Sepasang suami istri sedang membuka catatan-catatan tentang berguru. Mereka berdiskusi tentang “berguru” sebagai bahan introspeksi. Mereka paham bahwa pengetahuan tak berharga bila tidak dilakoni. Mereka mengumpulkan wisdom dari buku “Shri Sai Satcharita” karya Sai das, hamba Sai dan buku-buku Bapak Anand Krishna sebagai bahan diskusi. Mereka berharap mosaik dari wisdom dapat menjadi pemicu pribadi untuk memberdayakan diri.
Sang Istri: Suamiku, aku baru saja membaca buku “Shri Sai Satcharita” yang menjelaskan tentang “Wejangan Pengetahuan Sejati” atau “Gyana-Upadesh”. Disebutkan bahwa……… Meniadakan ketidaktahuan – itulah pengetahuan, mengakhiri gelap – itulah terang. Pengetahuan adalah suatu keadaan ketika ketidaktahuan sudah tidak ada, sudah lenyap. Mengakhiri gelap adalah terang, mengakhiri ketidaktahuan atau agyanam, adalah pengetahuan, atau gyanam………
Sang Suami: Iya istriku, di dalam buku “Shri Sai Satcharita” tersebut disampaikan bahwa…….. Mengakhiri dvaita adalah advaita. Ketika dualitas atau dvaita berakhir, maka yang tersisa adalah advaita, keikaan, tunggal, satu. Pengetahuan sejati atau janam adalah advaita. Ketunggalan, keikaan, kesatuan segala sesuatu. Ketidaktahuan atau ajnanam adalah dvaita, dualitas. Untuk merealisir advaita, atau keikaan tunggal, maka kita mesti bebas dari segala perasaan dvaita atau dualitas……… Selama masih berperasaan dvaita atau dualitas, seorang tidak mungkin menyadari advaita, atau keikaan tunggal. Kemudian, bagaimana menyampaikan atau mengajarkan? Sebelum merealisir advaita, atau keikaan tunggal itu dalam hidupnya sendiri, tak seorang pun dapat memahami, apalagi menjelaskannya……….
Sang Istri: Itulah bedanya antara Sadguru dan siswa…….. Dilihat dari sudut pandang advaita, atau keikaan tunggal – sesungguhnya, seorang siswa dan seorang Sadguru – dua-duanya sama. Dua-duanya adalah wujud dari pengetahuan sejati itu sendiri. Dua-duanya berasal dari Sat, Kebenaran sejati; Chit, Kesadaran Murni; dan Anand, Kebahagiaan Kekal Abadi. Seorang Sadguru menyadari asal-usulnya. Seorang siswa tidak……… Ketidaksadaran seorang siswa disebabkan oleh timbunan agyanam atau ketidaktahuan karena kelahiran dan kematian berulang-ulang sehingga ia terpengaruh oleh berbagai macam pengalaman, keinginan-keinginan yang tak terpenuhi, dan lain sebagainya. Seorang sadguru juga mengalami semuanya itu, tapi dia tidak pernah lupa akan asal-usul, atau jati dirinya. Maka, ia menyatakan diri sebagai Shuddha Chaitanya – Kesadaran Murni dan Suci yang Tak Tercemarkan. Ibarat awan gelap apa pun tidak mencemari langit, pengalaman-pengalaman dari sekian banyak masa kelahiran tidak mencemari Kesadaran Diri seorang Sadguru. Karena itulah ia disebut Sadguru. Sebaliknya, seorang siswa melupakan asal-usul, atau jati dirinya. Pengalaman-pengalaman dari sekian banyak masa kelahiran sebelumnya membuat dia berpikir seolah dirinya adalah jiwa yang serba terbatas. Ia menganggap dirinya hina, dina, dan tidak berdaya. Beberapa contoh anggapan-anggapan keliru adalah: pertama, aku hanyalah makhluk biasa, jiwa yang tak berdaya. Kedua, aku adalah badan ini, badan inilah jati diriku. Ketiga, Tuhan, dunia, dan jiwa adalah tiga entitas yang beda. Keempat, Aku bukan Tuhan. Kelima, ketidaktahuan bahwa badan bukanlah jiwa. Keenam, ketidaktahuan bahwa Tuhan, dunia, dan jiwa adalah satu……….
Sang Suami: Iya istriku, dalam buku “Shri Sai Satcharita” disampaikan bahwa…….. Apa yang dilakukan oleh seorang Sadguru, ketika menghadapi seorang siswa yang “beranggapan” demikian? Ia mesti membebaskan dia dari “anggapan” keliru itu. “Anggapan” keliru itulah ketidaktahuan, itulah dualitas, itulah ketidaksadaran. Seorang Sadguru mesti mengingatkan siswanya bahwa dia adalah wujud Ilahi juga, persis sama seperti dirinya. Ketidaktahuan menciptakan dualitas. Terpengaruh oleh dualitas yang ilusif itu, seorang siswa beranggapan bahwa dirinya tidak hanya terpisah dari Tuhan, tetapi juga dari dunia, dari orang lain. Perpisahan itulah yang menyebabkan pengalaman suka-duka, dan lain sebagainya……….
Sang Istri: Dalam buku “Shri Sai Satcharita” tersebut disampaikan bagaimana caranya mengakhiri anggapan yang keliru itu………. Dengan melakukan “atma-chintana”, “self inquiry”, bertanya pada diri sendiri: Apa yang menyebabkan aku beranggapan keliru seperti itu? Untuk itu seorang Guru membantu sang siswa lewat wejangan, atau “upadesh” yang disampaikannya. Adapun wejangan seorang Sadguru semata-mata untuk menunjukkan kekeliruan anggapan atau pandangan para siswa……..
Sang Suami: Wejangan seperti itu mesti disebut apa? Agyanam, atau gyanam, wejangan ketidaktahuan, atau wejangan pengetahuan sejati? Untuk apa menyampaikan wejangan tentang pengetahuan sejati, jika seorang siswa pun sesungguhnya adalah wujud pengetahuan sejati itu sendiri?……… Guru Upadesh, wejangan seorang guru hanyalah untuk menunjukkan kekeliruan, kesalahan, ketidaktahuan – dan mengakhirinya……….. Adapun Krishna menasihati Arjuna untuk belajar dari mereka yang memiliki pengetahuan sejati, supaya harum kemuliaan mereka tersebar ke mana-mana. Bagi seorang sadbhakta, atau panembah sejati, Sadguru adalah wujud Tuhan…. Dan, bagi seorang Sadguru, sadbhakta adalah wujud Tuhan. Krishna tidak membedakan keduanya. Bagi Krishna dua-duanya dalah Dia…………..
Sang Istri: Suamiku, aku ingat sebuah wejangan pengetahuan sejati……. Dalam Surat Asy-Syu’araa ayat 180 disampaikan…… “dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam”………… Kita berulang-ulang diingatkan supaya kita meniru para rasul, para nabi, dan tidak mengharapkan “upah” dari manusia. Sesungguhnya inilah yang membedakan kita dari para rasul dan khalifatullah. Kita mengharapkan imbalan dari dunia, dan harapan itu membuat kita menjadi “wargadunia”. Kita menjadi budak dunia. Sementara para rasul dan khalifatullah tetap mempertahankan kewarganegaraan mereka. Mereka tetap menjadi warga surga yang sedang berkunjung ke dunia. Mereka mempertahankan status mereka sebagai “tamu”……. Fitrah kita bukanlah sebagai warga dunia, tetapi sebagai duta Allah yang berkunjung di dunia atas perintahNya…….. Apakah Allah membedakan antara warga atau tamu? Bukankah kita semua adalah ciptaannya? Ya, betul. Dia tidak membedakan. Kita sendiri yang menentukankedudukan kita. Kita sendiri yang memilih dan menempatkan diri sebagai pengunjung atau tamu di dunia atau atau sebagai warga tetap. Berikutnya dijelaskan adab atau disiplin seorang bertamu dunia: 1. Penilaian yang benar. 2. Tidak merampas hak manusia. 3. Tidak merusak dunia dan 4. Selalu bertaqwa pada Gusti Allah (Surat Asy-Syu’araa ayat 182/4). Inilah adab seorang tamu di dunia. Pilihan sepenuhnya di tangan kita. Sesungguhnya seperti Mursyid mengatakan “Allah Maalik hai” – Gusti Allah Maha Memiliki. Mau jadi warga dunia atau tamu di dunia, kita semua tetaplah milikNya. Adalah demi kebaikan kita sendiri bahwa pilihan itu di-“cipta”-kan supaya kita bisa “bermain” dengan cantik. Marilah kita mencontohi permainan cantik para pecintaNya dengan mempertahankan kewarganegaraan surga kita yang sedang berkunjung ke dunia sebagai tamu………
Sang Suami: Benar istriku, aku juga ingat sebuah wejangan pengetahuan sejati………. Seorang pedagang yang sedang berkunjung ke kota lain boleh menikmati segala kenyamanan dan kemewahan hotel di mana ia sedang bermalam. Tapi, dia selalu ingat tujuannya berada di kota asing itu. Ia tidak larut dalam kenyamanan dan kenikmatan itu. Pagi-pagi ia sudah bangun. Meninggalkan kamar hotel, dan pergi ke pasar untuk berdagang. Ia tidak memiliki keterikatan dengan hotel itu, dengan segala kenyamanan kamarnya. Itulah sebab ketika urusannya selesai ia pun langsung checkout, tidak menunggu diusir, dan pulang ke “negeri asalnya”. Kiranya inilah arti ayat 11 dalam surat al Fath, “harta dan keluarga kami merintangi”. Qur’an Karim mengingatkan para mukmin untuk tidak terikat dengan kenyamanan dan kenikmatan duniawi, dan untuk senantiasa mengingat tujuan hidup. Yaitu “berjuang” dalam, dan dengan kesadaran ilahi. Gusti tidak membutuhkan pembelaan, Ia pun tidak membutuhkan senapan kita, roket dan bom kita untuk untuk memusnahkan dunia ini. Jika Ia menghendaki maka dalam sekejap jutaan nyawa bisa melayang, planet ini bisa musnah hancur-lebur. Ayat ini adalah pelajaran bagi mukmin, mereka yang beriman. Ayat ini dimaksudkan bagi hamba Allah, dan bukan bagi budak dunia. Jika kita puas dengan perbudakan, maka itu adalah pilihan kita. Dan, konsekuensinya adalah resiko kita sendiri. Tuhan maha menyaksikan. Ia menjadi saksi akan setiap pikiran, perasaan, ucapan dan tindakan kita. Keselarasan antara apa yang ada dalam hati dan kita buat mengantar kita ke svarga, fitrah kita, kodrat kita (innalillahi…..). Jannah – itulah idulfitri………
Sang Istri: Sekarang aku baru bisa memahami apa yang disampaikan dalam buku “Bhaja Govindam Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara”………… Manusia tidak bisa bebas sepenuhnya dari instink hewani. Bagaimana bisa bebas sepenuhnya? Bebas dari sifat-sifat ini, ya berarti mati. Bagi Shankara hidup bukanlah permainan dua warna hitam dan putih. Hidup memiliki semua warna. Ada warna-warna hewani, ada pula warna insani. Bagi Shankara, Tuhan tidak bertentangan dengan hewan, tidak pula berpihak dengan insan. Warna hewani dan insani itu justru berada di dalam-Nya. Pemahaman Shankara persis sama dengan pemahaman para sufi tentang Tauhid atau “kesatuan”. Bagi Shankara, “Yang Ada Hanyalah Satu Itu”. Ia menyebutnya “Advaita” — tidak ada yang lain………..
Sang Suami: Dalam buku “Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan” disampaikan……… Tauhid berarti “Kesatuan”. Satu Allah, Hyang Tiada Duanya. Bagi Einstein, Hyang Tiada Duanya adalah Medan Energi Terpadu yang mempersatukan kita semua. Bagi para resi inilah Advaita – Non Dualitas. Ekam Sat – Adalah Satu Hyang Memiliki Banyak Sebutan. Vedaanta tidak membedakan antara penemuan Muhammad, pemahaman Einstein dan pencerahan para resi. Semuanya bagian dari Hyang Maha Sampurna, Kesempurnaan itu sendiri. Maka, Vedaanta pun memahami betul ketika Isa menyatakan dirinya Sama dengan Bapa Allah di Surga. Pertemuannya dengan para Yogi, dengan mereka yang memahami Vedaanta, mencerahkan Sufi Shah Latief asal Sindh (sekarang bagian dari Pakistan), dan ia pun menari dan menyanyi riang: Ternyata, “Aku” sudah berada sebelum Adam. Sungguh, Adam baru saja lahir………. Vedaanta memahami ungkapan “Bagaimana pun jua, saya seorang manusia…… manusia biasa” sebagai kekeliruan manusia. Kekeliruan dalam hal mengenal diri. Kekeliruan atau kesalahpahaman tentang jati-diri, yang disebabkan oleh pikiran. Maka, membebaskan diri dari pikiran-pikiran yang keliru itu menjadi tugas awal manusia…………. Semoga…….
Terima Kasih Bapak Anand Krishna
Situs artikel terkait
http://www.oneearthmedia.net/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo
November 2010