October 1, 2010

Memaknai Kembali Nasehat RMP Sosro Kartono, Renungan Kesembilan Maksud Kehidupan

Sepasang suami istri setengah baya sedang membicarakan renungan kesembilan dari Nasehat RM Panji Sosro Kartono. Mereka menggunakan referensi buku-buku Bapak Anand Krishna. Mereka menganggap buku yang membicarakan kesadaran sebagai “yantra”, alat untuk membuat sadar akan kehadiran-Nya.

Sang Istri: Renungan “Eyang” Sosro Kartono kesembilan ………. “Sinau ngraosake lan nyumerepi tunggalipun manungsa, tunggalipun rasa, tunggalipun asal lan maksudipun agesang. Tansah anglampahi dados muriding agesang“……. “Belajar merasakan dan mengetahui bahwa manusia itu satu, rasa itu satu, asal dan arti kehidupan satu. Selalu menjadi murid kehidupan”…..

Sang Suami:Sinau ngraosake lan nyumerepi tunggalipun manungsa, tunggalipun rasa, tunggalipun asal lan maksudipun agesang“……. “Belajar merasakan dan mengetahui bahwa manusia itu satu, rasa itu satu, asal dan makna kehidupan satu”…….. “Eyang” Sosro Kartono dalam bahasa sekarang berbicara tentang keikaan, keutuhan, “oneness”. Selama ini karena menganggap badan adalah diri kita, maka kita merasa setiap orang berbeda. Dalam buku “Five Steps To Awareness, 40 Kebiasaan Orang Yang Tercerahkan” disampaikan…….. Bebaskan dirimu dari anggapan keliru bahwa badan inilah dirimu. Bebaskan diri dari anggapan keliru yang bersifat “delusory”, ilusif. Anggapan keliru ini telah membingungkan kita. Kemudian kita bersuka dan berduka dalam kebingungan itu. Kita senang karena “merasa” berhasil dan menang. Kita sedih karena “merasa” gagal dan kalah. Siapa yang merasakan keberhasilan dan kegagalan itu? Siapa yang merasakan kemenangan dan kekalahan itu? Panca indra kita. Apakah pancaindra itu satu-satunya kebenaran diri kita? Adakah kebenaran lain yang lebih tinggi di balik pancaindera yang kita miliki?………… Dimanakah kita sebelum kawin, berkeluarga, dan membina rumah tangga? Siapakah kita sebelum terciptanya ikatan dan keterikatan baru itu? Seperti apakah jati diri kita sebelum kita menjadi suami dan ayah, atau istri dan ibu? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini masih bisa ditarik ke belakang. Dimanakah kita sebelum kelahiran kita? Di mana pula keberadaan kita nanti setelah kematian? Apakah kelahiran badan menandai kelahiran kita? Apakah kematian badan mematikan diri kita?……..

Sang Istri: Kemudian ada yang menganggap pikiran kita sebagai diri kita. Tetapi pikiran pun tidak konsisten, dia pun dapat berubah. Dalam buku “Bodhidharma, Kata Awal Adalah Kata Akhir “ disampaikan……. Mind ibarat perangkat lunak komputer. Ia tidak bisa berfungsi sendiri. Harus ada perangkat keras agar dia bisa berfungsi. Otak adalah perangkat keras yang dibutuhkannya. Kemudian, selama kita masih memiliki otak, perangkat lunak itu  atau mind dapat di-over write dapat dirancang kembali, dapat diubah total, sehingga sama sekali berada dari aslinya. Ini yang disebut proses deconditioning dan re-creating mind. Isi mind bukanlah harga mati. Kita bisa mengubahnya. Mind itu sendiri tidak lebih dari sebuah ilusi. Diatas apa yang ditulis, kita dapat menulis ulang apa saja. Mind itu rewritable! Mind menciptakan dualitas kaya-miskin, lengkap dengan “definisi” orang kaya dan orang miskin. Mind dapat menimbang kekayaan dan kemiskinan. Mind terpengaruh oleh definisi kekayaan dan kemiskinan ciptaannya sendiri. Bebas dari mind-set berarti bebas dari ketergantungan pada mind; bebas dari segala sesuatu yang memahami jiwa. Kemudian, barulah berjalan proses pemberdayaan diri, diawali dengan “penemuan jati diri”, kesadaran diri, self-awareness!……..

Sang Suami: Benar istriku, manusia mempunyai beberapa lapisan kesadaran. Dalam buku “Seni Memberdaya Diri 1, Meditasi Untuk Manajemen Stres dan Neo Zen Reiki” disampaikan……..  Manusia mempunyai lapisan-lapisan kesadaran yang dibawa sebagai bekal sejak kelahiran. Akan tetapi tidak semua berhasil mengarungi atau keluar masuk lapisan kesadaran tersebut. Keluar masuk lapisan kesadaran dari dalam manusia adalah pengalaman yang tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan membutuhkan latihan. Lapisan-lapisan kesadaran dalam diri manusia terdiri dari: Lapisan kesadaran jasmani, energi, pikiran, intelejensia dan spiritual. Banyak orang yang berhasil menempuh perjalanan menembus lapisan-lapisan kesadaran tersebut. Tetapi tidak sedikit pula yang merasa atau mengira sudah menempuhnya, padahal belum. Lapisan-lapisan tersebut mempunyai ciri dan kualitas energi yang mempengaruhi kejiwaan manusia. Terlebih dahulu perlu disadari bahwa lapisan  kesadaran itu ada didalam diri manusia. Keberadaannya tidak merupakan pemilahan yang tajam, namun keutuhannya adalah potensi manusia. Untuk mencapai puncak pemekaran potensi diri manusia, perlu ditempuh perjalanan ke dalam diri, menembus lapisan kesadaran tersebut. Perjalanan tersebut hanya bisa ditempuh melalui meditasi……..

Sang Istri:Sinau ngraosake lan nyumerepi tunggalipun manungsa, tunggalipun rasa, tunggalipun asal lan maksudipun agesang“……. “Belajar merasakan dan mengetahui bahwa manusia itu satu, rasa itu satu, asal dan makna kehidupan satu”…….. Dalam buku “Five Steps To Awareness, 40 Kebiasaan Orang Yang Tercerahkan” disampaikan……… Apa yang disebut jati diri sesungguhnya bukanlah jati diri-”mu” atau jati diri-“ku” tetapi hanya jati diri. Titik. Jati diri adalah esensi kehidupan, inti sari kehidupan; titik awal dan titik akhir kehidupan. Marilah bersungguh-sungguh dalam upaya kita untuk menemukan titik ini di dalam diri. Titik ini tidak ada di luar diri; ia berada di dalam diri kita; dalam sanubari kita. Sesungguhnya, titik itulah sanubari kita, nurani kita, kesadaran serta pencerahan diri kita, sekaligus sumber segala keilahian dan kemuliaan di dalam kita. Marilah bersungguh-sungguh, karena kita membutuhkan energi yang luar biasa untuk menemukan kembali apa yang sesungguhnya tidak pernah hilang itu. Kenapa justru dibutuhkan energi yang luar biasa untuk menemukan sesuatu yang pernah hilang? Karena “kehilangan” itu terjadi dalam pikiran kita. Kehilangan itu adalah ilusi pikiran kita. Untuk menemukan kembali apa yang “terasa” hilang itu, kita harus menaklukkan perasaan kita sendiri. Kita harus mengoreksi sendiri pikiran kita………

Sang Suami: Kemanusiaan itu bukan hitam atau putih, atau keduanya. Kemanusiaan adalah satu. Anak adalah anugrah alam, keajaiban dan misteri. “Goresan” DNA berbeda, jika kita menilik cukup jauh ke belakang, kita akan temukan kita semua berasal dari satu sumber yang sama. Atom itu satu. Energi juga satu. Sumber segala kehidupan adalah satu. Perbedaan kita adalah geografis. Perbedaan biologis. Tetapi bukan perbedaan yang prinsipil. Pada dasarnya, kita semua satu. Jadi, kembali lagi pada kita. Bagaimana cara pandang kita? Apakah kita menyadari esensi yang satu dan sama, atau kita hanya melihat perbedaan-perbedaan di permukaan? …….. Demikian disampaikan dalam buku “The Gospel Of Michael Jackson”…..

Sang Istri: “Tansah anglampahi dados muriding agesang“……. Selalu menjadi murid dari kehidupan, selalu belajar dari kehidupan. Gusti meliputi semua alam ini, Gusti berada di mana-mana, berada dalam setiap makhluk. Setiap makhluk yang berhubungan dengan kita adalah wujud-wujud Gusti untuk mengajar kita, membimbing kita ke arah peningkatan kesadaran. Dalam buku “Menyelami Samudra Kebijaksanaan Sufi” disampaikan……. Semesta ini bagaikan unversitas terbuka, dimana kita sedang menjalani program, sedang mempelajari seni kehidupan. Bukan hanya mereka yang menyenangkan hati kita, tetapi juga mereka yang melukai jiwa kita, yang mencaci kita, yang memaki kita, sebenarnya diutus oleh Kebenaran untuk menguji kesiapan diri kita. Pasangan kita, istri kita, suami kita, orang tua dan anak dan cucu kita, atasan dan bawahan kita, mereka semua adalah dosen-dosen pengajar. Mereka yang melacurkan diri demi kepingan emas dan mereka yang melacurkan jiwa demi ketenaran dan kedudukan, mereka semua adalah guru kita. Anjing jalanan dan cacing-cacing di got, lembah yang dalam, bukit yang tinggi dan lautan yang luas, semuanya sedang mengajarkan sesuatu………

Sang Suami: “Tansah anglampahi dados muriding agesang“. Selalu menjadi murid dan belajar dari kehidupan. Para bijak belajar dari kehidupan sehari-hari. Dalam buku “Bhagavad Gita Bagi Orang Modern, Menyelami Misteri Kehidupan” disampaikan…….. Para bijak bukan cendekiawan. Cendekiawan bisa menjadi bijak, apabila ia sadar akan keterbatasan ilmu yang diperolehnya, bersedia belajar dari kehidupan sehari-hari dan berani turun ke jalan, tidak selalu memerintah dari ruangan ber-AC saja. Para bijak belajar dari kehidupan sehari-hari. Seorang Krishna adalah bijak, begitu pula Yesus, begitu pula Muhammad, Buddha dan Zoroaster. Mereka bukan cendekiawan. Mereka belajar dari alam sekitarnya, dari Keberadaan, dari kehidupan sehari-hari……….

Sang Istri: Sinau ngraosake lan nyumerepi tunggalipun asal lan maksudipun agesang”. Belajar merasakan asal dan makna kehidupan yang satu. Seorang sufi wanita Rabiah Al Adawiyah memberikan “makna” kehidupannya dengan Kasih. Dalam buku “Menyelami Samudra Kebijaksanaan Sufi” disampaikan…….Tujuan hidup ini apa? Lahir, dibesarkan oleh orang tua, meraih pendidikan, bekerja, berkeluarga, banting tulang bagi orang lain, lantas pada suatu hari ajal tiba dan Malaikat Maut datang menjemput kita. Apakah hidup ini bertujuan? Kita boleh-boleh saja menetapkan tujuan-tujuan ilusif. Kita boleh-boleh saja membayangkan suatu tujuan. Setiap tujuan yang kita bayangkan, tanpa kecuali, pada akhirnya toh akan mengantar kita ke liang kubur. Rabiah tidak berbicara tentang tujuan. Ia sedang memberikan “makna” pada kehidupannya. Pada saat kita lahir, Keberadaan Allah Yang Maha Kuasa memberikan selembar kertas kehidupan yang masih kosong. Apa yang akan kita tulis di atas kertas ini sepenuhnya menjadi pilihan kita. Kita bisa saja memilih untuk tidak menulis sesuatu apa pun. Kita bisa saja membiarkan lembaran itu tetap kosong. Kita bisa juga mengisinya dengan coretan-coretan yang tidak berguna. Ramai, tetapi tidak berarti sama sekali. Kita bisa mengisi kehidupan kita dengan selusin mobil, setengah lusin rumah, sekian banyak deposito, beberapa anak dan sebaiknya dan sebagainya. Kita bisa pula mengisinya dengan beberapa ijazah, beberapa penghargaan, jabatan-jabatan tinggi dan sebagainya dan sebagainya. Rabiah sedang mengisi lembaran kehidupannya dengan Cinta, dengan Kasih Allah. Ia memenuhi lembaran kehidupannya dengan kasih Allah. Ia tidak menyisihkan sedikitpun tempat untuk sesuatu yang lain, di luar Allah………

Sang Suami: Belajar pada kehidupan. Kita dapat berkaca dari kehidupan trilyunan sel dalam tubuh kita. Masing-masing sel hidup dalam jangka waktu tertentu yaitu mengalami lahir ,makan, bernafas, berkembang, menjadi tua dan mati dan diganti sel baru. Dalam kelompok-kelompok, mereka mempunyai ciri-ciri khas, misalnya kelompok mata, kelompok otak, kelompok darah putih dan lain-lain. Tetapi bagaimana pun mereka memahami adanya keterkaitan antar mereka demi menjaga keberadaan tubuh kita. Demikian juga individu manusia dalam kehidupan dunia ibarat kehidupan individu sel dalam kehidupan tubuh. Dalam buku “The Gospel of Michael Jackson” disampaikan…….. Setiap orang dan dunia ini saling terkait. Seluruh kehidupan ini adalah satu organisme sendiri. Seluruh dunia ini adalah satu tubuh. Kita semua seperti sel-sel dalam tubuh ini. Satu sel terkena infeksi, seluruh badan sel juga terinfeksi. Satu sel sehat, seluruh dunia juga ikut sehat. Jadi untuk membuat “dunia menjadi lebih baik” kita harus membuat hidup kita menjadi lebih baik pula. Tidak ada jalan lain, kitalah titik awal dunia yang lebih baik. Saat kita berevolusi, seluruh dunia juga berevolusi…….. Semoga kita tidak menjadi sel kanker yang tidak mau tahu dan bahkan merusak tubuh tempatnya hidup!……..

Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva!

Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.net/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

Oktober 2010

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone