Sepasang suami istri setengah baya sedang membicarakan renungan kelimabelas dari Nasehat RM Panji Sosro Kartono. Sebagai referensi mereka menggunakan buku-buku Bapak Anand Krishna.
Sang Istri: Renungan “Eyang” Sosro Kartono kelimabelas…… “Anglurug, tanpo bolo, tanpo gaman; Ambedah, tanpo perang tanpo pedang; Menang , tanpo mejahi tanpo nyakiti; Wenang, tanpo ngrusak ayu, tanpo ngrusak adil; Yen unggul, sujud bekti marang sesami”……… Menyerang, tanpa balantentara, tanpa senjata. Menerobos, tanpa perang , tanpa pedang. Menang , tanpa membunuh, tanpa menyakiti. Berkuasa, tidak merusak kebaikan, tidak merusak keadilan. Jika unggul, sujud berbakti kepada sesama manusia…….
Sang Suami: Pengalaman “Eyang” Sosro Kartono melanglang buana selama 17 tahun di Eropa setelah lulus dari Universitas Leiden Belanda, termasuk pengalaman sebagai wartawan The New York Herald Tribune memperluas wawasan internasional beliau. Dengan meng-kolaborasi-kan wawasan internasional dengan kearifan lokal, maka beliau merumuskan perlunya non violence, tanpa kekerasan sebagi solusi perdamaian dunia. Dalam buku “Life Workbook, Melangkah dalam Pencerahan, Kendala dalam Perjalanan, dan Cara Mengatasinya” disampaikan…….. Cara kita menangani setiap persoalan harus bijak. Cara kita melayani hidup harus bijak. Dan nilai kebijakan tertinggi adalah : “Aku senang, kau pun harus senang. Aku bahagia, kau pun mesiti bahagia. Berarti, aku tidak dapat mengabaikan kepentinganmu demi kepentingan diri.” Komitmen kita terhadap non violence atau non injury, tidak melakukan kekerasan, tidak menyakiti dengan sengaja adalah kebijaksanaan……. Dalam buku “Bagimu Ibu Pertiwi, Realisasi Nilai-Nilai Luhur Bhagavad Gita Demi Kebangkitan Jiwa Indonesia” disampaikan……. Janganlah kau melakukan kekerasan, tetapi jangan pula membiarkan kekerasan terjadi pada dirimu. Itu bukan Non Violence, itu bukan Ahimsa. Menolak kekerasan berarti menolak segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan yang ditujukan kepadamu…..
Sang Istri: Kekerasan adalah pertanda kelemahan. Dalam buku “The Gospel of Michel Jackson” disampaikan……. Adanya kebenaran dan cinta mewujudkan kekuatan. Kepalsuan dan egoisme tidak memiliki kekuatan apapun sehingga harus mempersenjatai diri, harus menggunakan senjata dan harus bertindak dengan jalan kekerasan. Dan kekerasan adalah pertanda kelemahan. Dimana tiada kebenaran dan tiadanya cinta, pasti ada pertengkaran dan ketidakharmonisan. Kepalsuan tidak mengenal kedamaian, egoisme tidak mengenal harmoni……..
Sang Suami: Seorang anak lahir dengan membawa warisan genetik tertentu dan bisa saja berupa potensi kekerasan, dan hal ini sering diabaikan. Dalam buku “Bhaja Govindam Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara” disampaikan…….. Kenapa sistem pendidikan kita selama ini belum berhasil? Karena kita berasumsi bahwa setiap anak yang lahir di dunia bak papan tulis yang masih bersih, tinggal kita tulisi agama, etika dan moralitas di atasnya. Penemuan-penemuan ilmiah di bidang biologi dan psikologi membuktikan bahwa anak bayi yang baru lahir pun sudah memiliki sifat dasar. Kita perlu tahu sifat dasar anak yang baru lahir. Kemudian pendidikan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhannya. Bila seorang anak bayi memiliki keinginan untuk membunuh sebagai sifat dasarnya, terlebih dahulu keinginan itu harus diselesaikan lewat proses pendidikan pelembutan jiwa. Baru diajarkan agama, etika dan moralitas. Bila tidak lewat proses pendidikan pelembutan jiwa, ia akan membunuh atas nama agama. Ia akan melakukan kekerasan atas nama etika dan moralitas…….
Sang Istri: Suamiku, bahkan demokrasi berdasarkan suara terbanyak pun dapat menimbulkan kekerasan. Dalam buku “Reformasi, Gugatan Seorang Ibu” disampaikan…….. Demokrasi berdasarkan “suara terbanyak”, tidak cocok untukmu. Landasannya adalah “pendapat mayoritas” yang bisa berarti kekerasan dan penindasan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Kelompok yang memperoleh suara terbanyak akan selalu menang. Sistem Demokrasi bagi negara ini, harus berdasarkan kesadaran – kesadaran bahwa warga keturunan Cina dan Arab, India dan Barat memiliki hak yang sama sebagaimana dimiliki oleh mereka yang berasal dari Jawa dan dari Sumatra, dan dari Sulawesi atau daerah-daerah lain. Sekecil-kecilnya kelompok mereka – mereka tetap merupakan bagian tubuh ibumu. Aku ibu mereka semua. Aku ibu kalian semua. Sistem Demokrasi yang aku dambakan bagi negara ini, akan memperhatikan kepentingan setiap kelompok, setiap insan. Dalam demokrasi berdasar kesadaran, yang berkuasa akan mendengar setiap suara. sebaliknya, yang mengeluarkan suara akan selalu berada di atas kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok……
Sang Suami: Bila kita jujur, maka pemahaman yang terlalu eksklusif terhadap agama telah menyebabkan banyak kekerasan. Dalam buku “Bagimu Ibu Pertiwi, Realisasi Nilai-Nilai Luhur Bhagavad Gita Demi Kebangkitan Jiwa Indonesia” disampaikan…….. Pemahaman yang terlalu eksklusif terhadap agama, menyebabkan ribuan perang, selama seribu tahun terakhir. Perang yang sudah terjadi di Ambon dan Poso, masih mungkin terjadi di berbagai wilayah di Nusantara, jika pemahaman keagamaan kita belum berubah. Persoalan agama adalah persoalan yang sangat mendasar,yang sebetulnya merupakan refleksi dari krisis kejiwaan kita, yang berpotensi menghancurkan eksistensi kita sebagai sebuah bangsa. Agama harus berperan sebagai “pemersatu”, bukan sebagai pemecah-belah. Kemudian, energi yang timbul dari persatuan itu, dapat menyelesaikan segala persoalan. Demikianlah keyakinan saya……. Dalam buku “Kehidupan, Panduan Untuk Meniti Jalan Ke Dalam Diri” disampaikan…… Agama cinta kasih tidak menghasilkan perang atas nama agama. Atas nama patriotisme terhadap agama masing-masing, kita telah saling penggal memenggal. Atas nama kepercayaan, kita telah banyak membunuh. Hentikan pertumpahan darah!…… Dalam buku “The Gita Of Management, Panduan Bagi Eksekutif Muda Berwawasan Modern” disampaikan……… Mengaitkan agama dengan kekerasan terhadap sesama makhluk hidup, dengan alasan apa pun telah melecehkan landasan agama. Ia telah melupakan Allah yang Rahman dan Rahim adanya Cinta-Kasih. Mereka belum menemukan landasan agama…….
Sang Istri: Dalam 2000 tahun terakhir saja kita sudah ribuan kali berperang atas nama agama. Atau, dengan menggunakan dalih agama. Pemahaman kita tentang agama memang elastis – bisa membenarkan aksi kejahatan demi surga dan mati syuhada. Bisa juga menolaknya dan memberi interpretasi lain bagi surga dan syuhada. Adalah sangat jelas – walau banyak yang tidak mau mengakuinya – bahwa agama “bisa” dijadikan alasan untuk membenarkan aksi kejahatan dan kekerasan. Agama “dapat” digunakan sebagai alat untuk berbuat kejam, keji dan tidak adil terhadap sesama manusia…….. Demikian disampaikan dalam buku “Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan”…..
Sang Suami: Kita perlu memahami istilah Ahimsa dari Mahatma Gandhi. Dalam buku “Life Workbook, Melangkah dalam Pencerahan, Kendala dalam Perjalanan, dan Cara Mengatasinya” disampaikan……. Ahimsa, Do Not Act Violently, Do Not Cause Injury, Jangan Menggunakan Kekerasan, Jangan Menyakiti. Seperti yang dikatakan Martin Luther King, Jr., seperti yang dipahami beliau dari ajaran Mahatma Gandhi, “Senjata kita hanya satu, senjata kasih!” Ahimsa juga berarti menghormati orang lain. Jika sudah membuat janji untuk bertemu jam 10 pagi, lima menit sebelumnya kita sudah berada di tempat pertemuan. Jangan sampai orang lain menunggu. Itu pun kekerasan. Melihat orang lain menderita, para radikal merasa bahagia. Ahimsa berarti merasakan penderitaan orang lain siapa pun orang lain itu. Ahimsa berarti memutuskan untuk tidak menambah penderitaan seorang pun, karena sudah cukup penderitaan di dunia ini. Ahimsa juga berarti tidak menyiksa diri; tidak mengintimidasi siapa pun dengan kehendak membakar diri jika keinginan kita tidak dikabulkan, atau membakar bendera negara lain, karena pemerintahnya tidak bertindak sesuai dengan keinginan kita. Kita juga harus ingat bahwa ahimsa bukanlah pekerjaan para pengecut. Seorang pengecut bertindak karena takut. Ia tidak memiliki keberanian. Pasal pertama abhaya tidak dimilikinya. Dalam bahasa Gandhi, “Kau harus memiliki kemampuan dan kekuatan untuk membalas, tetapi memutuskan untuk membalas itulah ahimsa”………
Sang Istri: Mahatma Gandhi sering mengatakan, “Mata dibalas mata banya akan membutakan dunia.” Dan, kata-kata dari beliau inilah yang menggema dalam benak aktivitas hak sipil Afrika-Amerika, Bayard Rustin (1912-1987), yang pada waktu itu menasehati Martin Luther King, Jr. (1929-1968) untuk mendedikasikan diri pada prinsip-prinsip anti kekerasan. Kepresidenan Obama hanyalah akibat; sebabnya adalah “perjuangan hak sipil tanpa kekerasan oleh Martin Luther King. “Kepresidenan Obama” adalah sebuah bangunan di atas pondasi yang disusun King. Disokong oleh para kawannya, King telah berkelana ke India untuk mempelajari lebih dalam mengenai Gandhi dan “kisah suksesnya” dalam meraih kemerdekaan India melalui perjuangan tanpa kekerasan…… Demikian disampaikan dalam buku “The Gospel of Obama”………
Sang Suami: Dalam buku tersebut juga disampaikan……. dalam sebuah konferensi internasional, saya diminta untuk mengomentari isu-isu Palestina, saya berulang hali menegaskan pendirian bahwa saya sangat mendukung perjuangan rakyat Palestina untuk mendapatkan tanah airnya….. tetapi tidak setuju dengan cara-cara mereka, terutama Hamas, untuk mencapai tujuan ini. Cara-cara ini tidak akan berhasil. Pada akhirnya, setelah mengorbankan begitu banyak nyawa, mau tak mau harus duduk berunding dan menyelesaikan perkara mereka dalam sebuah perundingan. Hamas, seperti yang kita ketahui, didukung oleh sekelompok orang Iran, jika tidak mau menyebut negara Iran itu sendiri. Konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina sepertinya menjadi cara untuk mengalihkan rakyat mereka dari isu-isu riil di halaman mereka sendiri termasuk, namun tidak terbatas, pada bidang ekonomi, gender, dan keadilan sosial. Di saat yang sama, konflik ini juga menguntungkan Monarki Saudi untuk mengalihkan rakyat mereka dari isu-isu serupa di negaranya sendiri. Negara Israel sama nyatanya dengan Negara Palestina. Baik Israel dan Palestina berhak untuk mendapatkan tanah airnya. Kita jangan lagi salah menafsirkan kitab suci dan ayat-ayat kontekstual sebagai ayat universal. Jika ada oknum masyarakat Kristen atau Yahudi di masa lalu yang menentang Nabi SAW, bukan berarti bahwa umat Muslim harus terus memerangi orang-orang Kristen dan Yahudi selama-Iamanya……..
Sang Istri: Mengatasi rasa saling curiga yang akut memang tidak mudah; sulit memang, tetapi bukan tidak mungkin. Presiden Obama menyarankan cara-cara yang diperlukan: Pertama, Keberanian: Adalah suatu beberanian untuk mengakui kesalahan. Keberanian untuk mengoreksi kesalahan ini. Keberanian untuk berubah. Keberanian untuk melepaskan masa lalu dan menguburnya dalam-dalam. Keberanian untuk memulai album hidup baru, lembaran hidup baru yang benar-benar kosong, sebuab awal baru. Keberanian untuk memaafkan dan melupakan. Kedua, Ketulusan: Istilah yang digunakan oleh Presiden Obama, “rectitude”; biasanya didefinisikan sebagai “sifat atau kondisi yang selalu berada di jalan yang lurus”, saya menerjemahkannya sebagai “ketulusan”, ketulusan hati. Ini adalah gabungan antara “integritas moral” dan “kebajikan”. Ini juga merupakan “sifat atau kondisi tepat dalam penilaian atau prosedur……. Demikian disampaikan dalam buku “The Gospel of Obama”………
Sang Suami: Ternyata nasehat “Eyang” Sosro Kartono tentang non violence masih tetap relevan baik dalam lingkup nasional maupun internasional…… Terima Kasih “Eyang” Sosro Kartono…..
Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva!
Situs artikel terkait
http://www.oneearthmedia.net/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo
Oktober 2010