Sepasang suami istri setengah baya sedang membicarakan nasehat dari RMP Sosro Kartono. Mereka sudah sampai renungan keempatbelas. Mereka menggunakan buku-buku Bapak Anand Krishna sebagai alat pengulas. Bagi mereka buku-buku tersebut membuat kesadaran mereka lebih meluas. Mereka juga mengungkapkan ingatan mereka tentang beberapa artikel di internet yang selaras.
Sang Istri: Renungan “Eyang” Sosro Kartono keempatbelas……… “Angluhuraken bongso kito tegesipun anjebar winih budi jawi, gampilaken margining bongso ngupadosi papan panggesangan”…….. Meluhurkan bangsa kita berarti menyebar benih budi luhur, memudahkan bangsa mencari mencari nafkah……
Sang Suami: “Eyang” Sosro Kartono memberi nasehat, bahwa untuk meluhurkan bangsa, kita harus menanam benih-benih keluhuran budi kepada setiap anak bangsa guna mencapai kesejahteraan bangsa. Mengenai menyebar benih keluhuran budi, di dalam buku “Youth Challenges And Empowerment” disampaikan……… Pelajaran Budi Pekerti di Sekolah. Nilai-nilai luhur budaya, nilai-nilai universal keagamaan yang mesti diajarkan di sekolah. Inilah pelajaran Budi Pekerti yang dicetuskan oleh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara. Tidak perlu memisahkan anak-anak kita karena agama. Cerita-cerita dari semua agama yang bersifat mendidik dan universal patut diceritakan kepada semua anak. Mereka harus mengenal nilai-nilai universal yang ada dalam setiap agama. Mereka harus menghormati para tokoh dari semua agama, setiap agama. Kasih Sayang, Kebenaran, Kejujuran, Kesetiakawanan, Kebersamaan, Kedamaian, Kebajikan, dan nilai-nilai lain yang bersifat universal ada dalam setiap agama. Nilai-nilai ini yang mesti ditonjolkan supaya kita bisa menumbuhkembangkan kesetiakawanan sosial di dalam diri generasi penerus………
Sang Istri: Benar suamiku, saat kita menerjemahkan nilai-nilai keagamaan, atau esensi keagamaan seluruh putra-putri bangsa bisa bertemu. Dalam buku “Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan” disampaikan……… Apapun agamamu, dan apapun agamaku, “keagamaan” kita sama. Esensi atau nilai-nilai luhur yang terdapat dalam semua agama sama, yaitu Kasih, Kedamaian, Kebenaran, dan Kebajikan. Ketika kau menerjemahkan nilai-nilai itu dalam keseharian hidupmu, dan ketika aku menerjemahkannya dalam hidupku – maka kita bertemu!……..
Sang Suami: Benar istriku, selain nilai-nilai luhur budaya, nilai-nilai universal keagamaan, maka anak-anak pun perlu diajari mengembangkan rasa. Dalam buku “Wedhatama Bagi Orang Modern” disampaikan…….. Pengetahuan yang kita peroleh dari sistem pendidikan kita bertujuan untuk mencerdaskan kita. Tidak demikian dengan Wedhatama. Sri Mangkunagoro rupanya memiliki definisi lain. Wedha berarti “Pengetahuan”. Utama berarti “Yang Tertinggi”. Apabila dilihat dengan meminjam kacamata Sri Mangkunagoro, pengetahuan yang tertinggi tidak bertujuan untuk mencerdaskan otak kita. Pengetahuan Utama tidak untuk membuat kita cerdik atau cerdas, tetapi untuk mengembangkan rasa dalam diri kita. Rasa sinonim dengan batin…… Kembangkan rasa dulu. Jangan bersikeras untuk membuat putra-putri Anda cerdas. Kecerdasan tanpa diimbangi oleh rasa akan membuat mereka manusia yang tidak utuh, manusia yang pincang jiwanya. Mereka akan membahayakan tatanan kemasyarakatan kita……..
Sang Istri: Dengan pendidikan budi pekerti dan rasa untuk melengkapi pengembangan pikiran, maka akan tumbuh manusia-manusia Indonesia Baru yang luhur. Dalam buku “Indonesia Baru” disampaikan…….. Manusia Baru Indonesia tidak terperangkap dalam pengkotakan manusia berdasarkan agama, suku, bangsa, profesi, status sosial, ekonomi dan sebagainya. Ia bebas dari pengotakan semacam itu. Ia dapat berinteraksi dengan siapa saja. Ia tidak menganggap rendah atau mengafirkan mereka yang tidak seagama dengannya. Ia menghargai manusia sebagai manusia karena kemanusiaannya. Nilai-nilai luhur kemanusiaan dan nilai-nilai baru peradaban yang menjunjung tinggi kemanusiaan, bertemu dalam diri Manusia Indonesia Baru. Pertemuan itu menciptakan kelembutan Kasih dalam diri Manusia Indonesia Baru………
Sang Suami: Dengan tidak terkotak-kotaknya manusia Indonesia, maka gotong royong dapat dilaksanakan dalam kesetaraan. Dalam buku “Indonesia Baru” disampaikan…….. Gotong Royong tidak sama dengan amal saleh atau dana-punia atau charity. Gotong Royong bukanlah pemberian sedekah. Semua ini hanya menyuburkan benih-benih kelemahan dan ketakpercayaan diri dalam diri para penerima, dan keangkuhan dalam diri para pemberi. Biarlah mereka yang berjiwa lemah mengartikan Gotong Royong seperti itu. Mereka yang berjiwa kuat, atau setidaknya menginginkan kekuatan jiwa tidak boleh hidup dengan belaskasihan orang. Tidak boleh menjadi beban bagi siapa pun. Gotong Royong berarti memikul bersama beban negara dan bangsa ini. Dan, untuk memikul beban yang berat itu, kita semua harus menjadi kuat. Harus memberdayakan diri. Harus memiliki nyali dari baja dan otot dari besi. Syaraf-syaraf kita harus lebih dahsyat dari jaringan listrik dengan kekuatan setinggi apa pun………
Sang Isteri: Benar suamiku, dalam buku “Indonesia Baru” tersebut juga disampaikan…….. Tidak ada satupun orang lemah. Tidak ada seorang pun yang mau hidup dengan belas kasihan orang lain. Tidak ada lagi kerumunan massa merebutkan bungkusan mie dan lembaran seratus-ribuan. Perilaku seperti itu sungguh menjijikkan bagi Manusia Indonesia Baru. Melemahkan jiwanya, mengendurkan semangatnya. Sebab itu, ia akan mendefinisikan kembali arti amal saleh dengan meng-“amal”-kan ajaran-ajaran luhur yang dapat memperkuat jiwanya dan ke-“saleh”-an yang dapat memuliakan akhlaknya. Berhentilah beramal-saleh demi kapling di surga. Berhentilah memberi sedekah demi pencucian dosa. Beramal-salehlah demi kebangkitan jiwa, semangat dan akhlak… bersedekahlah untuk menyebarluaskan cinta kasih!………
Sang Suami: Selanjutnya yang perlu ditanamkan adalah benih-benih persatuan. Saya pernah terkesan dengan tulisan di internet yang saya lupa mencatat kapan dan di mana, yang menyatakan bahwa…….. Bhineka Tunggal Ika, Berbeda tapi Satu…Tan Hana Dharma Mangrwa. Tidak ada dualitas dalam hal menjalankan dharma. Dharma apa? Dharma Negara, Dharma Bangsa, Dharma Manusia. Dharma Perikemanusiaan. Dharma Hidup dan Kehidupan… Dharma berarti “Pedoman Perilaku”. Pedoman Perilaku yang tidak diimpor dari Arab, tidak pula dari Barat, atau India, dari Cina… tetapi, Pedoman Perilaku yang lahir dari pemahaman kita tentang budaya kita sendiri. Budaya yang senantiasa maju dan memajukan. Budaya yang senantiasa hidup. Budaya yang tidak pernah mati. Budaya yang melahirkan semboyan: Berbeda tapi Satu!…….. Banyak budaya di luar sana yang tidak memahami semboyan itu. Iklim di luar sana tidak cukup subur untuk melahirkan sesuatu semulia itu. Tak apa. Tidak perlu merasa hebat dari mereka. Tetapi, tidak perlu pula mencontek mereka, meniru mereka. Untuk apa? Budaya-budaya di luar sana mengajakmu untuk menjadi keras, kasar, kaku, alot. Kemudian, dalam kekerasan itu, dalam kekasaran itu, dalam kekakuan dan kealotan itu, kita tidak mampu lagi melihat kesatuan dan persatuan di balik perbedaan…….
Sang Istri: Dalam sebuah artikel di internet, yang saya lupa kapan dan di mana pernah saya juga pernah membaca bahwa……. Sejak dulu sampai sekarang, kita tidak dipersatukan oleh agama ataupun akidah agama. Nilai-nilai agama – atau dharma dalam bahasa kuno – di kepulauan kita adalah nilai-nilai spiritual yang universal, semuanya sudah termaktub dalam ideologi nasional Pancasila. Fikih, atau akidah agama, dan qanun atau peraturan berdasarkan fikih adalah “interpretasi manusia dari pemahaman manusia” atas Syariah atau nilai-nilai luhur keagamaan. Ini menjelaskan berbagai aliran pemikiran, mazhab di Arab, dan berbagai interpretasi fikih. Inilah sebabnya kenapa “membatui sampai mati” tak dilakukan di seluruh negara Timur Tengah. Negara-negara dan kerajaan di daerah tersebut tak mempunyai interpretasi yang seragam atas akidah agama……..
Sang Suami: “Angluhuraken bongso kito tegesipun anjebar winih budi jawi, gampilaken margining bongso ngupadosi papan panggesangan”…….. Meluhurkan bangsa kita berarti menyebar benih budi luhur, memudahkan bangsa mencari mencari nafkah……Dengan menyebarkan benih-benih luhur di atas dan melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, maka Indonesia akan sejahtera. Dalam buku “Indonesia Baru” tersebut disampaikan…….. Manusia Indonesia Baru tidak hanya berbicara tentang kebersamaan, kesetaraan, kesejahteraan dan keadilan sosial bagi sesama. Ia berupaya untuk mewujudkannya dalam hidup sehari-hari. Sebagai Petani, ia tidak merasa rendah karena pekerjaannya. Ia sadar sesadar-sadarnya bahwa tanpa usahanya itu pembangunan negara dan bangsa sungguh tidak berarti. Negara yang masih harus mengimpor kebutuhan-kebutuhan pokoknya sudah jelas berada di ambang kehancuran. Tinggal tunggu diperbudak, dijajah… Sebagai Pejabat, ia sudah pasti merasa malu bahwa gaji dan tunjangan yang diterimanya dari kas engara setiap bulan, jauh melebihi tabungan seumur hidup seorang petani. Sebagai Wakil Rakyat, ia sadar bahwa ketaksadaran dan ketakpekaan para pejabat negara, termasuk dirinya, menciptakan lahan subur bagi revolusi berdarah, bagi comebacknya komunisme. Sebagai Pedagang, Pengusaha, Profesional dan Industrialis, ia pun tahu bahwa kesejahteraan dirinya tidak dapat dipisahkan dari kesejahteraan bagi semua. Ketenangan dan rasa aman yang dirasakannya sungguh semu, selama mereka yang tinggal di perkumuhan masih tidur dengan perut keroncongan. Para Alim-Ulama, Rohaniawan dan Agamawan – tidak lagi berpihak apda kekuasaan hanya untuk mempertahankan kedudukan dan status sosial mereka. Para Ilmuwan, para Seniman dan para Budayawan tidak melacurkan pengetahuan mereka, tidak menjual seni mereka, tidak menggadaikan budaya asal mereka, demi kepingan emas…….
Sang Istri: Selanjutnya Manusia Indonesia Baru tidak hanya menjadi warga negara yang baik, tetapi juga warga dunia yang baik. Dalam buku “Indonesia Baru” tersebut disampaikan…….. Kepercayaan Manusia Indonesia Baru pada kebersamaan dan kesetaraan muncul dari kasih, dari percikan ilahi itu yang senantiasa menerangi jiwanya, ruhnya, sukmanya, menjernihkan pikirannya, melembutkan perasaannya, dan menuntun setiap langkahnya… Sebab itu, Manusia Indonesia Baru merasakan “kebersamaan” tidak hanya dengan sesama anak bangsa, atau sesama umat saja… Ia merasakannya bersama sesama manusia. Sesama makhluk hidup. Kebanggaannya terhadap Bangsa dan Negara, cintanya teradap Ibu Pertiwi, terhadap Tanah Air, tidak menjadi penghalang baginya untuk menghormati setiap bangsa dan negara, untuk mencintai dunia ini dengan seluruh isinya. Manusia Indonesia Baru memang Insan Indonesia. Ia memang putra Ibu Pertiwi…. namun ia juga menyadari kedudukannya sebagai Warga Dunia… ia menyadari tanggungjawabnya sebagai penghuni bersama dunia yang satu ini. Ia tahu bahwa Langit yang satu pun tak terkotakkan, tak dapat dibingkai. Dan, dia atas segalanya ia percaya pada nilai-nilai luhur kemanusaan yang sama dan satu pula. Semboyannya jelas, One Earth, One Sky, One Humankind….. Satu Bumi, Satu Langit, Satu Kemanusiaan!………..
Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva!
Situs artikel terkait
http://www.oneearthmedia.net/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo
Oktober 2010