October 2, 2010

Memaknai Kembali Nasehat RMP Sosro Kartono Renungan Kesepuluh “Bares Mantep Wani”

Sepasang suami istri setengah baya sedang membicarakan renungan kesepuluh Nasehat RM Panji Sosro Kartono. Mereka menyadari keterbatasan tingkat kesadaran diri mereka, sehingga mereka menggunakan referensi buku-buku Bapak Anand Krishna. Mereka berharap nasehat tersebut dapat diterapkan dalam keseharian kehidupan mereka.

Sang Istri:Kula badhe nyobi perabotanipun tiyang jaler, inggih punika: bares, mantep, wani. Boten kenging tiyang jaler ngunduri utawi nyingkiri bebaya utami, saha cidra dhateng pengajeng-ajeng lan kepitadosipun sesami“…….. “Saya akan mencoba identitas kelelakian, yaitu: jujur, mantap, berani. Kelelakian seseorang tidak membolehkan dirinya melarikan diri dari masalah, serta mengkhianati harapan dan kepercayaan sesama”……

Sang Suami: Baik pria maupun wanita, memiliki sifat feminin seperti kasih, kelembutan, menerima dan sifat maskulin seperti keinginan untuk jujur, teguh dan berani. Keinginan berasal dari ego dan ego adalah sifat maskulin. Sifat dasar ego ialah maskulin. “Eyang” Sosro Kartono sedang membicarakan identitas bersifat maskulin, “kelelakian” yaitu jujur, teguh dan berani. Kelelakian atau kejantanan seseorang tidak membolehkan dirinya melarikan diri dari masalah, mengkhianati harapan dan kepercayaan sesama. Pertama masalah kejujuran, peraturan tidak dapat menjujurkan jiwa manusia. Dalam buku “Mawar Mistik, Ulasan Injil Maria Magdalena” disampaikan…….. Dengan peraturan kita boleh berharap supaya setiap orang berperilaku jujur, namun kenyataannya apa? Fakta di lapangan menunjukkan bahwa peraturan, undang-undang, dogma, dan doktrin tidak dapat “menjujurkan” jiwa manusia. Bagaikan benih, kejujuran harus ditanam dan dikembangkan dalam diri manusia. Ia tidak dapat dijadikan peraturan, kemudian dimasukkan secara paksa ke dalam diri manusia……..

Sang Istri: Selagi menempuh pendidikan sebagian anak bangsa yang melakukan ketidakjujuran, apakah menyontek saat ujian, copy paste skripsi, membayar agar diterima sekolah, dan sebagainya. Setelah dewasa mereka terbiasa menjadi tidak jujur. “Eyang” Sosro Kartono menasehati agar kita jujur. Dalam buku “Be The Change, Mahatma Gandhi’s Top 10 Fundamentals For Changing The World” disampaikan……. seperti inilah kejujuran seorang Gandhi. Ia tidak mengaku dapat melihat masa depan. Ia tidak mengaku memperoleh bisikan dari siapa-siapa. Ia mengaku dirinya orang biasa, tidak lebih penting daripada orang yang derajatnya paling rendah, paling hina dan dina. ……

Sang Suami: Benar isteriku, kita pun harus jujur dalam berdoa. Dalam buku “Masnawi Buku Kelima, Bersama Jalaluddin Rumi Menemukan Kebenaran Sejati” disampaikan……. Air bagi badan, doa bagi jiwa. Dua-duanya membersihkan. Yang satu membersihkan badan, yang lain membersihkan jiwa. Pertanyaan: selama ini kita berdoa untuk apa? Untuk membersihkan jiwa atau untuk kepentingan-kepentingan lain? Setiap orang harus jujur dengan dirinya sendiri. Kita berdoa untuk “memulihkan kesehatan jiwa” atau sekedar untuk “kenikmatan indra”? Entah, kenikmatan indera itu berlabel “jodoh”, “keturunan”, “rezeki”, “pangkat” atau apa saja. Banyak cara dan metode untuk memulihkan kembali kesehatan jiwa, tetapi intinya satu dan sama: “doa”. Dan doa berarti “kepasrahan”. Doa berarti “melepaskan pikiran”. Doa berarti “melampaui keakuan”. Berdoa berarti “berserah diri”. Doa bukanlah sekedar gerakan badan, tetapi gerakan jiwa……..

Sang Istri: Nasehat kedua “Eyang” Sosro Kartono tentang “mantep”, teguh, artinya keteguhan pada kebajikan. Dalam buku “Bersama Kahlil Gibran Menyelami ABC Kehidupan” disampaikan……. Kita tidak membutuhkan embel-embel apa pun, dari siapa pun! Berpegang teguhlah pada kebajikan itu sendiri. Jangan merasa kesepian. Kebajikan adalah teman setia yang tidak akan pernah meninggalkan kita. Sementara pendukung dan supporter yang kumpul di sekitar mereka yang belum sepenuhnya bajik dapat meninggalkan mereka kapan saja. Dapat mengkhianati mereka kapan saja….. Kebebasan yang sadar, yang bertanggung jawab, akan selalu menghasilkan kebijakan. Kebebasan yang tidak sadar menghasilkan kekacauan. Bebas bersuara, lalu “asal bunyi” sangat tidak bijak. Dan tanpa kebijakan, tanpa kearifan, tidak ada kebajikan. Yang bijak, yang bajik tidak selalu memperoleh pengakuan dari masyarakat: “Aneh! Kebajikan dalam diri saya selalu merugikan saya. Sebaliknya, kejahatan diri saya tidak pernah merugikan saya. Kendati demikian, saya tetap berpegang teguh pada kebajikan………

Sang Suami: Dalam hal berbangsa, keteguhan berarti menjaga integritas bangsa. Dalam buku “Otak Para Pemimpin Kita, Dialog Carut Marutnya Keadaan Bangsa” disampaikan……. Sejak awal 1980-an saya sudah melihat bahwa persoalan utama yang kita hadapi adalah ancaman terhadap integritas bangsa. Saat itu, Bapak Soeharto masih memimpin dan suara-suara yang sekarang dengan lantang menolak Pancasila dan UUD, masih bungkam. Banyak teman, termasuk para pejabat dan menteri yang saya kenal secara pribadi, menganggap saya berlebihan. Saya pun berharap bahwa saya keliru, persoalan yang kita hadapi tidak seserius apa yang terbayang oleh saya. Sayang sekali, ternyata saya tidak keliru. Ironisnya, hingga saat ini pun, masih banyak teman, pejabat dan pemimpin yang menganggap remeh masalah kebangsaan ini. Mereka masih memikirkan hal-hal yang mereka anggap lebih penting. Isu ekonomi misalnya, diangkat oleh hampir setiap menteri. Seolah itulah satu-satunya persoalan yang dihadapi bangsa kita. Kenapa teman-teman kita tidak bisa melihat bahwa “Bangsa adalah Tubuh kita”. Ekonomi, Hukum, Agama dan lain-lain hanyalah busana, perhiasan. Bila tubuh tidak sehat, untuk apa busana, untuk apa pula perhiasan?…….

Sang Istri: Nasehat ketiga “Eyang” Sosro Kartono tentang “wani”, berani. Berani karena benar dan kita perlu meneladani figur Hanuman yang berani karena begitu yakin Kebenaran Sri Rama. Hanuman adalah seorang Pengabdi yang berani. Dalam buku “The Hanuman Factor Life Lessons from the Most Successful Spiritual CEO” disampaikan keberanian Hanuman yang terjemahan bebasnya kira-kira demikian……. Tidak ada kesadaran tanpa pancaran “karakter” dan panasnya “keberanian”.  Untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi kita harus punya modal awal karakter dan keberanian. Kita tak bisa investasi tanpa memiliki modal awal, tetapi setelah investasi berhasil, maka modalnya akan bertambah.

Sang Suami: Benar isteriku, modal awal adalah karakter dan keberanian akan tetapi setelah mendapatkan kesadaran justru karakter dan keberanian meningkat. Itulah sebabnya para founding fathers sangat berani dan berkarakter karena kesadaran spiritual mereka. Dalam buku “The Hanuman Factor Life Lessons from the Most Successful Spiritual CEO” juga disampaikan…….. Berita baiknya adalah bahwa kita semua lahir dengan potensi modal tersebut. Tergantung pada kita bagaimana kebijakan kita untuk menginvestasikan modal kita dan dapat berlipatganda dalam waktu sangat singkat.  Hanuman sejak usia dini tidak hanya berinvestasi secara bijaksana tetapi juga efisien. Dia berinvestasi keberanian sejak awal kehidupan, di masa segenap dirinya sedang berkembang. Saat kita menjadi lebih tua, api keberanian dalam diri kita mulai menghilang. Paling tidak 6 bulan sebelum kematian fisik, energi kita biasanya pada keadaan titik terendah. Kita perlu mengawali sejak saat dini.

Sang Istri: Hanuman selalu mendengarkan petunjuk Sri Rama, mencintainya dengan seluruh hati, pikiran dan jiwa. Hanuman bersemangat untuk mencapai kesadarannya. Apabila kita mencintai seseorang dengan seluruh hati, pikiran dan segenap jiwa maka orang tersebut akan membalas cinta kita. Apabila kita tetap teguh dan tidak gampang menyerah serta memelihara intensitas cinta kita, kita akan memenangkan hati seseorang. Sri Rama adalah wujud Gusti yang keberadaannya menyebar di mana-mana, Gusti yang bersemayam dalam hati setiap makhluk. Rama adalah simbol Yang Maha Kuasa, yang disebut Kesadaran Murni.

Sang Suami: Dalam buku “Bersama Kahlil Gibran Menyelami ABC Kehidupan” disampaikan tentang keberanian untuk menyelami diri sendiri, untuk meniti jalan ke dalam diri sendiri…….. Untuk meniti jalan ke dalam diri memang dibutuhkan keberanian. Baru menoleh ke dalam diri, kita akan kaget! Dalam diri kita, masih ada kebuasan serigala, masih ada keliaran monyet, masih ada kemalasan babi, masih ada kicauan burung, gonggongan anjing dan kwak-kweknya bebek – semuanya masih ada. Napsu birahi masih belum terkendali, yang membuat kita sebuas serigala. Pikiran masih liar, bagaikan monyet. Malas untuk melakoni meditasi, seperti babi. Mengoceh terus, ngomongin orang terus, seperti burung. Hidup tanpa kesadaran, hanya mengikuti massa – persis seperti bebek. Itulah kita! Keliaran ini, kehewanian ini, kebuasan ini dianggap “kewarasan” oleh dunia, oleh massa. Kenapa? Dunia kita masih buas juga, masih liar juga, masih hewani juga. Mereka yang bisa menerima kebinatangan diri kita masih binatang juga……

Sang Istri: Perbudakan yang berkepanjangan bisa membisukan nurani manusia. Manusia mulai terbiasa dengan keadaan yang menimpanya. la mulai berkompromi dengan keadaan. la menganggap perbudakan itu sebagai kodratnya. Diperlukan keberanian untuk membebaskan diri. Dalam buku “Telaga Pencerahan Di Tengah Gurun Kehidupan” disampaikan…….. Jangan mengira manusia masa kini sudah sepenuhnya bebas dari perbudakan. Manusia masih budak. la diperbudak oleh ideologi-ideologi semu. la diperbudak oleh dogma-dogma yang sudah usang. Ia diperbudak oleh paham-paham dan kepercayaan-kepercayaan yang sudah kadaluwarsa. Tetapi ia tetap juga membisu. Jiwanya sudah mati. la ibarat bangkai yang kebetulan masih bernapas. Manusia masa lalu masih beruntung. la diperbudak oleh seorang raja atau seorang majikan. Relatif mudah membebaskan manusia dari perbudakan semacam itu. Musa berhasil melakukan hal itu……..

Sang Suami: Dalam buku tersebut juga disampaikan……… Keadaan manusia masa kini lebih parah, lebih buruk. la diperbudak oleh suatu sistem – suatu sistem yang membuat dia menjadi mesin. Musa pasti juga heran melihat keadaan para budak. Mereka menderita, tetapi mereka diam. Mereka tidak berani bicara. Mereka tidak berani memberontak. Kenapa demikian? Karena mereka sudah terbiasa hidup dalam perbudakan. Mereka tidak tahu, kebebasan itu apa. Harus ada seorang Musa, harus ada seseorang yang bebas dan memahami arti kebebasan untuk membuat mereka sadar akan perbudakan mereka. Tugas seorang Musa memang sangat berat. la harus membangunkan mereka, membangkitkan mereka, menghidupkan kembali jiwa mereka yang sudah mati. la harus membuat mereka sadar akan arti kebebasan, nilai kemerdekaan…….. Semoga kita semua jujur dengan kondisi diri kita dan bangsa saat ini, teguh menjalankan kebijakan diri dan menjaga integritas bangsa serta berani membebaskan diri dari sistem yang memperbudak kita…… Terima Kasih “Eyang” Sosro Kartono……

Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva!

Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.net/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

Oktober 2010

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone