Sepasang suami istri sedang membuka catatan-catatan tentang berguru. Mereka berdiskusi tentang “berguru” sebagai bahan introspeksi. Mereka paham bahwa pengetahuan tak berharga bila tidak dilakoni. Mereka mengumpulkan wisdom dari buku “Shri Sai Satcharita” karya Sai das, hamba Sai dan buku-buku Bapak Anand Krishna sebagai bahan diskusi. Mereka berharap mosaik dari wisdom dapat menjadi pemicu pribadi untuk memberdayakan diri.
Sang Istri: Suamiku kita pernah membicarakan bagaimana menjadi murid berdasar buku “The Ultimate Learning, Pembelajaran untuk Berkesadaran”. Seorang “murid” adalah seorang yang memiliki “murad” atau keinginan tunggal yang sungguh-sungguh untuk mencapai kesadaran tertinggi. Mari kita membicarakan bagaimana kualifikasi murid yang perlu dimiliki untuk mencapai tujuan “kesadaran tertinggi” tersebut.
Sang Suami: Baik istriku, mari kita buka buku “Shri Sai Satcharita” yang membicarakan perihal tersebut. Dalam buku tersebut disampaikan…….. Tidak setiap orang memiliki keinginan untuk mencari jatidiri, menemukan Keilahian di dalam diri, atau memperoleh Brahma-Gyaan. Diantara mereka yang berkeinginan pun hanyalah sedikit saja yang sungguh-sungguh berusaha. Dan, di antara mereka yang berusaha, hanyalah segelintir yang akhirnya berhasil. Ibarat berjalan di atas mata pisau, seperti itulah perjalanan ini, hanyalah seorang pemberani yang dapat menempuhnya. Kemudian, dijelaskan kualifikasi para pencari yang berani……… Kualifikasi Pertama adalah “Mumuksha”, atau ‘keinginan yang sangat kuat’ untuk meraih kebebasan dari segala macam keterikatan. Tanpa keinginan yang kuat, seorang pencari tak akan sungguh-sungguh mencari. Ia tidak menggunakan seluruh tangannya. Dan, ia tak akan bertahan hingga tujuannya tercapai. Seorang pencari sejati tidak lagi menginginkan sesuatu yang lain di luar apa yang sedang dicarinya………
Sang Istri: Kualifikasi Kedua adalah “Virakti”, atau ‘rasa muak’ terhadap kenikmatan indera di dunia dan disurga. Seorang pencari yang merasa sudah muak dengan kenikmatan duniawi, tapi masih mengharapkan kenikmatan surgawi, bukanlah pencari sejati. Ia belum betul-betul muak. Seorang pencari muak dengan segala macam pujian dan penghargaan duniawi, dan tidak tertarik pada pahala surgawi. Hanyalah seorang pencari seperti itu yang akan menemukan apa yang sedang dicarinya…….
Sang Suami: Kualifikasi Ketiga adalah “Antarmukhata”, atau ‘berfokus pada diri’. Umumnya, manusia berfokus pada segala sesuatu di luar diri. Ini disebabkan oleh sifat kelima indera. Indera manusia di buat untuk berhubungan dengan berbagai hal di luar diri. Maka, selama manusia masih terkendali oleh indera, ia akan selalu melihat ke luar. Ia tak akan melihat ke dalam diri. Seorang pencari sejati terlebih dahulu mengendalikan inderanya, kemudian mengalihkan kesadarannya kepada diri sendiri…….
Sang Istri: Kualifikasi Keempat adalah “Taubah”, atau ‘bertobat’. Tidak hanya menyesali perbuatannya yang salah, tapi memastikan bahwa dirinya tidak akan melakukan lagi hal yang sama. Berarti ia tidak terkacaukan oleh pikiran. Ia tidak tergoda oleh perasaan. Ia dituntun oleh kesadaran baru, kesadaran untuk mencari………
Sang Suami: Kualifikasi Kelima adalah “Dharma”, atau ‘keseharian yang berlandaskan pada kebajikan’. Berarti menjaga kejujuran diri, ketenangan hati, dan pengendalian diri……..
Sang Istri: Kualifikasi Keenam adalah “Shreya”, atau mementingkan segala sesuatu yang mulia dan bermanfaat bagi banyak orang, dan tidak memilih preya, atau sesuatu yang sekedar menyenangkan diri. Dalam hidup ini kita memang selalu berhadapan dengan dua pilihan tersebut, shreya atau preya yang memuliakan, atau yang menyenangkan. Seorang pencari jatidiri hendaknya memilih shreya, atau yang memuliakan. Dan, tidak memilih preya, yang menyenangkan. Preya, yang menyenangkan, adalah pilihan mereka yang masih sepenuhnya berada dalam alam kebendaan. Para bijak selalu memilih ‘yang memuliakan’. Mereka yang tidak bijak memilih ‘yang menyenangkan’ karena keserahakan dan keterikatan mereka dengan dunia benda………
Sang Suami: Kualifikasi Ketujuh adalah “Pengendalian diri”, yang mencakup pengendalian kelima indera, energi, pikiran, ego, dan intelek. Badan ini ibarat kereta. Kesadaran Diri, ‘Aku Sejati’, ‘Self’, ‘Atma’ adalah pemilik kereta. Intelejensia adalah sais kereta. Mind atau pikiran adalah tali pengendali. Kelima indera adalah kuda yang menarik kereta. Pemicu di luar adalah jalan yang dilewati kereta ini. Pikiran yang lemah, atau kacau membuat kelima indera lepas kendali, dan kecelakaan pun tak terhindari lagi. Bagaimana bisa mencapai tujuan? Karena kecelakaan-kecelakaan yang terjadi inilah, maka ‘aku’ atau atma mesti berulangkali mengalami kelahiran dan kematian. Dan, tidak mencapai tujuannya. Tapi, jika intelejensia mengendalikan pikiran, dan pikiran mengendalikan kelima indera, maka badan ini akan mengantar kita kepada tujuan, yaitu penemuan jatidiri. Itulah Kesadaran Ilahi, itulah Brahma Gyaan………
Sang Istri: Kualifikasi Kedelapan adalah “Purifikasi pikiran”, atau manas. Untuk itu, setiap orang mesti menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik. Ia tidak bisa melarikan diri dari kewajiban, dan mengharapkan agar pikirannya tenang. Pikiran yang tenang adalah pikiran yang suci. Dan, di atas lahan pikiran yang suci itulah tumbuh Viveka kemampuan untuk memilih mana yang tepat bagi kita, dan mana yang tidak tepat. Tumbuh pula Vairagya, ketakterikatan kepada dunia benda, karena sadar bila kebendaan itu tidak langgeng, dan berubah terus. Maka, dengan sendirinya manusia terbebaskan dari ego, ke-’aku’-an, atau identitas palsu. Ia tersadarkan bila dirinya bukanlah badan, apa lagi kelima indera yang merupakan bagian dari badan. Ia tercerahkan bila menyadari bahwa dirinya bukanlah pikiran, bukan intelejensia, tetapi pemilik kereta, Atma, Self, “Aku Sejati”. Ia memahami bahwa penderitaannya selama ini semata karena salah identitas. Manusia menderita karena menganggap dirinya hanyalah kelima indera, badan, pikiran, atau intelejensia. Kemudian, apa yang terjadi pada mereka, dianggapnya terjadi pula pada jatidirnya. Padahal tidak demikian. Sekali lagi, dia bukanlah kereta, bukan jalan raya yang ditempuh oleh kereta itu. Bukan tali pengendali, bukan sais, tetapi pemilik kereta. Itulah dia yang sebenarnya! Kesadaran itu seketika membebaskan manusia dari segala macam penderitaan, dan keterikatan yang disebabkan oleh salah identitas………
Sang Suami: Kualifikasi Kesembilan adalah “Kehadiran seorang Guru” dalam hidup memudahkan perjalanan hidup. Ia adalah seorang pemandu yang pernah mengalami apa yang sedang kita alami saat ini. Sungguh sulit mencapai kesadaran diri tanpa seorang pemandu. Ia memudahkan pencarian kita. Aneh, untuk segala sesuatu yang bersifat keberadaan, kita tidak segan-segan minta bantuan dari orang lain. Tapi, untuk perjalanan ruhani kita menolak kehadiran seorang Guru. Kita pikir bisa menempuh tanpa pemandu. Sesungguhnya bukanlah sekedar bantuan atau pemandu sembarang yang dibutuhkan dalam perjalanan ruhani. Kita membutuhkan seorang guru yang sudah melewati setiap perjalanan hidup. Sehingga ia memahami kesulitan-kesulitan yang sedang kita hadapi, dan dapat menawarkan jalan keluar. Seorang Guru memandu setiap langkah kita hingga mencapai tujuan kita dengan selamat. Memang kita mesti berjalan sendiri. Ia tidak bisa berjalan untuk kita. Tapi, panduan yang diberikannya sungguh sangat bermanfaat………
Sang Istri: Kualifikasi Kesepuluh atau yang “Terakhir adalah berkah Allah”, karunia Tuhan. Itu yang terpenting. Tanpa berkah-Nya, kita tetap tak akan mencapai-Nya. Dialah yang memberkahi kita dengan Viveka dan Vairagya kemampuan untuk memilah, dan ketakterikatan. Menurut kitab suci Katha Upanishad, AKU tak dapat dicapai lewat pendalaman kitab-kitab suci. Pengetahuan dan intelek tak mampu menggapai-Nya. Ia hanyalah dicapai oleh mereka yang dipilih-NYA. Hanyalah kepada mereka SANG AKU menunjukkan sifat asli-NYA……..
Sang Suami: Istriku buku “Shri Sai Satcharita” memang luar biasa, beruntunglah mereka yang memiliki dan mendalaminya………
Terima Kasih Bapak Anand Krishna
Situs artikel terkait
http://www.oneearthmedia.net/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo
November 2010