October 7, 2010

Memaknai Kembali Nasehat RMP Sosro Kartono Renungan Ketigabelas “Sinau Bongso lan Ngudi Kamanungsan”

Sepasang suami istri setengah baya sedang membicarakan renungan ketigabelas dari nasehat-nasehat RM Panji Sosro Kartono. Mereka memanggil Beliau sebagai “Eyang” agar terasa lebih menjiwai. Mereka menggunakan buku-buku Bapak Anand Krishna sebagai referensi. Buku-buku tersebut telah membuat mereka membuka diri, sehingga hidup mereka terasa lebih berarti. Beberapa artikel dalam internet juga menjadi bahan tambahan untuk melengkapi.

Sang Istri: Renungan “Eyang” Sosro Kartono ketigabelas……… “Sinau boso tegesipun sinau bongso; Sinau melu susah melu sakit tegesipun sinau ngudi roso lan batos, sinau ngudi kamanungsan”…….. “Belajar bahasa artinya belajar bangsa; Belajar ikut susah ikut sakit artinya belajar memperoleh rasa dan batin, belajar memperoleh kemanusiaan”……….

Sang Suami: “Eyang” Sosro Kartono memberi nasehat tentang belajar bahasa yang mempengaruhi perilaku bangsa serta belajar rasa penderitaan untuk memperoleh kemanusiaan. Prof Amrin Saragih, PhD, MA berpendapat…….. Bahasa berperan utama dalam pembentukan pengalaman atau pemahaman seseorang tentang alam semesta.  Dengan pembentukan pengalaman dan pemahaman ini bahasa telah berperan dalam pembentukan karakter seseorang atau suatu bangsa……. Dengan sistem semantik atau arti, leksikogramar atau tatabahasa, dan ekspresi, bahasa telah membingkai atau mengungkung seseorang untuk berpikir, merasakan sesuatu, bersikap atau bertindak, dan berkeyakinan terhadap sesuatu. Dengan kata lain, bahasa telah membingkai kognisi, emosi, sikap, dan unsur spritual seseorang dalam memahami alam semesta……. Itulah sebabnya para suci sering memakai bahasa lain untuk menjelaskan maksud suatu istilah dengan kata yang lebih tepat misalnya memakai bahasa Sanskerta.

Sang Istri: Persepsi terhadap keadaan sosial dan alam semesta satu bangsa dengan bangsa lain berbeda Satu bangsa berbeda akibat perbedaan bahasa…….. Bagi bangsa Indonesia jika seseorang belum makan nasi, dia mengganggap dia belum makan. Akibat pentingnya beras atau nasi dalam persepsi bangsa Indonesia, bangsa Indonesia mampu membuat gambaran yang rinci dan spesifik tentang beras atau nasi di dalam bahasa Indonesia dengan realisasi sejumlah kata mengenai makanan utama ini, seperti padi, beras, nasi, pulut, ketan, lontong, bubur, tapai, gabah, menir, dedak, jerami, tajin, intip. Sedangkan bahasa Inggris hanya memiliki satu kata untuk fenomena itu, yakni “rice”. Bagi bangsa Indonesia nama merupakan sesuatu yang sakral, karena nama saja sudah dianggap manusia. Identitas ini berbeda dengan pemahaman bangsa Inggris di mana bagi mereka nama adalah benda. Anak kecil di sana dapat saja memanggil nama seorang kakek hanya dengan menyebut namanya saja. Dalam bahasa Indonesia kita bertanya siapa namamu? Sedangkan dalam bahasa Inggris dikatakan what is your name? Apa namamu?

Sang Suami: Bahasa merupakan realisasi dan ekspresi ideologi, budaya, dan situasi suatu komunitas atau bangsa. Satu aspek atau unit tata bahasa (bunyi, morfem, kata, frase, klausa, kalimat, paragraf, dan teks) berevolusi bertahun-tahun (puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan tahun) untuk membawa makna konteks sosial tersebut. Dengan pengertian ini, bahasa adalah identitas suatu bangsa. Hal ini berarti jika bahasa daerah di Indonesia yang berjumlah 746 (Pusat Bahasa 2008) punah, musnahlah salah satu identitas suku bangsa penutur bahasa daerah itu. Fakta menunjukkan semua bangsa yang berjaya adalah bangsa yang telah berhasil mengembangkan nilai dan hikmah budaya dalam bahasanya. Tidak ada bangsa yang cemerlang dengan meminjam atau meniru bahasa bangsa lain. Korea, Jepang, China, dan Thailand berhasil menelorkan budaya mereka dengan menggunakan bahasa mereka untuk meraih kejayaan.

Sang Istri: Bahasa daerah dan bahasa Indonesia paling dekat dengan bangsa Indonesia, paling berperan dalam membentuk karakter seseorang sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Bahasa asing diharapkan berfungsi mengembangkan karakter bangsa yang sudah kukuh dibentuk oleh bahasa daerah dan atau bahasa Indonesia. Sikap pemberian keutamaan kepada bahasa asing merusak karakter bangsa Indonesia dan diperlukan sikap yang seimbang atau proporsional kepada ketiga bahasa itu. Dalam konteks Indonesia dan konteks global hanya dengan sikap proporsional itu keseimbangan sosial antarbangsa dapat dicapai.

Sang Suami: Dalam nasehat tersebut, “Eyang” Sosro Kartono dari “sinau boso dan sinau bongso”, belajar bahasa dan belajar bangsa, dilanjutkan dengan “sinau roso”, belajar rasa yang menyangkut hati. Dalam buku “Otak Para Pemimpin Kita, Dialog Carut Marutnya Keadaan Bangsa” disampaikan…..  Bangsa itu terdiri dari satu kelompok besar manusia yang “merasa” sejenis…. Kata “merasa” itu sangat penting, “merasa” sejenis, barangkali juga senasib… makanya kita memutuskan untuk hidup bersama. Berarti, perekatnya adalah “perasaan”. Bila “perasaan” kita kacau, atau kita tidak lagi “merasa” sejenis, senasib dan se-“apa” lainnya, maka “keputusan kita untuk hidup bersama” pun bisa terganggu. Pikir-pikir memang sungguh memilukan, kita sudah tidak merasa “sejenis” lagi. Kita telah mendirikan dinding-dinding pemisah antara manusia, antar Manusia Indonesia……..

Sang istri: Dengan berbicara masalah rasa, maka “Eyang” Sosro Kartono berpindah dari bahasa pergaulan masyarakat kepada bahasa hati. Dalam buku “Kehidupan, Panduan Untuk Meniti Jalan Ke Dalam Diri” disampaikan…… Saya merindukan satu bahasa, bahasa hati. Saya tidak mempedulikan kata-kata yang diucapkan oleh lidah, yang mana disebut bahasa. Bahasa harus keluar dari hati, sebagaimana apa adanya. Kadang-kadang, kita melihat seseorang berlinang airmata dan tanpa sepatah kata pun diucapkan, tanpa adanya komunikasi, kita tetap memahami apa yang ingin disampaikan oleh airmata. Inilah bahasa hati……..

Sang Suami: Masih masalah bahasa, bahasa hati berkaitan dengan bahasa kasih. Dalam buku “Sabda Pencerahan,  Ulasan Khotbah Yesus Di Atas Bukit Bagi Orang Modern” disampaikan……. Tuhan merupakan echo, gema, gaung. Itu sebabnya, berhati-hatilah terhadap ucapan kita. Ucapkan kata “benci” dan yang menggaung kembali juga kata, “benci, benci, benci….” Maafkan dan kita akan dimaafkan pula. Demikianlah hukum alam. la tidak pilih kasih, bahkan sebenarnya tidak memilih, tidak memilah. la hanya menjawab kita dalam bahasa sama, yang kita gunakan dalam kehidupan kita sehari-hari. Apabila bahasa yang kita gunakan sehari-hari adalah bahasa kebencian, jawaban-Nya juga dalam bahasa yang sama, karena itulah satu-satunya bahasa yang dapat kita pahami. Apabila, kita menggunakan bahasa kasih, la pun akan menjawab dalam bahasa kasih……..

Sang Istri:Sinau melu susah melu sakit tegesipun sinau ngudi roso lan batos, sinau ngudi kamanungsan”…….. “Belajar ikut susah ikut sakit artinya belajar memperoleh rasa dan batin, belajar memperoleh kemanusiaan”………. Penderitaan dapat menghubungkan manusia satu dengan lainnya. Pada waktu tragedi tsunami di Aceh, manusia hanya ingin membantu sesama dan tidak mempersoalkan perbedaan agama, suku atau negara. Semogakita tidak hanya bersatu pada saat menderita, seperti  pada waktu masa penjajahan atau semasa negara kita “diserang” negara lain. Semoga kita bersatu pada saat kita merdeka, bebas dari belenggu pengkotak-kotakan di masyarakat. Dalam buku “The Gospel of Michael Jackson” disampaikan…….. Penderitaan dan kesakitan manusia dapat menghubungkan kita dengan sesama manusia kalau kita ada “rasa” dengan mereka. Kita punya hubungan emosional dengan anggota-anggota keluarga kita, jadi kita gampang merasakan penderitaan mereka. Namun kita bisa saja tidak ada ikatan semacam itu dengan orang lain, dan karenanya kita tidak merasakan hal yang sama terhadap orang lain…… terhadap penderitaan dan kesakitan orang lain. Michael Jackson dapat merasakan sakitnya penderitaan umat manusia. Dia bekerja untuk memperoleh jutaan dolar dan kemudian menyumbangkan uangnya bagi kegiatan-kegiatan kemanusiaan. Tidak ada keharusan bagi Michael untuk melakukan apa yang dia lakukan. Malah ada banyak orang-orang yang jauh lebih kaya dari dia yang berpangku tangan saja, tanpa melakukan apa-apa untuk mengurangi penderitaan sesama……..

Sang Suami: Menjadi manusia itulah suratan takdir kita. Adakah upaya-upaya konkret untuk mewujudkan rencana itu menjadi kenyataan? Kita baru menjadi manusia di atas kertas. Kemanusiaan kita masih berbentuk sebuah proforma. Kita masih harus berupaya untuk memanusiakan jiwa kita. Dalam buku “Niti Sastra, Kebijakan Klasik bagi Manusia Indonesia Baru” disampaikan…….. Kemampuan manusia untuk “memberi” membedakan dirinya dari hewan. Kemampuan hewan untuk memberi sangat terbatas. Kemampuan manusia hampir tanpa batas. Makanan yang menjadi energi dalam diri seekor hewan, digunakan untuk keperluan dirinya saja. Hanya sedikit yang digunakan untuk sesuatu yang lain. Sebaliknya, manusia sesungguhnya hanya membutuhkan sedikit energi bagi dirinya. Lebih banyak energi yang dapat digunakannya untuk kepentingan umum yang lebih luas. Inilah kelebihan manusia. Inilah keunggulan manusia. Karena itu, sungguh tidak kodrati bila manusia hidup untuk dirinya sendiri. Sungguh tidak alami bila ia hanya memikirkan kepentingan diri. Manusia seperti itu melecehkan kemanusiaan dirinya sendiri……

Sang Istri: Manusia yang menyirami akar nilai-nilai tersebut dalam dirinya berada dalam perjalanan menuju Kesadaran Ilahi. Kemanusiaan adalah anak-anak tangga yang dapat mengantar anda dan saya kepada-Nya. Sebaliknya, naluri hewani – nilai-nilai mementingkan diri, mengagungkan diri, menakut-nakuti, membenci dan lain sebagainya akan menyeret kita ke bawah. Kembali ke derajat hewan. Kemungkinan yang dimiliki manusia tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lain di atas muka bumi ini. la bisa meningkatkan kesadaran dirinya dan menjadi Manusia Allah, Insan Allah. Bisa juga jatuh dan menjadi Manusia Binatang, Insan Hewan. Pilihan di tangan dia sendiri…… Demikian disampaikan dalam buku “Surah Surah Terakhir Al Qur’an Bagi Orang Modern”….

Sang Suami: Dalam buku “Life Workbook, Melangkah dalam Pencerahan, Kendala dalam Perjalanan, dan Cara Mengatasinya” disampaikan…….. Ada beberapa ciri yang menunjukkan apakah kita sudah cukup manusiawi : Pertama: Maitri atau persahabatan berlandaskan kasih. Anjing disebut sahabat setia manusia, tetapi persabahatan itu belum tentu berlandaskan kasih. Persahabatan itu barangkali berlandaskan saling ketergantungan; dan ketergantungan menciptakan keterikatan, bukan persahabatan sejati. Jika kita bersahabat karena urusan uang, hubungan antara kita belum dapat disebut maitri. Persahabatan antara kita haruslah berlandaskan kesadaran Tat Tvam Asi, aku tidak terpisah darimu. Pada hakikatnya kita sama. Sama-sama makhluk ciptaan Keberadaan……. Kedua: Ekta atau persatuan berlandaskan keyakinan pada Tuhan Yang Tunggal Ada-Nya. Ada sapi berwarna hitam, ada yang berwarna putih, ada pula yang kecokelat-cokelatan, tetapi susu yang mereka berikan berwarna sama, putih. Mereka yang melihat perbedaan karena warna kulit sapi, belum mencicipi susu sapi. Mereka baru melihat sapi. Mereka belum merasakan manfaat susunya. Mereka yang menganggap kepercayaanya, agamanya, pahamnya lebih baik daripada kepercayaan, agama dan paham orang lain baru “melihat kulit kitab suci”. Mereka belum menghayati isinya. “Zat Kehidupan” yang ada di dalam diri saya bagaikan angin di dalam rumah saya, tidak dapat dibedakan dari “Zat Kehidupan” yang ada di dalam diri Anda, angin di dalam rumah Anda. Zat itulah Roh, spirit atau apa pun sebutannya. Pun energi di dalam badan saya tidak beda dari energi di dalam badan Anda. Kesadaran di dalam diri saya tidak beda dari kesadaran di dalam diri Anda. Ekam Sad Viprah Bahudha Vadanti Kebenaran Satu Ada-Nya, Mereka yang Paham Menyebutnya dengan Berbagai Nama. Setiap sisi Kebenaran diberi nama. Oke, fine, karena, Tuhan pun membiarkan hal itu terjadi…. Terima Kasih “Eyang” Sosro Kartono yang telah memberi nasehat untuk belajar bahasa sampai belajar kemanusiaan……

Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva!

Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.net/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

Oktober 2010

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone