Sepasang suami istri sedang membuka catatan-catatan tentang berguru. Mereka berdiskusi tentang “berguru” sebagai bahan introspeksi. Mereka paham bahwa pengetahuan tak berharga bila tidak dilakoni. Mereka mengumpulkan wisdom dari buku “Shri Sai Satcharita” karya Sai das, hamba Sai dan buku-buku Bapak Anand Krishna sebagai bahan diskusi. Mereka berharap mosaik dari wisdom dapat menjadi pemicu pribadi untuk memberdayakan diri.
Sang Istri: Suamiku, aku terkesan oleh satu kalimat dalam puisi Shri Chaitanya Mahaprabhu dalam buku “The Ultimate Learning Pembelajaran Untuk Berkesadaran”…….. Aku telah jatuh dalam lumpur hawa nafsu pancaindra…….. Dalam buku tersebut disampaikan……….Pertama-tama dengan menyadari keadaan kita, perbudakan dan kejatuhan kita. Kita semua berada dalam lumpur. “Aku telah jatuh dalam lumpur hawa nafsu pancaindra”. Inilah kesadaran awal. Tanpa adanya kesadaran awal ini, sungguh tidak ada harapan bagi kita. Dan, kesadaran ini muncul ketika kita mulai jenuh, ketika kita mulai susah bernapas. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa menjadi jenuh? Bagaimana pula susah bernapas? Bukankah selama ini kita sudah terbiasa hidup dalam lumpur dan bernapas dalam lumpur? Ya, selama ini kita memang sudah terbiasa hidup dan bernapas dalam lumpur. Lumpur ini adalah lumpur pancaindra. Kita sibuk melayani segala kemampuan pancaindra. Sekarang, angkatlah kepalamu sedikit saja. Lihatlah ke atas, ke kanan, ke kiri. Ada dunia yang indah di balik kuala lumpur tempat kau tinggal. Kebebasanmu di dalam kuala lumpur ini adalah kebebasan yang semu………
Sang Suami: Dalam buku “Five Steps To Awareness, 40 Kebiasaan Orang Yang Tercerahkan” disampaikan bahwa pancaindra bukan satu-satunya kebenaran…….. Bebaskan dirimu dari anggapan keliru bahwa badan inilah dirimu. Bebaskan diri dari anggapan keliru yang bersifat “delusory” ilusif. Anggapan keliru ini telah membingungkan kita. Kemudian kita bersuka dan berduka dalam kebingungan itu. Kita senang karena “merasa” berhasil dan menang. Kita sedih karena “merasa” gagal dan kalah. Siapa yang merasakan keberhasilan dan kegagalan itu? Siapa yang merasakan kemenangan dan kekalahan itu? Pancaindra kita. Apakah pancaindra itu satu-satunya kebenaran diri kita? Adakah kebenaran lain yang lebih tinggi di balik pancaindera yang kita miliki? Dimanakah kita sebelum kawin, berkeluarga, dan membina rumah tangga? Siapakah kita sebelum terciptanya ikatan dan keterikatan baru itu? Seperti apakah jati diri kita sebelum kita menjadi suami dan ayah, atau istri dan ibu? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini masih bisa ditarik ke belakang. Dimanakah kita sebelum kelahiran kita? Di mana pula keberadaan kita nanti setelah kematian? Apakah kelahiran badan menandai kelahiran kita? Apakah kematian badan mematikan diri kita?
Sang Istri: Benar suamiku……. Kenikmatan yang diperoleh lewat pancaindra diselimuti oleh duka. Dalam buku “Five Steps To Awareness, 40 Kebiasaan Orang Yang Tercerahkan” tersebut disampaikan……… Ketahuilah bahwa segala kenikmatan yang kita peroleh lewat indra kita diselimuti oleh duka. Inilah penyebab dosa. Inilah sebab kesalahan dan kekhilafan. Mempercayai kenikmatan yang kita peroleh lewat indra, dan menganggap bahwa kenikmatan itu menghasilkan adalah kesalahan atau kesalahpahaman kita. Kenikmatan yang diperoleh lewat indra adalah hasil interaksi kita dengan hal-hal di luar diri, dengan pemicu-pemicu luaran. Tanpa pemicu itu, tidak ada kenikmatan. Pancaindra sendiri tidak dapat menghasilkan sesuatu tanpa pemicu, atau intervensi dari pihak lain……… Dalam buku “Nirtan Tarian Jiwa Hazrat Inayat Khan” disampaikan bahwa……. Manusia mendambakan kebebasan, tetapi yang dikejarnya justru perbudakan. Keterikatan dan keinginan berlebihan sesungguhnya menjerat manusia, memperbudak dirinya, membelenggu jiwanya. Sungguh tragis bila ia tidak menyadari hal itu………
Sang Suami: Pancaindra, pikiran dan tubuh adalah alat untuk berinteraksi dengan dunia. “Perbudakan” pada tubuh terjadi ketika kita memikirkan makanan melulu… “makanan” lewat mulut, lewat telinga, lewat hidung, lewat mata, lewat perabaan, lewat getaran-getaran pikiran. Melepaskan diri dari perbudakan pada tubuh tidak berarti melepaskan tubuh, tidak berarti meninggalkan tubuh. Melainkan mengangkat diri sebagai majikan. Promosi ini bukanlah sedekah. Promosi ini adalah prestasi. Kita meraihnya sebagai hasil dari kerja keras…….. Demikian disampaikan dalam buku “Mawar Mistik, Ulasan Injil Maria Magdalena”……..
Sang Istri: Apabila kita diperbudak oleh pancaindra kita sendiri, kita akan kehilangan arah, ibarat perahu yang tak terkendalikan. Dalam buku “Rahasia Alam, Alam Rahasia” disampaikan bahwa……. Kehadiran-Nya dapat terasa bila pikiran dan pancaindra sudah terkendali dan keseimbangan diri terasa. Penyusun Atmopanishad menyebut tiga “bagian” Yoga supaya kita dapat merasakan kehadiran-Nya setiap saat dan di setiap saat. Pertama, Pranayama: Pengendalian Pikiran Lewat Pengaturan Napas . Tarik napas dan buang napas pelan-pelan. Gunakan lubang hidung dan napas harus lembut tanpa suara. Makin pelan napas, makin jarang pula pikiran yang melintas dan makin tenang diri anda. Kedua, Pratyahara: Pengendalian Panca Indra dengan cara menarik diri dari rangsangan- rangsangan dari luar. Ketiga, samadhi atau keseimbangan diri yang diperoleh lewat meditasi. Para pemula membutuhkan waktu dan tempat khusus untuk melakukan latihan meditasi. Dibutuhkan juga disiplin dan ketekunan. Lambat laun meditasi akan mewarnai seluruh hidup………
Sang Suami: Bagaimana pun jangan menyalahkan pikiran, perasaan dan pancaindra. Mereka hanya merekam stimuli-stimuli dari luar dan menyampaikan kepada kita. Selanjutnya adalah kebebasan dan wewenang kita, pilihan kita, mau mengindahkannya atau tidak. Mereka tidak pernah memberi sanksi, tidak ada azab dan tiada pula dijanjikan api neraka kalau kita tidak mengikutinya. Kita sendiri mau ikut, lalu apa salah mereka? Kita telah memilih untuk mendengar seruan pikiran, perasaan dan pancaindra serta mengikutinya melakukan hal itu atas resiko sendiri. Kita mesti menanggung konsekuensi pilihannya itu. Tidak perlu menyalahkan siapa-siapa. Dalam buku “Isa Hidup dan Ajaran Sang Masiha” disampaikan…….. Dalam perjalanan hidup ini, kita tidak dapat melangkah tanpa indra kita. Namun yang menentukan perjalanan kita, rute kita, harus kita sendiri. Interaksi antara panca indera dengan dunia benda, dan objek-objek duniawi, menimbulkan stimuli-stimuli dalam diri kita. Lalu kita tergoda dan terpeleset. Apabila itu yang terjadi, sesungguhnya kita kena todong, kena rampok……….
Sang Istri: Dalam buku “Five Steps To Awareness, 40 Kebiasaan Orang Yang Tercerahkan” disampaikan……. Badan adalah kesadaran yang diberikan kepada kita. Gunakanlah badan ini untuk mencapai tujuan. Sementara ini kita menganggap badan sebagai tujuan. Persis seperti kolektor kendaraan tua, kita mendandani terus kendaraan badan yang kita miliki. Kita tidak pernah turun ke jalan. Kita sudah puas dengan dandanan kendaraan kita dalam garasi. Celakanya, mobil tua bisa hidup dalam garasi, tetapi manusia tidak bisa hidup dalam garasi sempit pikirannya. Jiwa manusia yang hidup dalam garasi sempit pikirannya mengalami pembusukan. Ia menjadi jasad berjalan. Persis seperti motor, seperti robot. Ia sepenuhnya tergantung pada “masa tahan” baterai pikirannya yang serba terbatas itu. Ia selalu berpikir pendek, tidak mampu berpikir jauh………
Sang Suami: Aku ingat Wejangan Pengetahuan Sejati dalam buku “Shri Sai Satcharita” yang menyampaikan……… Kelahiran, masa tua, kematian, penyakit, penderitaan, inilah takdir manusia. Bila kita bicara tentang raga manusia, maka betul, demikianlah adanya. Namun, semestinya itu menjadi tantangan bagi kita untuk segera memanfaatkan tubuh yang kita miliki. Karena, hanyalah dengan tubuh ini, dengan otak yang ada dalam tubuh ini, kita bisa mengasah pikiran atau manas, mind, dan memperhalusnya menjadi buddhi, atau awakened mind, pikiran yang telah tercerahkan. Karena, hanyalah buddhi yang dapat mengembangkan viveka, the faculty of discrimination, atau kemampuan kita untuk memilih, menimbang, dan memutuskan apa yang tepat bagi diri, dan apa yang tidak tepat. Sesungguhnya, orang yang mengatakan bahwa wujud manusia hanyalah tulang belulang, dan sebagainya sudah mengalami sedikit pencerahan. Tanpa itu, ia tak akan menyimpulkan demikian. Tanpa itu, ia akan menganggap tubuh sebagai satu-satunya identitas diri. Sekarang, bagaimana mengasah diri lebih lanjut, bagaimana mengembangkan mind lebih lanjut, meraih buddhi yang sempurna, dan berviveka?……… Gunakan badanmu untuk mengasah diri lebih lanjut, gunakan badanmu. Itulah satu-satunya sarana yang kaumiliki dan dapat kauandalkan. Bila kau tidak memanfaatkannya, dan hanya berpikir bahwa badan ini tidak berguna, maka jatuhkanlah kau dalam alam pikiran mereka. Sama seperti anggapan bahwa badan adalah segala-galanya, kesadaran itu pun mengantar kita ke neraka. Kita terjebak dalam permainan panca indera yang tak pernah terpuaskan, selalu kecewa, dan selalu mengharapkan lebih. Badan adalah badan, bukan segala-galanya. Tapi, juga bukan tak berguna. Badan sangat berguna, walau, sekali lagi, bukanlah segala-galanya. Gunakan badan ini untuk mencapai tujuan hidupmu. Gunakan otakmu, pikiranmu, buddhi dan viveka-mu untuk memilih mana yang tepat, dan mana yang tidak tepat. Gunakan badanmu sebagai kesadaran untuk mengantarmu pulang ke rumah, kepada sumber segala kehidupan……….
Sang Istri: Berbicara mengenai lumpur pikiran, perasaan dan pancaindra, aku jadi teringat bagaimana tanaman teratai dapat hidup di tengah lumpur tetapi tidak terkotori oleh lumpur, dia berkembang ke atas menuju sinar matahari dan menyebarkan keharuman dan keindahan dengan bunga mekarnya. Dalam buku “The Hanuman Factor Life Lessons from the Most Successful Spiritual CEO” disampaikan…….. Teratai ditemukan dalam kolam berlumpur. Mereka tidak hidup dalam kolam yang airnya bersih. Walaupun demikian, dasarnya yang berlumpur tidak mempengaruhinya. Mereka tidak menjadi kotor. Mereka tumbuh keluar dari lumpur. Mereka mencari pencerahan sinar matahari. Seharusnya demikianlah kita. Kita tumbuh dan berkembang dalam lumpur dunia delusi dan kebodohan. Kita tak dapat melakukan sesuatu tentang hal ini. Semua elemen pembentuk tubuh kita ada dalam lumpur dunia. Akan tetapi lumpur juga menyediakan kita dengan bahan makanan untuk menjamin kehidupan. Pelajaran pertama adalah bahwa jangan membiarkan dunia membuat kita menjadi kacau. Pada waktu yang sama, jangan tetap berada dalam lumpur. Ingat selama kita hidup di dunia, sebagian dari kita berada dalam lumpur dunia. Bagaimanapun terpisah dari lumpur kita akan layu. Hidup dalam dunia yang gila akan tetapi tetap menjaga kewarasan dan memunculkan keindahan. Pelajaran kedua adalah belajar dari kelopak bunga dan daun teratai. Mereka tidak basah. Tidak ada yang tersisa pada permukaan mereka. Baik air berlumpur maupun butiran embun tidak ada yang tersisa. Kita harus melampaui dualitas, suka dan duka, bersih dan kotor serta menghadap matahari pencerahan……… Semoga…….
Terima Kasih Bapak Anand Krishna.
Situs artikel terkait
http://www.oneearthmedia.net/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo
November 2010