Sepasang suami istri sedang membuka catatan-catatan tentang berguru. Mereka berdiskusi tentang “berguru” sebagai bahan introspeksi. Mereka paham bahwa pengetahuan tak berharga bila tidak dilakoni. Mereka mengumpulkan wisdom dari buku “Shri Sai Satcharita” karya Sai Das, dan buku-buku serta artike-artikel Bapak Anand Krishna sebagai bahan diskusi. Mereka berharap mosaik dari wisdom dapat menjadi pemicu pribadi untuk memberdayakan diri. Wisdom tersebut juga diharapkan mereka akan muncul kembali sebagai suara nurani pada saat mereka menetukan suatu pilihan antara Preya yang menyamankan dan Shreya yang memuliakan.
Sang Istri: Suamiku, aku baru saja membaca ensiklopedia yang membicarakan tentang lebah. Sumber makanan lebah adalah nektar dari bunga-bungaan. Karena bunga hanya mekar pada musimnya, maka lebah menyimpan nektar yang mereka kumpulkan dengan menambah cairan khusus yang dikeluarkan oleh tubuh mereka untuk dipergunakan sebagai makanan pada saat pohon tidak berbunga. Campuran yang bergizi inilah yang disebut madu. Untuk menjaga kualitasnya, temperatur madu dipertahankan sekitar 35 derajat Celcius. Pada waktu kondisi panas mereka berkumpul untuk mengipasi madu dengan sayapnya. Untuk mencegah makhluk asing masuk mereka mempunyai penjaga yang akan mengusir mereka yang mengganggu. Agar bakteri tidak mengganggu, mereka mengeluarkan ”resin” yang sekaligus dapat mengeraskan sarang mereka. Pertanyaannya adalah mengapa lebah membuat madu berlebihan yang jauh melebihi kebutuhan dirinya? Bahkan menjaga kemurnian madunya yang sebagian besar justru dipersembahkan kepada manusia?
Sang Suami: Tanaman dan hewan memberikan banyak persembahan kepada makhluk lainnya. Ayam bertelur sebutir setiap hari, dan tidak semuanya dipergunakan untuk meneruskan kelangsungan jenisnya. Sapi juga memproduksi susu melebihi kebutuhan untuk anak-anaknya. Padi di sawah menghasilkan butir-butir gabah yang jauh melebihi kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan kehidupan kelompoknya. Pohon mangga juga menghasilkan buah mangga yang jauh lebih banyak dari yang diperlukan untuk mengembangkan jenisnya. Pohon singkong memberikan pucuk daunnya untuk dimakan manusia, akar ubinya pun juga dipersembahkan, mereka menumbuhkan singkong generasi baru dari sisa batang yang dibuang. Sifat alami alam adalah penuh kasih terhadap makhluk lainnya. Lebih banyak memberi kepada makhluk lainnya. Sikap yang altruistis memikirkan kepentingan orang lain selaras dengan alam. Egolah yang membuat manusia hanya mementingkan dirinya sendiri saja.
Sang Istri: Jutaan tahun sebelum manusia hadir, bumi telah dipersiapkan melalui mekanisme alam semesta. Bumi terpilih sebagai lokasi yang ideal untuk kehadiran berbagai tumbuh-tumbuhan, fauna-flora dan manusia serta makhluk-makhluk yang kita tidak mengetahuinya. Di mulai dengan tumbuh-tumbuhan yang bersel satu sedikit demi sedikit pertumbuhan tanam-tanaman berevolusi ke wujud-wujud yang lebih sempurna, baru kemudian hadir fauna, dan jutaan tahun kemudian hadir manusia dari suatu ekosistem yang saling menunjang, saling membutuhkan, semuanya lestari, berkesinambungan, yang kita sebut dengan suatu kesatuan.
Sang Suami: Dalam buku “Neospirituality & Neuroscience, Puncak Evolusi Kemanusiaan” disampaikan………. Setelah menjalani proses evolusi yang sangat panjang, manusia berhasil memiliki pikiran (mind), otak (brain), dan pancaindra (senses) yang cukup canggih, melebihi makhluk-makhluk lain di dunia ini. Hal ini merupakan berkah sekaligus serapah bagi dirinya. la memiliki otak dan pancaindra untuk mewujudkan apa yang dikehendakinya termasuk melawan dan menentang hukum alam……… Manusia memiliki kebebasan, baik untuk menyadari kemanuggalannya dengan alam semesta maupun untuk tidak menyadarinya. Ketika ia memilih untuk tidak menyadari kemanunggalannya maka ia berpikir bahwa dirinyalah yang Maha Kuasa dan dapat berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya. la merusak lingkungan, melawan alam, bertindak sesuai dengan keinginannya karena menganggap dirinya sebagai makhluk yang paling hebat, tinggi, spesial, dan berada di atas seluruh makhluk-makhluk lainnya. Jadi manusia memiliki kebebasan untuk memajukan diri atau menghancurkan dirinya sendiri………
Sang Istri: Dalam buku “Life Workbook, Melangkah dalam Pencerahan, Kendala dalam Perjalanan, dan Cara Mengatasinya” disampaikan bahwa manusia mempunyai hutang terhadap lingkungan…….. Jauh sebelum ilmuwan modern mulai memperhatikan lingkungan, flora dan fauna, jauh sebelum mereka mencetak istilah baru eco system, para bijak sudah memaparkan, menjelaskan hubungan manusia dengan lingkungannya. Sekedar menjaga kebersihan lingkungan saja tidak cukup, kita harus melestarikan alam. Merawat flora dan fauna. Jaman dulu, manusia tidak bisa seenaknya menebang pohon. Adat menentukan usia pohon yang dapat ditebang. Itu pun untuk keperluan tertentu. Ketentuan adat berlaku, Walau puhon itu berada di atas tanah kita sendiri. Kita memiliki tugas, kewajiban serta tanggungjawab terhadap kelstarian alam. Jangan mencemari air dan udara. Berhati-hatilah dengan penggunaan energi. Jangan mengeksploitasi bumi seenaknya. Gunakan ruang juga tanah yang tersedia secara bijak………..
Sang Suami: Dalam Bhagawad Gita, Percakapan Ketiga, Karma Yoga, Sri Krishna bersabda…… Umat manusia ini diciptakan sebagai persembahan, dan Sang Pencipta mengatakan pada awal penciptaan, bahwa dengan persembahan segala kebutuhan manusia akan terpenuhi. Persembahanmu akan menjaga kelestarian alam. Alam pada gilirannya akan menjaga kelestarianmu. Dengan saling membantu akan membuatmu bahagia yang tak terhingga. Alam ini akan memberi apa yang kau inginkan sebagai pengganti persembahanmu. Tetapi bagi yang menikmati pemberian alam tanpa mengembalikan sesuatu dipertimbangkan sebagi seorang “pencuri”. Ia yang berkarya dengan semangat persembahan dan menikmati hasilnya, dengan cara demikian ia terbebaskan dari semua kejahatan. Mereka yang mementingkan diri sendiri, dengan cara demikian mereka memperoleh ketakmurnian. Badan manusia ini terbuat dari apa yang ia makan, dan makanan disebabkan oleh hujan. Hujan ditentukan oleh kepedulian manusia terhadap lingkungan serta perbuatan manusia sendiri…….
Sang Istri: Kerusakan terhadap lingkungan disebabkan keserakahan manusia. Manusia mengambil pemberian alam tanpa memeliharanya……. Adalah suatu kearifan untuk tidak memotong pohon di daerah tangkapan air. Akar-akar pohon mampu menahan air, sehingga persediaan air di mata air tidak berkurang. Pembabatan pohon membuat persediaan mata air menyusut. Pohon perlu dihormati, tidak ditebang dengan semena-mena. Pada zaman dahulu, semasa gunung masih diselimuti hutan belantara, air “krasan” singgah di antara akar-akar pohon dan enggan mengalir kesebelah bawah. Perbedaan jumlah air di musim penghujan dan musim kemarau tidak begitu besar. Begitu selimut hutan tersingkap karena dibabat manusia yang serakah, air sudah tidak “krasan” lagi di gunung, di musim penghujan air langsung berkumpul di sungai meluap menjadi banjir, dan dimusim kemarau air di gunung sudah tidak tersedia, sehingga kekeringan terjadi dimana-mana. Butir-butir tanahpun terseret banjir dan diendapkan di sungai-sungai yang menyebabkan pendangkalan.
Sang Suami: Istriku, aku ingat sebuah buku “The Wisdom of Bali, the sacred science of creating heaven on earth” yang ditulis Bapak Anand Krishna yang salah satu babnya memuat wisdom tentang Tri Hita Karana…….. Hita ialah “Kemakmuran”, dan Karana berarti “Sebab”. Tiga Sebab Kemakmuran, atau lebih tepatnya Sejahtera lahir-batin – itulah arti Tri Hita Karana. Atau, bisa juga diartikan sebagai tiga panduan untuk hidup seimbang dengan keberadaan. Di masa lalu, tak hanya penduduk di pulau Bali, tapi juga seluruh masyarakat di kepulauan Indonesia menghayati hidup sesuai dengan prinsip-prinsip Tri Hita Karana. Walaupun, di zaman tersebut, istilah Tri Hita Karana belum ada. Istilah tersebut baru dikenal kemudian. Para akademisi melacak penggunaan kembali istilah tersebut pada sebuah konferensi di Universitas Dwijendra Bali pada tanggal 11 November 1966.
Sang Istri: Penjelasan umum yang diberikan di Internet dan media cetak tentang Tri Hita Karana begitu sederhana: ”Untuk menjaga keseimbangan dan harmoni antara manusia dan Tuhan; antara manusia dan manusia lain, dan antara manusia dengan lingkungan alam.” Dalam bahasa Bali, kita memiliki 3 istilah untuk ketiga tipe hubungan tersebut: Parahyangan untuk hubungan kita dengan Tuhan atau para Dewa; Pawongan untuk hubungan kita dengan sesama manusia; dan Pelemahan untuk hubungan kita dengan lingkungan alam.
Sang Suami: Dalam artikel tersebut disampaikan…….. Sebab utama menjadi ”Sejahtera”, Karana pertama dari Hita – ialah bukan menjaga keseimbangan dan harmoni antara kita dan Tuhan, tapi “menyadari Tuhan dalam satu dan segalanya”. Ini berarti mengalami kemahahadiran Tuhan – yang merupakan sebab utama keberadaan manusia. Sebab utama ialah dasarnya, di mana kedua sebab lainnya berdiri. Atau, lebih tepatnya, ketiga sebab tersebut pada hakikatnya Tri Tunggal. Tiga tapi Satu. Trinitas Suci abadi yang tak terpisahkan. Kepercayaan kepada Tuhan tak berarti banyak kecuali diterjemahkan sebagai pelayanan penuh kasih terhadap kemanusiaan. Kasih Tuhan mesti membawa keceriaan di antara anggota masyarakat manusia. Apa gunanya kepercayaan kita pada Tuhan, jika kita tidak dapat hidup secara damai dan harmonis dengan tetangga di sebelah kita? Ini sebab kedua, Pawongan……. Pawongan bukanlah keseimbangan antara sesama umat manusia, tapi prinsip dari “satu untuk semua, dan semua untuk satu” – di mana ”satu” bukanlah ego kecil kita, suka atau tidak suka, syak-wasangka dan kepentingan diri – tapi “kebaikan bagi sebanyak mungkin orang”. Sebab ketiga, Palemahan, mencurahkan perhatian bagi lingkungan: alam – tumbuhan dan binatang. Palemahan menuntut kesadaran untuk melihat energi yang sama berada di mana-mana, di dalam semua mahkluk hidup, termasuk tumbuh-tumbuhan, sungai, pohon, dan sebagainya.
Sang Istri: Jauh sebelum Al Gore, PBB dan lembaga-lembaga lainnya mulai berbicara tentang perubahan iklim dan dampaknya pada kita semua; jauh sebelum pemanasan global menjadi isu panas – para leluhur kita sudah menasehati kita agar berdamai dengan lingkungan alam di sekitar kita…… Bagaimana kita tetap bersahabat dengan Sang Pencipta, dan merusak ciptaannya? Bila kita tidak menghargai alam dan lingkungan, maka lingkungan dan alam pun tak menghargai kita. Kita dapat bermain dengan hukum dan peraturan buatan manusia, tapi kita tak dapat menipu hukum keberadaan – hukum sejati alam ini……. Semoga kita sadar…….
Terima Kasih Bapak Anand Krishna.
Situs artikel terkait
http://www.oneearthmedia.net/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo
Desember 2010