October 4, 2010

Memaknai Kembali Nasehat RMP Sosro Kartono Renungan Kesebelas “Wani Kalah, Wani Asor Lan Ngaku Cilik”

Sepasang suami istri setengah baya sedang membicarakan nasehat RMP Sosro Kartono. Mereka sudah sampai renungan kesebelas. Sebagai referensi, mereka menggunakan buku-buku Bapak Anand Krishna.

Sang Istri: Renungan “Eyang” Sosro Kartono kesebelas……… Durung menang yen durung wani kalah; Durung unggul yen durung wani asor; durung gede yen durung ngaku cilik”……… “Belum menang, kalau belum berani kalah; Belum unggul, kalau belum berani rendah; Belum besar, kalau belum mengaku kecil……

Sang Suami: “Eyang” Sosro Kartono menasehati agar kita rendah hati. Menjadi mereka yang berjiwa besar; walau sebenarnya bisa menang tetapi mengalah; walau bisa lebih unggul tetapi mengaku rendah agar dapat menciptakan perdamaian. “Eyang” Sosro Kartono juga menasehati agar kita bisa menundukkan ego. Seseorang yang egois yang membesarkan dirinya sebenarnya berjiwa kecil sehingga malu mengkui dirinya kecil. Pertama tama masalah rendah hati, dalam buku “Bersama J.P Vaswani Hidup Damai & Ceria” disampaikan…… Kerendahan hati adalah “buah kesadaran”. Kerendahan hati “terjadi” bila kita sadar akan jati diri kita. Sadar akan keunikan diri kita. Sadar akan keterkaitan diri dengan alam dan lingkungan sekitar kita. Sadar akan hubungan kita dengan Sang Maha Pengasih. Kerendahan hati terjadi bila kita sadar akan tugas serta kewajiban kita masing-masing dan, melaksanakannya dengan baik. Kerendahan hati berarti seorang ketua datang tepat waktu untuk memimpin rapat; tidak selalu terlambat. Kerendahan hati berarti seorang pekerja ikut memahami keadaan perusahaan dan pimpinannya, tidak menuntut melulu. Kerendahan hati berarti mengubah diri. Tidak mengharapkan orang lain berubah untuk dirinya. Dan, di atas segalanya kerendahan hati berarti tidak angkuh ; tidak sombong; tidak merasa “sudah” cukup rendah hati. Usahakan rendah hati, karena tidak mungkin terjadi pengertian yang sungguh-sungguh tanpa adanya sikap rendah-hati………

Sang Istri: Benar suamiku, dalam buku tersebut juga disampaikan bahwa……. Hanya apabila kita rendah-hati, kita dapat mengerti. Sebaliknya keangkuhan kita selalu menjadi rintangan. Keangkuhan dan tiadanya sikap rendah hati inilah yang menjadi sebab utama kesalahpahaman. Seseorang yang rendah-hati tidak akan menganggap dirinya superior. Pembicaraan kita dengan orang lain selalu menggunakan istilah “aku” atau padanannya “saya”. Aku berbuat begini; aku berbuat begitu. Aku memberikan ini; aku menghasilkan ini. Seseorang yang rendah-hati sebaliknya tidak akan menggunakan istilah “aku” . la akan selalu menggunakan istilah “kami” kalau terpaksa tidak mengikutkan orang yang diajak bicara dan “kita” kalau juga hendak mengikutsertakan orang yang diajak bicara……..

Sang Suami: Mereka yang rendah hati tidak akan menyombongkan diri sebagai cendekiawan. Dalam buku “Mengikuti Irama Kehidupan Tao Teh Ching Bagi Orang Modern” disampaikan bahwa…….. Lao Tze mengatakan bahwa suara hati nurani kita berasal dari sumber sama yang menyebabkan terjadinya segala sesuatu dalam alam ini. Kebijaksanaan yang tidak dapat ditandingi, itulah suara nurani kita. Tetapi, suara hati nurani ini tidak akan terdengar oleh para cendekiawan. Mereka yang membanggakan dirinya sebagai cendekiawan akan menjadi tajam, menjadi teknokrat, birokrat. Mereka bisa menjadi apa saja. Mereka dapat menduduki jabatan-jabatan tinggi. Tetapi mereka kehilangan kontak dengan sesuatu yang tidak dapat dinilai dengan materi, suara hati mereka, kesadaran mereka. Sebaliknya, mereka yang sadar begitu percaya pada diri sendiri, sehingga tidak akan terikat pada identitas-identitas diri yang palsu. Mereka tidak akan menyombongkan diri mereka sebagai cendekiawan. Mereka akan semakin rendah hati. Pandangan mereka semakin lembut, tidak terfokuskan pada sesuatu. Mereka melihat dunia ini seutuhnya. Untuk meraih sesuatu, mereka tidak akan besikeras sedemikian rupa sampai-sampai tindakannya merugikan orang lain………

Sang Istri: Dalam buku “Masnawi Buku Kelima, Bersama Jalaluddin Rumi Menemukan Kebenaran Sejati” disampaikan…….. Sheikh Baba selalu berkata, kita sudah lupa tujuan utama “shalawat” berdoa dan mengucapkan salam kepada Nabi, keluarga dan sahabatnya. Kita hanya mengucapkannya seperti burung beo. Apakah nabi membutuhkan doa kita? Apakah keluarga serta sahabatnya membutuhkan “pemberkatan” dari kita? Jelas tidak. Kemudian, kenapa nabi sendiri menganjurkannya? Karena kerendahan hati beliau. Rendah hati, inilah sifat utama para nabi. Mereka tidak sombong, tidak angkuh. Seperti orang biasa saja, mereka malah minta di-“doa”kan, di-“berkat”-i. Setiap kali mengucapkan shalawat bagi para nabi, hendaknya kita mengingat kerendahan hati mereka………

Sang Suami: Semakin hebatnya sontek-menyontek, bajak membajak hasil karya di negeri kita mengingatkan kita akan kerendahan hati para pujangga. Dalam buku “Tetap Waras di Jaman Edan, Visi Ronggowarsito Bagi Orang Modern” disampaikan…….. Berbeda dengan pujangga, seorang cendikiawan bisa menyajikan apa saja. Bahasanya diubah sedikit, cara penyampaiannya diubah sedikit, dan dengan sangat mudah ia dapat menyajikan kebijakan-kebijakan masa lalu dalam bingkisan yang baru. Bahkan cendikiawan tidak berpikir dua kali untuk menyatakan bahwa sajiannya itu merupakan buah pikiran dia sendiri. Ia akan meng-“claim” orisinalitas pikirannya. Itulah bedanya antara cendikiawan kitaa dan seorang pujangga. Seorang Pujangga akan menyelami kebijakan masa lalu, melakukan uji coba atas dirinya sendiri, lantas sesuai dengan apa yang dialaminya dan dianggapnya masih relevan dengan masa kini, ia akan menyajikan kembali. Dengan rendah hati ia akan mengatakan bahwa apapun yang sedang ia sampaikan itu merupakan kebijakan-kebijakan masa lalu. Ia tidak meng-“claim” orisinalitas. Bicara dari pengalaman sendiri, dari pengamatan sendiri, itu yang membuat seorang Pujangga berbeda……..

Sang Istri: Mereka yang merindukan Tuhan larut dalam kerinduannya dan tak sempat untuk memikirkan keinginan pribadi untuk menang atau untuk unggul. Dalam buku “Masnawi Buku Keempat, Bersama Jalaluddin Rumi Mabuk Kasih Allah” disampaikan……. Kerinduan kita terhadap Tuhan membuktikan bahwa kita pernah “tinggal” di dalam-Nya. Berpisah dari Dia, kita menderita. Kita harus jujur benarkah kita merindukan Tuhan? Ada yang baru percaya. Dan dia percaya pula bahwa “kerinduan terhadap Tuhan” akan mempertemukan dia dengan Tuhan. Lalu dia berpura-pura merindukan Tuhan. Tidak, itu tidak akan membantu……. Merindukan Tuhan berarti kita tidak mengharapkan “apa pun” dari Dia. Merindukan Tuhan berarti kita hanya mendambakan “Dia”. Doa kita bukan untuk meminta ini dan meminta itu, tetapi untuk bersatu dengan Dia. Keinginan untuk tampil sebagai pemenang, obsesi untuk mengalahkan orang lain, semua itu membuktikan bahwa kita masih “memiliki banyak waktu”. Waktu kita belum sepenuhnya “tersita” untuk merindukan Dia. Kita belum merindukan Tuhan. Banyak kelompok “perindu” di India bertemu seminggu sekali. Kemudian mereka menangis bersama. Tetapi ya itu, hanya seminggu sekali saja. Esoknya, semua normal kembali. Kerinduan mereka memang sudah terjadwalkan 1 x seminggu……..

Sang Suami: Durung menang yen durung wani kalah; Durung unggul yen durung wani asor; durung gede yen durung ngaku cilik”……… “Belum menang, kalau belum berani kalah; Belum unggul, kalau belum berani rendah; Belum besar, kalau belum mengaku kecil…… Pujangga Sri Mangkunagoro IV mengatakan mereka selalu ingin menang, unggul dan dianggap besar sedang sakit jiwanya. Dalam buku “Wedhatama Bagi Orang Modern” disampaikan…….. Sri Mangkunagoro memang seorang jenius. Bagi Beliau, seseorang yang tidak sadar seperti orang yang sakit, jiwanya tidak sehat – “socaning jiwangganira”. Beliau tidak menjatuhkan vonis, bahwa orang yang tidak sadar itu berdosa. Ahli ilmu jiwa akan membenarkan pandangan Beliau. Yang sakit jiwanya, yang merasa dirinya hampa, akan selalu mengejar kedudukan, ketenaran dan kekayaan. Seseorang yang ingin menonjolkan dirinya, memang sedang sakit. Yang sakit jiwanya merasa begitu kosong, begitu hampa, begitu tak berdaya, sehingga membutuhkan pengakuan dari masyarakat……

Sang Istri: Pujangga Sri Mangkunagoro IV mengatakan mereka selalu ingin menang, unggul dan dianggap besar sedang sakit jiwanya. Berarti mereka yang egoistis, jiwanya belum sehat. Tembok ego memang harus diruntuhkan. Dalam buku “Masnawi Buku Kedua Bersama Jalaluddin Rumi Memasuki Pintu Gerbang Kebenaran” disampaikan…….. Tembok yang dimaksudkan adalah “Tembok Ego”; tembok keangkuhan, tembok kesombongan yang harus runtuh. Menundukkan kepala dalam doa berarti menundukkan ego, melepaskan keangkuhan. Membebaskan diri dari kesombongan,  kita semakin dekat dengan Sungai Kehidupan, Tuhan, Allah. Kita minum airnya, tidak haus lagi. Mari kita renungkan bersama, apa yang terjadi selama ini. Apakah kita sudah dekat dengan Sungai Kehidupan? Apakah sudah minum airnya? Apakah sudah tidak haus lagi? Sepertinya, kita masih haus. Sepertinya kita belum minum air dari Sungai Kehidupan. Berarti, kepala kita belum cukup tunduk. Berarti, “Tembok Ego” belum cukup runtuh; malah, jangan-jangan masih utuh. Lantas, apa gunanya menundukkan kepala sekian kali setiap hari? Tanpa pemahaman yang benar, tanpa kesadaran, ritus yang kita lakukan tidak akan membantu sama sekali; malah membuat kita angkuh, sombong, karena justru mempertinggi dan memperkuat Tembok Ego. “Aku sudah shalat, aku sudah berdoa, aku sudah sembahyang, aku sudah meditasi! What about you? Engkau murtad, ateis, tidak beragama. Contohlah aku!” Sudah mengikuti syariah agama, koq “Tembok Ego” kita masih utuh juga? Di mana letak kesalahan? Mungkin, kita sudah cukup puas dengan suara air. Mungkin, kita belum cukup haus. Mungkin, kita tidak pernah berupaya untuk meruntuhkan tembok itu. Rumi berkata, semakin haus, kamu akan semakin cepat meruntuhkan tembok ego. Suara air akan mendorongmu untuk bekerja lebih keras. Sementara ini, hanya dahi kita menyentuh lantai. Ego kita tidak pernah menunduk……. Semoga tidak demikian…….. Terima Kasih “Eyang” Sosro Kartono……

Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva!

Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.net/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

Oktober 2010

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone