September 27, 2010

Memaknai Kembali Nasehat RMP Sosro Kartono Renungan Ketujuh Mencari “Padhang Ing Peteng”

Nasehat RM Panji Sosro Kartono sedang dibicarakan oleh sepasang suami istri. Mereka menyebut beliau sebagai “Eyang” Sosro Kartono agar terasa lebih menjiwai. Buku-buku Bapak Anand Krishna mereka gunakan sebagai referensi. Mereka yakin, lewat siapa pun kebenaran diperoleh, sebenarnya “sumber segala kebenaran” adalah Gusti. Kebenaran yang disampaikan oleh siapa pun bahkan dari semua kitab suci pun sumbernya adalah Gusti.

Sang Istri: Renungan “Eyang” Sosro Kartono ketujuh…….. ” Wosipun inggih punika ngupadosi padhang ing peteng; seneng ing sengsara, tunggaling sewu yuta“……… “kesimpulannya adalah mencari penerangan dalam gelap, kebahagiaan dalam penderitaan, bersatunya seribu juta”…….

Sang Suami: Bagi saya pribadi “Eyang” Sosro Kartono sangat lembut, beliau ingin menyampaikan bahwa kebanyakan dari kita itu berada dalam kegelapan, berada dalam penderitaan disebabkan kita menuruti atau tunduk pada pikiran dan panca indra kita. Pikiran dan panca indra kita selalu ingin mengulang hal yang menyenangkan dan menghindari penderitaan, padahal tidak ada kesenangan yang  abadi dan oleh sebab itu dengan mengikuti pikiran dan panca indra, kita akan mengalami kesenangan dan penderitaan yang tak ada habisnya. Beliau memberi nasehat agar kita dapat menjinakkan pikiran dengan “padhang”, dengan Cahaya Ilahi, dengan Kesadaran, dengan Rahmat Ilahi. Beliau menyampaikan dengan Cahaya Ilahi maka kegelapan akan hilang, penderitaan berubah menjadi kebahagiaan dan yang “banyak”, yang seribu juta itu semuanya pada hakikatnya satu. Dalam buku “Masnawi Buku Kedua Bersama Jalaluddin Rumi Memasuki Pintu Gerbang Kebenaran” disampaikan…… Pancaindra bagaikan kuda. Si Kuda itu sedang dalam perjalanan menuju Istana Raja, tetapi tidak tahu jalan. Rerumputan di pinggir jalan menggoda dia. Lagi-lagi dia berhenti untuk memakannya. Lagi-lagi dia tersesat dan tujuan perjalanan pun terlupakan. Kuda itu harus ditunggangi oleh Sang Raja, karena hanyalah Dia yang bisa membawanya ke dalam lstana. Cahaya Ilahi – itulah Sang Raja. Bila Cahaya Ilahi atau Kesadaran Ilahi menunggangi pancaindra, Si Kuda tidak akan tersesat lagi……. Tanpa Cahaya Ilahi, kesadaran manusia akan mengalami kemerosotan terus-menerus. Dengan Cahaya Ilahi, kesadarannya akan mengalami peningkatan. Rumi menasehati kita, “Janganlah sombong, janganlah angkuh; Kendati kesadaranmu sudah meningkat, jangan mengira bahwa hal itu terjadi karena upayamu semata-mata. Tidak! Apa pun yang terjadi, karena Rahmat-Nya.”………

Sang Istri: Benar suamiku, bahkan seseorang yang sadar yang mengikuti Cahaya Ilahi sadar  bahwa musibah apa saja yang menimpa dirinya adalah bagian dari kebijakan alam. Tak ada sesuatu apa pun yang terjadi di luar kehendak alam dan Perancangnya. Dalam buku “Neospirituality & Neuroscience, Puncak Evolusi Kemanusiaan” disampaikan……… dalam keadaan suka maupun duka, ia akan selalu beradaptasi atau menyesuaikan diri. la tak akan mengeluh atau berkeluh kesah dalam keadaan duka atau tak akan menjadi arogan dan sombong dalam keadaan suka. la akan menerima suka dan duka sebagai pengalaman yang silih berganti sesuai dengan hukum perubahan. Oleh karena itu dalam keadaan apa pun ia akan selalu tenang, damai, bahkan bahagia. Tidak gelisah. la akan berkarya sekuat tenaga namun puas dengan apa yang diperolehnya. la tidak akan menuntut macam-macam………..  Sesungguhnya manusia dapat memprogram pikirannya untuk menerima hukum alam dan dengan demikian hidup selaras dengan alam. Atau dapat memprogram pikirannya untuk melawan hukum alam dan menciptakan konflik yang tidak berkesudahan. Manusia bebas untuk menciptakan apa saja namun tidak bebas dari konsekuensi ciptaannya sendiri. la bahagia dan menderita karena pikiran yang diciptakannya sendiri. Penderitaan yang kita alami adalah karena ulah kita sendiri. Kita tidak bisa dan tidak boleh menyalahkan siapa pun……… Jadi apa pun yang terjadi pada diri kita, secara pribadi maupun kolektif adalah konsekuensi dari tindakan, pikiran, dan ucapan kita sendiri. Alam sekitar kita selaras dengan apa yang kita lakukan. Bila kejahatan yang kita lakukan, maka konsekuensinya kejahatan pula. Bila kebaikan yang kita lakukan, maka akibatnya kebaikan pula. Kita boleh tidak selaras dengan alam, tapi alam selalu selaras. Oleh karena itu setiap sebab sudah pasti membawa akibat. Setiap aksi menghasilkan reaksi yang setimpal………

Sang Suami: “Eyang” Sosro Kartono berbicara tentang “padhang”, tentang penerangan bukan tentang penjelasan. Dalam buku “Fiqr Memasuki Alam Meditasi Lewat Gerbang Sufi” disampaikan ……. Para “ahli buku” tidak mampu mengalihkan isi buku ke dalam hidup sehari-hari. Mereka sibuk menjelaskan apa yang sudah jelas, dan sebenarnya tidak perlu dijelaskan lagi. Justru harus dilakoni. Kemudian, penjelasan-penjelasan seperti itu justru membingungkan. Seorang guru tidak menjelaskan, tetapi “menerangkan”……… Penjelasan berasal dari pikiran. Penerangan berasal dari hati. Untuk menjelaskan sesuatu, pikiran tidak perlu jelas, tidak perlu terang. Seorang “ahli buku” menjelaskan kegelisahan dan kegaduhannya. Untuk menjelaskan sesuatu, pikiran tidak perlu jelas. “ketidakjelasan” pun dapat dijelaskan. Sementara itu, hati yang belum terang tidak bisa “menerangkan” sesuatu. Pelita yang padam, bolam yang mati, tidak berguna sama sekali sebagai penerang. Dia tidak terang, maka tidak mampu menerangkan sesuatu. Dekatilah seorang Murshid, seorang Guru, Master, Wali Allah yang sudah terang jiwanya. Kemudian, penjelasan pun tidak kau butuhkan. Dengan mendekati mereka saja, jiwamu akan menjadi terang benderang……..

Sang Istri:Padhang” atau Cahaya Ilahi juga bermakna kasih. Dalam buku ““Fiqr Memasuki Alam Meditasi Lewat Gerbang Sufi” juga disampaikan…….. Cahaya-Mu menerangi kegelapan pikiranku. Kasih-Mu bersemayam dalam hatiku. Sebelum mengejar pengetahuan dan amal-saleh, biarlah kasih bersemayam dulu di dalam hati. Tanpa kasih, pengetahuan menjadi kering. Tanpa cinta, amal saleh pun sekedar permainan ego…….. Dalam buku “Kehidupan, Panduan Untuk Meniti Jalan Ke Dalam Diri” disampaikan…… Cinta kasih adalah cahaya dan di mana ada cahaya, di sana kegelapan tidak ada. Cinta Kasih melampaui semua dualitas. Cinta Kasih tidak terhingga, tak terbatas. Karena itu, dia yang mencintai tidak akan pernah puas dengan kesenangan duniawi yang picik dan tak berarti. Bukannya Cinta Kasih tidak berurusan dengan kesenangan-kesenangan duniawi. Semua kesenangan duniawi ada dalam cinta. Tetapi Cinta Kasih melebihi mereka. Cinta Kasih melampaui kesenangan-kesenangan picik. la yang mencintai selalu berusaha keras mencapai Yang Tak Terbatas, Yang Tak Terhingga……..

Sang Suami: Dalam buku tersebut juga disampaikan……. Cinta Kasih mengembangkan kesadaran kita. Dibandingkan dengan Cinta, hubungan-hubungan duniawi yang lain, kesenangan-kesenangan yang lain, semuanya tidak berarti sama sekali. Cinta Kasih membuat kita sadar akan warisan nyata kita yang sebenarnya. Hanya Cinta Kasih dapat menjadi keduanya, luas dan dalam, terhingga dan tak terhingga, besar dan kecil – hanya  Cinta Kasih dapat menjadi keduanya, terang dan gelap, karena dalam Cinta Kasih sebenarnya tidak ada dualitas…….

Sang Istri: Kesadaran dan cinta kasih saling terkait, persis seperti dua sisi dari kepingan logam yang sama. Orang yang sadar sudah pasti mengasihi. Dan, orang yang mengasihi sudah pasti sadar. Kesadaran mengakibatkan ketenangan, ketenteraman dan kebahagiaan. Dalam buku “Masnawi Buku Kelima, Bersama Jalaluddin Rumi Menemukan Kebenaran Sejati” disampaikan……. Bahwa kesadaran tidak hanya menerangi jiwa manusia, tetapi mempengaruhi hidupnya secara menyeluruh. Dalam bahasa meditasi, secara holistik. Ketenangan, ketenteraman, kebahagiaan, kesehatan dan bahkan kesejahteraan, semua tergantung pada kesadaran diri kita……..

Sang Suami: “Eyang” Sosro Kartono memberi nasehat cara menjalani kehidupan, “ngupadosi padhang ing peteng; seneng ing sengsara, tunggaling sewu yuta“……… “mencari penerangan dalam gelap, mencari kebahagiaan dalam penderitaan, bersatunya seribu juta”……. Dalam buku “Panca Aksara, Membangkitkan Keagamaan Dalam Diri Manusia” disampaikan……. Setiap orang, setiap anak manusia, bahkan setiap makhluk, sejak awal mulanya alam ini sesungguhnya mendambakan satu hal saja yaitu: Kebahagiaan Sejati. Ketika otaknya belum cukup berkembang, daya pikir serta intelejensianya masih minim, ia memahami apa yang didambakannya itu sebagai keinginan untuk “sesuatu”. Sesuatu yang “dianggapnya” dapat membahagiakan dirinya. Saat ia belum mampu medefenisikan kebahagiaan. Kenikmatan indera dan kenyamanan tubuh dianggapnya sudah cukup membahagiakan. Dalam perjalanan panjang menuju kebahagiaan, manusia menemukan banyak hal yang membuat tubuhnya menjadi nyaman. Masa yang cukup panjang dilaluinya sebelum ia dapat menyimpulkan bahwa, “Adalah Kebahagiaan Sejati atau Anand yang sedang kucari!” Manusia ingin bahagia, ia mendambakan kebahagiaan. Tetapi, bukanlah kebahagiaan biasa, kebahagiaan sesaat. Ia menginginkan Kebahagiaan yang Kekal, Abadi, Langgeng – Kebahagiaan Sejati. Kebahagiaan yang tak pernah berakhir, tak pernah melentur, tak pernah berkurang. Tak pernah hilang.  Sekali Bahagia, Tetap Bahagia……… Dunia Benda ini tidak kekal, tidak abadi. Kebendaan berubah terus. Apa yang kita miliki saat ini, pernah dimiliki orang lain sebelumnya. Dan, dapat berpindah tangan kapan saja. Sebab itu, Kebendaan tidak dapat membahagiakan diri kita untuk selamanya. Sesuatu yang bersifat tidak kekal, tidak abadi – tidak dapat memberi kebahagiaan yang kekal dan abadi…….

Sang Istri: Setiap benda esensinya adalah energi. Wujud setiap benda tak pernah abadi, akan tetapi esensinya atau energi itu abadi. Energi itulah Tuhan. Dalam buku “Panca Aksara, Membangkitkan Keagamaan Dalam Diri Manusia” tersebut juga disampaikan……. Tuhan adalah Sumber Segala Kebahagiaan. Kebahagiaan yang Kekal, Abadi dan Tak Pernah Berakhir…… Sumber Segala Kebahagiaan, tetapi juga Sumber Segala Kemuliaan, bahkan Sumber Segala-Galanya. The Source.  Dengan memusatkan kesadarannya, seluruh perhatiannya pada Sumber itu – Manusia memperoleh kebahagiaan yang luar biasa.

Sang Suami: Ada juga yang masih berkomentar, bukankah mereka yang melakoni kasih nampak menderita dizalimi oleh musuh-musuhnya. Mungkin musuh-musuhnya nampak menang, padahal sebenarnya tidak demikian. Dalam buku “Otobiografi Paramhansa Yogananda, Meniti Kehidupan bersama para Yogi, Fakir dan Mistik” disampaikan…….. Alamlah yang bekerja. Keadilan Tuhan-lah yang bekerja. Kerajaan Roma yang terlibat dalam konspirasi untuk menyalibkan Yesus lenyap tanpa bekas. Bangsa Yahudi yang menolak Yesus harus menderita selama dua ribu tahun. Sampai sekarang pun, negara Israel bukanlah negara yang damai dan tenteram. Warganya hidup dalam kecemasan. Pemimpinnya hidup dalam kegelisahan. Diamnya seorang Yesus membuat roda keadilan alam berputar. Jangan kira, Keberadaan akan duduk diam. Seorang Yesus bisa saja memaafkan kita. Dan seorang Yesus memang akan selalu memaafkan kita. Pemaafan itu yang membuat dia seorang Yesus, seorang Kristus. Tetapi, hukum alam tidak dapat kita hindari!………. Kita perlu berhati-hati, jangan sampai menzalimi mereka yang berjalan di jalan kebenaran. Terima Kasih “Eyang” Sosro Kartono…….

Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva!

Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.net/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

September 2010

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone