda pada waktu tersebut menjalankan politik Etis, politik balas budi dengan memberi kesempatan pemuda-pemudi yang cerdas untuk mendapatkan pendidikan tertinggi. Sebagai seorang pemuda terpelajar, kemungkinan besar beliau tertarik dengan pandangan pujangga Ronggowarsito (1802-1873) dan Sri Mangkunegoro IV (1811-1881), karena sampai awal kemerdekaan RI pandangan kedua pujangga besar tersebut mempengaruhi pandangan masyarakat setempat. Pada waktu tersebut berkembang istilah “Jaka Lodhang” yang dipopulerkan oleh Pujangga Ronggowarsito. Dalam buku “Tetap Waras di Jaman Edan, Visi Ronggowarsito Bagi Orang Modern” disampaikan bahwa……. “Jaka” berarti “perjaka” seorang pemuda. “Lodhang” berarti “sudah beres”, sudah selesai, sudah melaksanakan kewajibannya. Seorang pemuda yang sudah menyelesaikan tugasnya, yang sudah merampungkan pekerjaannya. Biasanya, seorang pemuda justru diharapkan bekerja keras. Pemuda yang satu ini sudah tidak harus bekerja lagi, apa yang harus dikerjakan oleh dia? Apa pun yang harus dikerjakannya, sudah selesai, sudah rampung. Apa pula tugasnya? Tugas pemuda ini, merupakan tugas kita semua. Tugas pemuda ini mencari telaga pencerahan, tugas pemuda ini mendaki bukit kesadaran. Sekarang ia sudah cerah, ia sudah sadar sudah tidak ada satu tugas lagi. Seorang “Jaka Lodhang” adalah seorang Pujangga……..
Sang Istri: Jadi seorang “Jaka Lodhang” walaupun sudah cerah, walaupun sudah tidak harus bekerja lagi, ia toh tetap bekerja. Ia menjadi seorang pemandu, ia yang menunjukkan jalan. Seorang pemandu menunjukkan jalan, seterusnya kita sendiri yang harus melakukan perjalanan…….. Istilah “Eyang” Sosro Kartono tentang “Jaka Pring” nampaknya dipengaruhi oleh “Jaka Lodhang”. Beliau menyatakan bahwa beliau hanya sekedar bambu yang sederhana. Walaupun demikian Presiden Soekarno sangat menghormati beliau yang tidak mau namanya ditinggikan, padahal jasanya bagi bangsa tidak kalah dibandingkan dengan Raden Ajeng Kartini, adik kandungnya yang telah diangkat sebagai pahlawan bangsa…… Suamiku, kemudian apa makna “bambu dengan bambu lainnya, tahu sama-sama tahu, ingat tanpa mendekat”…..
Sang Suami: Beliau menyatakan perlunya kerukunan bagi seluruh bangsa. Sesama “Pring”, sama-sama “bambu” mestinya sama-sama tahu. Sesama manusia mestinya sadar dirinya hanya kulit luar bambu dan dalamnya kosong. Kerukunan sesama manusia, sesama warga negara sampai sekarang pun masih perlu perhatian mendapat bangsa. Dalam buku “Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan” disampaikan…….. Kerukunan perlu dibicarakan dan diupayakan karena adanya perbedaan. Sebab itu, setiap orang yang berbicara tentang kerukunan haruslah menerima perbedaan. Menerima perbedaan, dan menerimanya dengan sepenuh hati – merupakan prasyarat bagi kerukunan. Tanpa penerimaan seperti itu, kerukunan hanyalah sebuah wacana. la tak akan mewujud menjadi kenyataan. Pertikaian antara umat beragama yang masih sering terjadi, semata karena tidak adanya penerimaan. Kita belum cukup membuka diri terhadap perbedaan. Belum cukup mengapresiasi perbedaan…….. Kenapa? Karena masih adanya rasa iri di dalam diri kita: Jumlah umatku tidak bertambah, sementara jumlah umat dia bertambah. Karena adanya kompleks superioritas: Agamaku lah yang terbaik. Kemudian, terjadilah persaingan. Dan, persaingan adalah benih bagi pertikaian, pertengkaran – perang!…….. Setiap agama menerima Kedamaian sebagai Nilai Luhur, bahkan Nilai Kemanusiaan yang Tertinggi. Damai dengan sesama manusia, Damai dengan Alam Semesta, dan Berdamai dalam Tuhan, dalam Kasih-Nya. Namun, adalah kenyataan yang tak dapat dinafikan pula bahwa agama lebih sering menjadi, atau dijadikan alasan untuk berperang. Para pelaku agama, para praktisi agama sering melupakan tujuan mereka beragama……… Di balik “toleransi” itu, dibalik “pembukaan diri” itu – masih tersisa pandangan primordial “Bagaimana pun jua, akulah yang terbaik!” Dengan cara pandang seperti itulah, manusia modern tengah mengupayakan kerukunan. Hasilnya – kerukunan yang semu. Pemerintah boleh membuat undang-undang atau peraturan kerukunan antar umat beragama – dan kerukunan pun dapat dipaksakan. Tetapi, untuk sesaat saja. “Sesaat” itu barangkali sebulan atau setahun – tetapi tak akan bertahan lama. Toleransi, apalagi toleransi yang masih menyimpan arogansi, bukanlah landasan yang kuat bagi kerukunan. Kerukunan yang tercipta hanyalah kemunafikan terselubung. Toleransi macam itu hanyalah emosi sementara. Saat ini pasang, sesaat kemudian surut……. Adalah “Apresiasi” atau “Saling Menghargai”, “Saling Memahami” – Pengertian – yang dapat menjadi landasan bagi Kerukunan. Landasan yang kuat. Pengertian dalam hal ini bukanlah sebuah pikiran belaka. Tetapi, pengertian yang muncul dari nurani, dari sanubari, dari rasa terdalam. Pengertian yang lahir dari kecerdasan. Pengertian yang muncul dari kesadaran. Ketika Pengertian seperti ini muncul dalam sanubari para resi, maka mereka menerima wahyu atau Shruti; mereka melihat, menyaksikan sisi-sisi Kebenaran. Ekam Sat – Ternyata Kebenaran itu Satu Adanya, walau banyak sisinya. Pengertian seperti inilah yang dapat menjadi landasan bagi Kerukunan Umat Beragama. Pengertian seperti inilah yang semestinya menjadi dasar bagi negara…… “Pring padha pring. Weruh padha weruh. Eling tanpa nyanding“………. Sesama bambu haruslah hidup rukun……
Sang Istri: Suamiku, “Pring” atau bambu selalu bermanfaat bagi sesama dalam setiap masa kehidupannya. Sewaktu masih muda berupa rebung, bambu mempersembahan dirinya sebagai bahan lumpia dan sayur rebung. Selagi masih hidup, bambu berkembang biak memperkuat tebing sungai dan menjadi sumberdaya bagi bahan bangunan. Bambu sebagai bahan dasar rumah gubug, pagar bambu, dinding bambu dan sebagainya. Bambu tidak butuh pengakuan masyarakat dan masuk dalam “headline news” koran terkenal. “Eyang” Sosro Kartono memahami jatidiri sebuah bambu. Dalam buku “Neospirituality & Neuroscience, Puncak Evolusi Kemanusiaan” disampaikan…….. Sekalipun tanpa pengakuan dari masyarakat, keberhasilan tetap saja dapat dicapai, sesungguhnya dunia ini penuh dengan para pahlawan yang tidak dikenal dan diakui. Seorang pekerja biasa pun dapat menganggap dirinya berhasil, bila ia menjalani tugasnya dengan semangat melayani umat manusia. Tidak menjalani kurang mulia, hanya karena tidak ada yang membunyikan gendang saat kita memasuki medan laga dunia ini. Dan tak ada pula yang menyambut saat kita kembali dari medan laga, setelah meraih kemenangan atau kegagalan…….. Memang tidak banyak penghargaan yang diperoleh “Eyang” Sosro Kartono, namun apa arti penghargaan bagi seorang pahlawan? Secara fisik, beliau memang tidak lagi berada di tengah kita. Namun, obor “berkarya tanpa pamrih” yang beliau tinggalkan itu tak akan pernah padam. Para putra-putri bangsa akan selalu menjaga supaya cahayanya tetap menerangi bangsa dan negara ini. Dalam buku “Soul Quest, Pengembaraan Jiwa dari Kematian Menuju Keabadian” ditegaskan……. “melayani sesama” sama dengan “melayani Tuhan”. Keselamatan dan pembebasan pribadi bisa menunggu. Melayani sesama itu yang utama…
Sang Suami: Bambu itu nampak banyak macamnya, akan tetapi di dalam dirinya sama yaitu kekosongan. Bambu itu mempunyai rongga atau ruang kosong di dalamnya, sehingga dengan luasan penampang “bagian yang padat” yang sama, bambu jauh lebih kuat dibandingkan seandainya luas penampang “bagian padatnya” sama tetapi tanpa rongga dan berkumpul menjadi satu. Suatu pemahaman beliau yang sangat dalam. Bambu itu hanya nampak berbeda pada kulit luarnya, tetapi dalamnya sama, kosong. Dalam buku “Tantra Yoga” disampaikan…… Badan ini sesungguhnya kosong, tak berisi, seperti bagian dalam bambu.” Yang dimaksudkan bukan hanya badan saya dan badan anda, tetapi setiap badan, segala sesuatu yang berbadan. Setiap “wujud”. Ya, setiap wujud sesungguhnya semua kosong. Tak berisi. Lalu bagaimana dengan organ-organ tubuh yang kita anggap “isi badan”? Ada jantung, ada paru-paru, ada ginjal, ada liver macam-macam. Bila seorang ilmuwan, seorang saintis membaca syair ini, dia akan memahami maksud Tilopa. Seorang ilmuwan tahu persis apa maksud Tilopa. Bila setiap organ, segala sesuatu yang bersubstansi di dalam tubuh terurai, yang tersisa apa? Atom. Dan atom tidak dapat dilihat. Tidak bersubstansi. Atom hanyalah sebuah asumsi. Dari yang tak bersubstansi, lahirlah segala sesuatu yang bersubstansi. Dari yang tak berwujud, lahirlah segala wujud. Dari ketidakadaan, muncullah Keberadaan……..
Sang Istri: …….Kekosongan itu sempurna. Kita tidak dapat mengurangi sesuatu dari kekosongan. Kita memiliki gelas yang terbuat dari kristal-mahal harganya. Selama gelas itu masih kosong, mereka yang melihat gelas itu, akan mengaguminya, menghargainya, karena gelas itu sendiri memang berharga. Sekarang kita tuangkan arak dalam gelas yang sama. Mereka yang melihatnya tidak akan menilai lagi gelas itu karena kristalnya. Mereka yang melihat akan terbagi dalam dua kelompok. Kelompok yang satu akan mengatakan bahwa arak itu haram dan kelompok yang lain akan mengatakan bahwa arak itu halal. Gelas kristal yang mahal akan kehilangan nilainya. Kedua kelompok tadi akan tenggelam dalam perdebatan mereka tentang halal-haram, dan gelas yang begitu indah, begitu mahal, akan terlupakan……. Demikian disampaikan dalam buku “Mengikuti Irama Kehidupan, Tao Teh Ching Bagi Orang Modern”…….
Sang Suami: Banyak jalan menuju “Gusti”. Tetapi, sesungguhnya hanya ada dua jalan: Jalan Pengetahuan dan Jalan Pengabdian. Sebagai” bambu”, “Eyang” Sosro Kartono tidak hanya berusaha menempuh” jalan pengabdian” purnawaktu, tetapi juga mendalami “jalan pengetahuan”. Dalam buku “Bodhidharma, Kata Awal Adalah Kata Akhir” disampaikan…… Mereka yang mengalihkan kesadaran pada kasunyatan, kekosongan; mereka yang tidak lagi membedakan diri dari yang lain; mereka yang menganggap sama awam dan ulama. Mereka yang sudah tidak terpengaruh oleh “kata-kata”, sesungguhnya telah meneliti dan menemukan inti. Mereka berada pada Jalur Pengetahuan….. Mereka yang telah melampaui dualitas dan menyadari kembali hakikat diri; mereka yang mengalihkan kesadaran pada kasunyatan, kekosongan; mereka yang tidak lagi membedakan diri dari yang lain. Mereka berada pada Jalur Pengetahuan……. Bagi yang di jalur pengetahuan perlu memahami “Pikiran” menciptakan dualitas; “Kesadaran” mempersatukan. Lampaui pikiran, dan dualitas terlampaui. Atau, lampaui dualitas dan pikiran pun terlampaui! Mereka yang berada pada Jalur Pengetahuan melampaui dualitas, kemudian pikiran ikut terlampaui, dan mereka pun memasuki Alam Meditasi. Mereka yang berada pada Jalur Pengetahuan ini melampaui dualitas lewat reasoning, lewat penelitian dan pembedahan…….. Terima Kasih “Eyang Jaka Pring”…..
Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva!
Situs artikel terkait
http://www.oneearthmedia.net/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo
September, 2010.