October 27, 2010

Renungan Kedelapan Tentang Berguru, Menjadi Murid

Sepasang suami istri sedang membuka catatan-catatan tentang berguru. Mereka berdiskusi tentang “berguru” sebagai bahan introspeksi. Mereka paham bahwa pengetahuan tak berharga bila tidak dilakoni. Mereka mengumpulkan wisdom dari buku “Shri Sai Satcharita” karya Sai das, hamba Sai dan buku-buku Bapak Anand Krishna sebagai bahan diskusi. Mereka berharap mosaik dari wisdom dapat menjadi pemicu pribadi untuk memberdayakan diri.

Sang Istri: Kita berdua pernah membaca arsip di dunia maya mengenai komentar seorang Guru kala seseorang bertanya lewat email apakah Sang Guru berkenan menerimanya sebagai murid. Sang Guru berkomentar di dunia maya, pertanyaannya bukan apakah sang guru berkenan menerima murid, pertanyaan yang benar adalah apakah seseorang mau menjadi murid. Kata murid berasal dari bahasa Persia kuno. Kata asalnya adalah murad. Murad berarti seseorang yang pikirannya sepenuhnya tertuju untuk manunggal dengan Gusti. Itulah arti murad. Sehingga pertanyaannya apakah ada seorang murid? Apabila ya, Sang Guru dengan senang hati akan menerima perannya sebagai Murshid atau Guru.

Sang Suami: Dalam buku “The Ultimate Learning, Pembelajaran untuk Berkesadaran” disampaikan puisi dari Shri Chaitanya Mahaprabhu yang terjemahannya sebagai berikut………… Wahai Hyang Maha Tinggi, Sang Pencipta dan Pemelihara Semesta, Hanyalah Engkau yang kurindukan! Bukan kemewahan, pun bukan kekayaan, anak, siswa, murid, pujian dan kedudukan. Tak satu pun yang kukehendaki. Aku tak butuh pengakuan sebagai seniman, penyair, atau penulis. Adalah kesadaran akan KasihMu yang. Tulus nan tanpa pamrih. Hanyalah itu yang kuinginkan dalam setiap masa kehidupanku………..

Sang Istri: Di bawah tulisan puisi dalam buku “The Ultimate Learning, Pembelajaran untuk Berkesadaran” tersebut disampaikan…….. Seorang “murid”, dalam pemahaman bahasa Sindhi, adalah seorang yang memiliki “murad” atau keinginan tunggal yang sungguh-sungguh untuk mencapai kesadaran tertinggi. Silakan menyebut kesadaran tertinggi itu kesadaran murni, atau jika lebih suka dengan penggunaan istilah Gusti, atau Tuhan, maka gunakanlah istilah itu. Keinginan untuk menyadari kehadiran Gusti, Sang Pangeran, Hyang Maha Tinggi, atau Tuhan di dalam diri itulah keinginan tunggal yang dimaksud……..

Sang Suami: Dalam buku tersebut juga disampaikan…….. Bila kita masih menginginkan sesuatu dari Tuhan, dan bukan Tuhan itu sendiri yang kita inginkan, maka kita belum menjadi murid. Murad kita, keinginan kita, masih belum sungguh-sungguh. Kita masih menginginkan manfaat dari Tuhan. Kita masih ingin memanfaatkan Tuhan. Apakah kesadaran kita sudah mencapai tingkat tempat kita bisa mengatakan bahwa hanya Dia Hyang Mahatinggi? Jika kita belum menganggapnya Hyang Mahatinggi, kita tak akan pernah memiliki murad atau keinginan tunggal untuk memiliki kehadiranNya dalam keseharian hidup kita. Bila kita belum menyadariNya sebagai Hyang Mahatinggi, kita akan menyejajarkan keinginan kita untuk menyadari kehadiranNya dengan keinginan-keinginan lain. Dan, itulah saat tercipta ilusi Dia sangat jauh……

Sang Istri: Suamiku, kita perlu introspeksi diri sudahkah kita mempunyai keinginan tunggal untuk mencapai kesadaran tertinggi. Bagaimana pun Gusti akan memberikan Guru yang sesuai dengan peningkatan kesadaran kita. Bahkan mereka yang berguru pada satu Guru yang sama pun, mereka mendapatkan peningkatan kesadaran sesuai kesadaran sang murid. Sehingga semuanya tergantung diri kita, niat kita, tekad kita. Demikian pemahaman kita sampai saat ini.

Sang Suami: Walaupun seseorang berguru kepada seseorang yang sudah mempunyai kesadaran sangat tinggi, bila penyerahan dirinya kepada Sang Guru belum total, maka dia tidak mendapat kemajuan berarti. Dalam buku “Bhaja Govindam Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara” disampaikan……… Penyerahan diri secara total oleh seorang murid sama sekali bukan untuk kepentingan Guru, tetapi untuk kepentingan dirinya sendiri. Melepaskan keangkuhan, keangkuhan, keakuan, ego dan tidak ge-er karena “baru sekadar tahu” adalah demi kebaikan sebagai calon murid. Hubungan antara guru dan siswa, antara murshid dan murid sungguh sangat aneh. Tiada kata untuk menjelaskannya. Tidak ada hubungan darah antara mereka. Tidak ada hubungan daging antara mereka. Tidak ada kewajiban bagi mereka untuk saling berhubungan. Tidak ada tuntutan dari tradisi, budya, agama. Hubungan di antara murshid dan murid  sepenuhnya karena “kesadaran”. Hanya dilandasi kesadaran…….

Sang Istri: Karena kesadaran sang murid sudah tinggi, maka dia bisa bersahabat dengan Sang Guru. Dalam buku ““Bhaja Govindam Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara” juga disampaikan……… Hubungan antara seorang guru dan siswa sesungguhnya adalah “persahabatan”. Itulah sebabnya dalam tradisi Islam, misalnya, para murid nabi Muhammad disebut “para sahabat”. Satya Sai Baba, seorang Guru terkenal di India sering menyebut para muridnya “Prema Svaroopa” atau “Atma Svaroopa”, yang berarti, “Perwujudan Cinta Kasih”, “Wujud Kesadaran Murni”. Perwujudan Cinta Kasih tidak berarti bahwa para murid sudah mencapai kesadaran itu. Panggilan itu justru untuk mengajak para murid untuk melakukan perenungan, “Sudahkah aku mencapai Kesadaran itu?” Bila sudah, dia akan berupaya untuk senantiasa mempertahankannya. Bila belum, dia akan berupaya untuk mencapainya. Hubungan antara guru dan siswa, murshid dan murid, master dan disciple, mungkin merupakan hubungan yang paling mesra. Hubungan murshid dengan murid merupakan hubungan yang paling mesra. Tidak heran bila hubungan antara Jalaluddin Rumi dan Shams, hubungan antara Yesus dan Maria Magdalena, hubungan antara Krishna dan Radha, sering disalahpahami, disalahartikan, disalahtafsirkan…….

Sang Istri: Oleh karena itu tidak mudah menjadi murid. Dalam buku “Hidup Sehat Dan Seimbang Cara Sufi” disampaikan…….. Kesiapan seorang calon murid pun akan diujinya lewat proses yang panjang dan melelahkan. Kesabarannya, ketekunannya  semuanya akan diuji terlebih dahulu. Masa tunggu ini bisa seminggu, dua minggu setahun, dua tahun bahkan belasan tahun. Banyak calon murid yang drop out, karena mereka tidak sabar menanti. Banyak yang bahkan kehilangan gairah mereka untuk menekuni bidang spiritual. Satu per satu, mereka “gugur”. Memang demikian kehendak seorang master…….

Sang Suami: Hubungan antara murid dan Guru berdasarkan kesadaran, sehingga dalam buku “The Ultimate Learning, Pembelajaran untuk Berkesadaran” disampaikan………. Ketika seorang Guru atau murshid mengatakan kepada kita bahwa ia merindukan kita, atau kangen pada kita, “I miss you” jelas bukanlah kangen-kangenan mesra-duniawi yang dimaksudnya. Ia merindukan “peningkatan kesadaran diri” kita. Karena, ia mengetahui persis potensi diri kita, potensi diri setiap manusia. Ya, potensi diri setiap manusia. Dan, potensi itu sama, tanpa kecuali. Setiap manusia, bahkan setiap makhluk hidup memiliki potensi yang sama untuk mencapai kesadaran tertinggi sesuai dengan wahana badan, pikiran, dan perasaan yang dimilikinya. Seorang anak manusia memiliki potensi untuk menjadi manusia sempurna, sebagaimana seekor anak anjing memiliki potensi untuk menjadi seekor anjing yang sempurna.

Sang Istri: Dalam buku tersebut juga disampaikan…….. Bila kita tidak meraih kesempurnaan dalam hidup, maka letak kesalahannya adalah pada diri kita sendiri. Kita tidak merindukan kesempurnaan. Kita puas dengan kondisi lumayan asal aman. Kita sudah terbiasa mencari rasa aman; itulah yang kita kejar selama ini. Kita tidak berani mengambil resiko. Kita tidak berani terbang tinggi, karena takut jatuh. Kita tidak berani menyelam lebih dalam, karena takut tenggelam. Inilah kelemahan kita. Dan, hal ini pula yang membuat hidup kita sengsara. Hidup kita adalah kendaraan atau jembatan yang dapat mengantar kita ke pantai seberang. Kita takut menggunakan kendaraan itu. Kita ragu melewati jembatan kehidupan. Mengapa? Karena, kita tidak tahu ada apa di pantai seberang. “Jangan-jangan di sana lebih sengsara. Sudah ah, di sini saja…… Kita masih mengejar kemewahan, kekayaan, pujian, dan kedudukan. Kita masih membutuhkan anak, siswa, murid, penggemar, dan sebagainya. Kita belum cukup percaya diri. Tanpa kerumunan massa dan jumlah orang yang menjadi bagian dari kerumunan itu, kita masih menganggap diri kita kurang, lemah, dan tak berdaya. Kita masih belum siap untuk menerima jiwa, menerima energi, menerima spirit. Kita masih menganggap lumpur materi sebagai satu-satunya kebenaran. Tidak berarti ketika kita menerima energi, materi mesti ditinggalkan. Tidak sama sekali. Menerima energi berarti menerima materi sebagai ungkapan terendah dari energi. Materi adalah manifestasi dari energi yang sama. Tapi materi bukanlah satu-satunya ungkapan energi.

Sang Suami: Dalam buku “The Ultimate Learning, Pembelajaran untuk Berkesadaran” tersebut juga disampaikan puisi dari Shri Chaitanya Mahaprabhu yang terjemahannya sebagai berikut…….. Wahai Hyang Mahamenawan! Selama ini aku menjadi budak ambisi dan keinginan-keinginanku, Aku telah jatuh dalam lumpur hawa nafsu pancaindra. Gusti, aku tak mampu menggapaiMu, namun Kau dapat menemukanku. Aku tak berdaya, Engkau Mahadaya. Aku hanyalah debu dibawah kaki suciMu, angkatlah diriku dan berkahilah daku dengan kasihMu! ……..

Sang Istri: Mengapa selama ini kita menjadi budak ambisi dan keinginan-keinginan kita sendiri. Dalam buku tersebut disampaikan…….. Karena kita terpesona oleh dunia benda, oleh bayangan Hyang Mahamenawan. Memang, bayanganNya saja sudah penuh pesona. Tapi alangkah tidak beruntungnya kita jika kita berhenti pada bayangan. Betapa meruginya kita jika kita tidak menatap Ia Hyang Terbayang lewat dunia benda ini. Ambisi dan keinginan kita sungguh tidak berarti, karena semuanya terkait dengan bayang-bayang. Kita mengejar bayangan keluarga, kekuasaan, kekayaan, kedudukan, ketenaran, dan sebagainya. Keinginan kita sungguh sangat miskin. Ambisi kita adalah ambisi para pengemis………

Sang Suami: Gusti yang disebut Shri Chaitanya Mahaprabhu sebagai Hyang Mahamenawan dekat sekali dengan diri kita. Dalam buku tersebut juga disampaikan……… Hyang Mahamenawan adalah raja segala raja. Ia adalah Hyang Terdekat, kerabat yang tak pernah berpisah, sementara kita masih menempatkan keluarga sejajar denganNya. Sungguh sangat tidak masuk akal. Silakan melayani keluarga. Silakan mencintai kawan dan kerabat. Tapi jangan mengharapkan sesuatu dari mereka semua, karena dinding kekeluargaan pun bisa retak. Persahabatan dapat berakhir. Kemudian, kau akan kecewa sendiri. Kekuasaan apa, kekayaan apa, kedudukan apa, dan ketenaran apa pula yang menjadi ambisimu? Jika kau menyadari hubunganmu dengan Ia Hyang Mahakuasa, dan Mahatenar adanya, saat itu pula derajadmu terangkat dengan sendirinya dari seorang fakir miskin, hina, dan dina menjadi seorang putra raja, seorang raja!

Sang Istri: Benar suamiku, para rasul, para nabi hidup di dunia, berjuang di dunia tetapi tidak meminta imbalan dunia semuanya merupakan persembahan padaNya. Asy Syu’ara ayat 180 mengingatkan supaya kita meniru para rasul, para nabi, dan tidak mengharapkan “upah” dari manusia. Sesungguhnya inilah yang membedakan kita dari para rasul dan khalifatullah. Kita mengharapkan imbalan dari dunia, dan harapan itu membuat kita menjadi “wargadunia”. Kita menjadi budak dunia. Sementara para rasul dan khalifatullah tetap mempertahankan kewarganegaraan mereka. Mereka tetap menjadi warga surga yang sedang berkunjung ke dunia. Mereka mempertahankan status mereka sebagai “tamu”. Semoga kita sadar……..

Terima Kasih Bapak Anand Krishna

Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.net/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

Oktober 2010

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone