Sepasang suami istri sedang membuka catatan-catatan tentang “berguru” sebagai bahan introspeksi. Mereka menggunakan buku “Shri Sai Satcharita” karya Sai das dan buku-buku Bapak Anand Krishna sebagai referensi. Mereka ingin membombardir diri dengan wisdom-wisdom dari buku-buku yang mereka gali. Membuka hati dengan repetitif intensif untuk meningkatkan kesadaran diri.
Sang Istri: Suamiku, aku baru saja membuka buku “Bersama Kahlil Gibran Menyelami ABC Kehidupan”. Dalam buku tersebut disampaikan……… Seorang Muhammad memiliki sebuah ide. Dalam benaknya ada sebuah pikiran. Dalam dirinya ada sebuah perasaan. Dan “sebuah” ide, “sebuah” pikiran, “sebuah” perasaan dalam diri “seorang Muhammad” bisa mengubah sejarah umat manusia. Kehadiran “seorang Muhammad” diantara kita sudah cukup. Kita tidak membutuhkan beberapa Muhammad. Seorang Muhammad bisa menjadi pemicu bagi peningkatan kesadaran dalam diri kita. Seorang Muhammad bisa mengubah sejarah umat manusia. “Perang yang meruntuhkan kerajaan pun merupakan sebuah pikiran dalam benak seseorang.” Pikiran seorang Muhammad atau seorang Yesus menjadi berkah bagi umat manusia, tetapi pikiran seorang Hitler menjadi serapah. Diantara sekian banyak orang yang tidak sadar, hanya satu orang yang sadar. Tetapi, lihat saja kemampuan mereka. Hanya ada satu Yesus, hanya ada satu Muhammad, hanya ada satu Siddharta, hanya ada satu Lao Tze – tetapi kemampuan mereka … Luar Biasa!……..
Sang Suami: Pikiran bisa membawa hikmah dan bisa pula membawa serapah. Pikiran yang selaras dengan kehendak-Nya membawa berkah dan pikiran yang mengikuti hasrat selera diri sendiri akan membawa serapah. Dalam buku “Masnawi Buku Kedua Bersama Jalaluddin Rumi Memasuki Pintu Gerbang Kebenaran” disampaikan bahwa Gusti selalu menyiapkan jamuan bagi kita semua. Para Suci menghadiri undangan Pesta Jamuan-Nya, sedangkan kita tidak ikut serta dalam Pesta dan mengikuti selera sendiri………. Tidak ikut dalam Pesta-Nya berarti tidak menerima undangan-Nya. Bukan karena kitaa tidak dikirimi undangan, tetapi karena kita memilih untuk tidak menerimanya. Kalaupun menerima undangan-Nya, kita tidak menghadiri Pesta-Nya. Menghadiri Pesta Dia berarti tidak memikirkan “soal dapur” lagi. Untuk apa memikirkan “soal dapur”? Bukanlah Dia telah mengundang anda untuk makan di Rumah-Nya? Menghadiri Pesta Dia berarti tidak mengurusi “makanan”. Untuk apa mengurusi “makanan”? Bukanlah Dia telah mengurus semuanya?…..
Sang Istri: Benar suamiku, selama ini kita masih menggunakan “mind” yang telah terpola begitu lama, yang telah terprogram dan terkondisi. Dalam buku “Masnawi Buku Kedua Bersama Jalaluddin Rumi Memasuki Pintu Gerbang Kebenaran” tersebut juga disampaikan……… Sementara ini kita masih ber-“kesadaran-restoran”. Masih membedakan antara “Mie Cina” dan “Mie Jawa”. Mau ini, tidak mau itu. Mau itu, tidak mau ini. Dengan “kesadaran-restoran” seperti itu, kita tidak bisa menghadiri Pesta-Nya. Di Pesta-Nya, kemauan Dia haruslah menjadi kemauan kita. Apa pun yang dia suguhkan kita terima.
Sang Suami: Dalam buku tersebut diberikan ilustrasi tentang seseorang yang berkata, “kalau begitu, saya pilih ber-‘kesadaran-restoran’ saja. Saya bisa memilih. Di Pesta-Nya tidak ada pilihan”……… Demikianlah adanya. Mereka yang masih ber-“kesadaran-restoran” akan menolak undangan-Nya. “Untuk apa?”, pikir mereka. “Entah di sana ada makanan kesukaanku atau tidak, lebih baik makan di restoran saja”……. Tidak ada yang bisa mendesak kita untuk melampaui “kesadaran-restoran” dan berpesta bersama Dia. Para nabi, para mesias, para avatar dan para buddha hanya bisa merayu kita, “Restoran yang kau datangi itu tidak ada apa-apanya. Di Pesta Dia semuanya berkelimpahan…….. Daftar makanan di restoran yang kau datangi itu masih belum apa-apa. Di Pesta Dia lebih banyak macam makanan.” Kita tidak percaya. Kita minta bukti, “Coba, perlihatkan daftar makanan Pesta Dia. Aku mau periksa dulu, mana yang lebih lengkap.” Sudah diundang untuk menghadiri pesta, bukannya berterima kasih. Malah mau melihat daftar makanannya terlebih dahulu. Para rasul pun bingung, tetapi karena kasih mereka terhadap kita, maka “turunlah” Al-Qur’an, Alkitab, Zend Avesta, Dhammapada, dan Veda………..
Sang Istri: Dalam buku “Masnawi Buku Kedua Bersama Jalaluddin Rumi Memasuki Pintu Gerbang Kebenaran” tersebut juga disampaikan……… bahwa kita masih saja ragu-ragu (terhadap Pesta Tuhan), “Tetapi bagaimana mempercayai kalian? ‘Restoran-Dunia’ ini sudah sering aku kunjungi. Aku tahu persis, apa saja yang mereka sajikan. Lagipula, rasa makanan di sini sudah pas banget dengan selera lidahku.” Mereka tidak putus asa dan masih saja merayu (untuk datang ke pesta), “Itu sebabnya, engkau harus sekali-kali mencoba yang lain. Sudah terlalu lama di dunia, jiwamu sudah karatan. Seleramu sudah rusak. Yakinilah kami, karena dulunya kami pun persis seperti kalian…….
Sang Suami: Benar istriku, buku tersebut melanjutkan……… Jiwa kami pun sudah karatan, selera kami pun sudah rusak. Kemudian, kami menerima undangan Dia dan mendatangi Pesta-Nya. Ternyata, ah, ah, ah..!” Lebih dari itu, mereka pun tidak bisa menjelaskan. Di balik “Ah” ada apa sudah tidak dapat dijelaskan lewat kata-kata. Kemudian, ada pemberani yang maju ke depan, “Rasul Allah, ajaklah aku ke Pesta-Nya. Aku meyakini engkau. Aku meyakini kata-katamu.” Pemberani seperti inilah yang disebut seorang Muslim. Seseorang yang menerima ajakan Rasul Allah dan menghadiri Pesta Allah, seseorang yang menerima Kehendak Allah! Mereka yang masih mempertahankan “kesadaran-restoran” adalah kafir. Mereka tidak menerima ajakan para rasul. para nabi, para wali, para mesias, para avatar dan para buddha. Mereka tidak menghadiri Pesta Allah…….
Sang Istri: Seorang sufi wanita Rabiah Al Adawiyah menerima undangan pesta-Nya, dia memaknai apa pun yang disajikan Gusti baginya dengan Kasih. Dalam buku “Menyelami Samudra Kebijaksanaan Sufi” disampaikan…….Tujuan hidup ini apa? Lahir, dibesarkan oleh orang tua, meraih pendidikan, bekerja, berkeluarga, banting tulang bagi orang lain, lantas pada suatu hari ajal tiba dan Malaikat Maut datang menjemput kita. Apakah hidup ini bertujuan? Kita boleh-boleh saja menetapkan tujuan-tujuan ilusif. Kita boleh-boleh saja membayangkan suatu tujuan. Setiap tujuan yang kita bayangkan, tanpa kecuali, pada akhirnya toh akan mengantar kita ke liang kubur. Rabiah tidak berbicara tentang tujuan. Ia sedang memberikan “makna” pada kehidupannya. Pada saat kita lahir, Keberadaan Allah Yang Maha Kuasa memberikan selembar kertas kehidupan yang masih kosong. Apa yang akan kita tulis di atas kertas ini sepenuhnya menjadi pilihan kita. Kita bisa saja memilih untuk tidak menulis sesuatu apa pun. Kita bisa saja membiarkan lembaran itu tetap kosong. Kita bisa juga mengisinya dengan coretan-coretan yang tidak berguna. Ramai, tetapi tidak berarti sama sekali. Kita bisa mengisi kehidupan kita dengan selusin mobil, setengah lusin rumah, sekian banyak deposito, beberapa anak dan sebaiknya dan sebagainya. Kita bisa pula mengisinya dengan beberapa ijazah, beberapa penghargaan, jabatan-jabatan tinggi dan sebagainya dan sebagainya. Rabiah sedang mengisi lembaran kehidupannya dengan Cinta, dengan Kasih Allah. Ia memenuhi lembaran kehidupannya dengan kasih Allah. Ia tidak menyisihkan sedikitpun tempat untuk sesuatu yang lain, di luar Allah………
Sang Suami: Kita harus menerima apa pun yang disajikan Gusti bagi kita, semua yang disajikan membuat kita sehat. Dalam buku “Menyelami Samudra Kebijaksanaan Sufi” disampaikan……. Semesta ini bagaikan unversitas terbuka, dimana kita sedang menjalani program, sedang mempelajari seni kehidupan. Bukan hanya mereka yang menyenangkan hati kita, tetapi juga mereka yang melukai jiwa kita, yang mencaci kita, yang memaki kita, sebenarnya diutus oleh Kebenaran untuk menguji kesiapan diri kita. Pasangan kita, istri kita, suami kita, orang tua dan anak dan cucu kita, atasan dan bawahan kita, mereka semua adalah dosen-dosen pengajar. Mereka yang melacurkan diri demi kepingan emas dan mereka yang melacurkan jiwa demi ketenaran dan kedudukan, mereka semua adalah guru kita. Anjing jalanan dan cacing-cacing di got, lembah yang dalam, bukit yang tinggi dan lautan yang luas, semuanya sedang mengajarkan sesuatu………
Sang Istri: Kita belum yakin bahwa di balik segala sesuatu yang terjadi di dunia ini selalu ada hikmahnya. Ibarat kita masuk kelas dan setiap hari diberi banyak mata pelajaran, tetapi kita tidak menyadarinya, bahkan kita memikirkan sesuatu di luar kelas. Ya kita tidak naik kelas dan selalu diberi mata pelajaran yang hampir sama, sampai kita lulus dari mata pelajaran-mata pelajaran tersebut. Dalam buku “Masnawi Buku Kelima” disampaikan bahwa…… Setiap hari, manusia memperoleh pelajaran baru, tetapi dia tidak memahaminya dan tidak mampu mengambil hikmahnya. Dan hidup terasa tak bermakna, hambar. Kemudian dia mulai mencari makna. Dia mulai berkhayal, berandai-andai, “seandainya aku memiliki harta, hidupku akan bermakna; seandainya aku memiliki keluarga, hidupku akan bermakna; seandainya begini, aku akan begitu, seandainya begitu, aku akan begini.”………
Sang Suami: Istriku, aku baru saja membaca buku “A New Christ, Jesus: The Man and His Works, Wallace D Wattles, Terjemahan Bebas oleh Bapak Anand Krishna”. Dalam buku tersebut disampaikan……… “Janganlah khawatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah khawatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai.” (Matius 6 : 25)…….. Pandanglah burung-burung di langit, kepintaran apa yang mereka miliki? Seberapakah intelegensia mereka jika dibanding dengan inteligensia manusia? Mereka tidak bisa bercocok tanam; mereka tidak mengumpulkan sesuatu untuk masa depan. Namun, mereka tidak pernah kelaparan. Mereka tidak pernah kekurangan sesuatu. “Sekarang perhatikan dirimu. Dengan kepintaran dan inteligensia yang kaumiliki, semestinya hidupmu jauh lebih aman dan nyaman daripada hidup mereka. Sayangnya, kau justru hidup dalam kekhawatiran dan rasa takut. “Carilah Kerajaan sesuai dengan rencana Tuhan bagi dirimu, kehidupan yang sempurna dan selaras dengan semesta dan kau tak akan pernah kekurangan sesuatu apa pun jua.”……….
Sang Istri: Benar suamiku, dalam buku “A New Christ, Jesus: The Man and His Works, Wallace D Wattles, Terjemahan Bebas oleh Bapak Anand Krishna”tersebut juga disampaikan……… terjemahan bebas Matius Pasal 6, Ayat 25-34…. Karena itu Aku berkata kepadamu : Janganlah khawatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah khawatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting daripada makanan dan tubuh itu lebih penting daripada pakaian. Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di surga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu? Siapakah diantara kamu yang karena kekhawatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya? Dan mengapa kamu khawatir akan pakaian? Perhatikanlah bunga bakung di ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan tanpa memintal. Namun, Aku berkata kepadamu : Salomo dalam segala kemegahannya pun tidak bepakaian seindah salah satu dari bunga itu. Jadi, jika demikian Allah mendandani rumput di ladang, yang hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan terlebih lagi mendandani kamu, hai orang yang kurang percaya? Sebab itu, janganlah kamu khawatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang disurga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu khawatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari………
Terima Kasih Bapak Anand Krishna.
Situs artikel terkait
http://www.oneearthmedia.net/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo
Desember 2010