September 28, 2010

Surat–surat Islam dari Endeh 9

(Surat menyurat Ir. Soekarno kepada Tuan A. Hasan, Guru “Persatuan Islam” Bandung 1 Desember 1934 hingga 25 Nopember 1936 , Sumber refrensi : Islam Sontoloyo : Pikiran-Pikiran Sekitar Pembaruan Pemikiran Islam  –  Ir Soekarno  –  Sega Arsy  2010)

Endeh , 18 Agustus 1936

Assalamu’alaikum,

Surat Tuan sudah saya terima. Terimakasih atas Tuan punya kecapaiannya  telah mencarikan penerbit buku saya kesana-kesini. Moga-moga lekas dapat, manuscript yang begitu tebal, tinggal manuscript saja.

Tentang Tuan punya usul menulis buku yang lebih tipis, brosur saya akur. Memang brosur itu amat perlu tetapi saya ingin menyudahi satu buku lagi yang juga kurang lebih 400 muka tebalnya, yang rancangannya sekarang sudah selesai pula di dalam saya punya otak. Rakyat Indonesia, terutama kaum intellegensia, sudah mulai banyak yang senang membaca buku-buku bahasa sendiri yang “matang”, yang “thorough”. Ini alamat baik; sebab perpustakaan Indonesia buat 95% hanya buku-buku tipis saja, hanya brosur-brosur saja, tak sedikit gembira saya, waktu saya menerima buku bahasa Indonesia “Islam di tanah Cina” . Buku ini adalah satu contoh buku yang “thorough”, alangkah baiknya, kalau lebih banyak buku-buku itu di perpustakaan kita! Barang kali kita punya intellegensia tidak senantiasa terpaksa mencari makanan ruh dari buku-buku asing saja. Ini tidak berarti , bahwa saya tak mufakat orang baca buku asing. Tidak! Semua buku ada faedahnya, makin banyak baca buku, makin baik. Walau buku bahasa hottento-pun baik kita baca! Tetapi janganlah perpustakaan kita sendiri berisi nihil, sebagai keadaan sekarang ini. Tuan kata, buku tipis lebih murah harganya, tapi bagi kaum intellegensia juga mengeluarkan banyak uang bagi buku-buku asing? Toch kita punya kaum yang mampu juga banyak mengeluarkan uang buat pakaian, buat bioskop , atau buat kesenangan lain-lain? Sebenarnya harga satu buku tidak menjadi ukuran laku tidaknya buku itu nanti; yang menjadi ukuran, adalah kandungan buku itu; isi buku itu, digemari  orang atau tidak. Bagi kaum marhaen, ia memang, zaman sekarang ini zaman berat. Tapi tidak keberatan buku-buku tebal itu dijadikan “penerbitan untuk rakyat”, atau di pecah-pecah menjadi empat jilid, sehingga meringankan bagi marhaen. (sebenarnya kurang baik memecah buku menjadi jilid-jilid yang kecil). Tetapi dalam pada saya menganjurkan penerbitan lebih banyak bukutebal dan thorough itu, saya akui faedah brosur. Sebagai alat propaganda , brosur adalah sangat perlu. Isnya Allah  saya akan tulis brosur tentang faham jaiz di dalam hal keduniaan. Di dalam salah satu surat saya yang terdahulu, saya sudah sedikit singgung perihal ini. Kita punya perikehidupan Islam, kita punya ingatan-ingatan Islam, kita punya ideology Islam, sangatlah terkungkung oleh keinginan mengkopy 100% segala keadaan dan cara-cara dari jaman Rasul SAW, dan khalifah yang besar. Kita tidak ingat , bahwa masyarakat itu adalah barang yang tidak diam, tidak tetap, tidak “mati” tetapi “hidup” mengalir berubah senantiasa, mau, berevolusi, dinamis. Kita tidak ingat bahwa Nabi Saw sendiri telah menjaizkan urusan dunia menyerahkan kepada kita sendiri perihal urusan dunia, membenarkan urusan dunia yang baik yang tidak haram atau makruh. Kita royal sekali dengan perkataan “Kafir, kita gemar sekali mencap segala barang yang baru dengan cap “kafir” pengetahuan barat kafir, radio dan kedokteran kafir; pantaloon dan sadal dan topi kafir, sendok dan garpu dan kursi kafir, tulisan latin kafir; ia bergaulan dengan bangsa bukan Islampun Kafir! Padahal apa-apa yang kita namakan Islam? Bukan ruh Islam yang berkobar-kobar, bukan api Islam yang menyala-nyala , bukan amal Islam yang menagumkan, tetapi…. Dupa dan korma dan jubah  dan celak mata! Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa yang matanya di celak jubahnya panjang dan memengang tasbih yang selalu berputar, dia , dialah yang kita namakan Islam. Astagfirullah! Inikah Islam ? Inikah agama Allah ? Yang mengkafirkan radio dan listrik, mengkafirkan kemoderenan dan  ke up to date-tan?  Yang mau tinggal mesum saja, tinggal kuno saja, yang terbelakang saja, tinggal “naik unta” dan makan “zonder sendok” saja “seperti di zaman nabi dan khalifahnya ? yang menjadi marah dan murka kalau mendengar tentang diadakannya aturan-aturan baru di Turki atau Iran atau Mesir atau di lain-lain negeri Islam ditanah Barat ?.

Islam is progress, Islam itu kemajuan, begitulah telah saya tuliskan di dalam salah satu surat saya yang terdahulu. Kemajuan karena fardu, kemajuan karena sunah, tetapi juga kemajuan karena di luaskan dilpangkan oleh aturan. Djaiz atau mubah yang lebarnya melampaui batasan-batasannya zaman. Islam is progress. Progress berarti barang baru, barang baru yang lebih sempurna yang lebih tinggi tingkatnya dari pada barang yang terdahulu. Progress berarti pembikinan baru, creation baru, bukan mengulangi barang yang dulu, bukan mencopy barang  yang lama , tidak boleh mau mengulangi zamannya “khalifah-khalifah yang besar “ itu Tidak,lah di dalam langkahnya zaman yang lebih dari seribu tahun itu prikemanusiaan mendapat sistem-sistem baru yang lebih sempurna, lebih bijaksana, lebih tinggi tingkatannya daripada dahulu? Tidakkah zaman sendiri  menjelmakan sistem-sistem baru yang cocok dengan keperluan zaman itu sendiri? Apinya zaman khalifah-khalifa yang besar itu ?Ach, lupakah kita, bahwa api ini bukan mereka yang menemukan, bukan mereka yang “menganggitkan”, bukan mereka yang “mengarangkan”? bahwa mereka “mencatat” saja itu dari barang yang juga kita di zaman sekarang mempunyainya, yakni dari kalam Allah dan Sunnah rasul ?.

Tetapi apa yang kita “catat” dari Kalam Allah dan  Sunnah rasul itu ? bukan apinya, bukan nyalanya, bukan flamenya, tetapi abunya, debunya, absesnya. Abunya yang berupa celak mata dan sorban, abunya yang mencintai kemenyan dan tunggangan unta, abunya yang berisfat Islam mulut dan Islam ibadat zonder tagwa, abunya yang Cuma tahu baca Fatiha dan tahlil saja, tetapi bukan apinya, yang menyala-nyala dari ujung zaman satu keujungan zaman yang lain. Tarikh Islam, kita baca tetapi kitab-kitab tarikh Islam itu tidak mampu menunjukan dinamika law of progress yang menjadi nyamanya dan tenaga-tenaganya zaman-zaman yang digambarkan, tidak bisa mengasih falsafah sejarah, dan hanyalah habis-habisan kata memuluk-mulukan dan mengkeramat-keramatkan pahlawan-pahlawannya saja. Kitab-kitab tarikh ada begitu, betapakah umat Islam umumnya, betapakah si Dulah dan Si Amat, betapakah si Minah dan Si Maryam ? Betapakah si Dulah dan si Amat dan Minah dan Maryam itu, kalau mereka malahan lagi hari-hari dan tahun-tahun di cekoki faham-faham kuno dan kolot, tahayul dan mesum, anti kemajuan dan anti kemoderenan, hadramautisme yang jumud maha jumud ?.

Sesungguhnya Tuan Hassan, sudah lama waktunya kita wajib membrantas faham-faham yang mengkafirkan segala kemajuan dan kecerdasan itu, membelenggu segala nafsu kemajuan dengan membelenggunya : “ini haram, itu makruh”, padahal djaiz atau mubah semata-mata! Insya Allah,  dalam dua-tiga bulan brosur itu selesai!.

Wassalam,

SUKARNO.

Satu hal yang sama dari jaman bung karno hingga saat ini bahwa kita lebih suka menghabiskan uang untuk pergi ke café, nonton bioskop, dugem dibandingkan membeli buku. Berapa persen uang dari penghasilan kita yang kita anggarkan buat beli buku ?.

Buat bung Karno setiap zaman memiliki keunikannya sendiri, karena zaman adalah sesuatu yang dinamis, suatu yang hidup.  Oleh karenya kita tidak akan pernah bisa mengcopy apa yang terjadi di suatu jaman, dan upaya-upaya kita mengkopy apa yang terjadi di jaman rasul dan khalifahnya akan sia-sia karena bertentangan dengan tuntunan jaman itu sendiri, dengan kehendak jaman itu sendiri.

Bersambung . . .

==

Di Publikasikan di :

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone