Sepasang suami istri sedang membuka catatan-catatan tentang “berguru”. Mereka berdiskusi tentang “berguru” sebagai bahan introspeksi. Mereka paham bahwa pengetahuan tak berharga bila tidak dilakoni. Buku “Shri Sai Satcharita” karya Sai das, buku-buku dan artikel-artikel Bapak Anand Krishna mereka jadikan sebagai referensi. Mereka mengutip pandangan dalam berbagai referensi tersebut agar tidak kehilangan esensi.
Sang istri: Suamiku aku ingat sebuah wejangan tentang Sadguru………. Jalan spiritual, dan penunjuk jalan yang kita peroleh dalam hidup ini adalah “hasil” dari pencarian kita sendiri. Selama entah berapa abad, berapa lama, berapa masa kehidupan, jiwa mencari terus. Akhirnya ia memperoleh apa yang dicarinya. Dan, jiwa sadar sesadar-sadarnya bila apa yang diperolehnya itu adalah hasil pencariannya. Ketika kita berhadapan dengan seorang murshid kita tidak pernah ragu. Kita langsung jatuh “jatuh hati”. Keraguan muncul ketika ia mulai memandu. Karena panduannya tidak sejalan dengan pola pikir kita yang lama. Kesalahan seperti ini telah kita lakukan dari zaman ke zaman. Apakah kita tidak diberi tanda-tanda yang tegas tentang sang pemberi peringatan? Apakah kita tidak merasakan kehangatan persahabatan kita dengannya? Kita diberi tanda-tanda yang jelas, kita melihat, kita merasakan. Tapi, pikiran tidak menerima, “itu tanda-tanda yang salah, keliru. Itu bukanlah perasaanmu yang sebenarnya. Kejarlah perasaanmu yang sebenarnya.” Pikiran justru menciptakan “rasa palsu”, emosi buatannya sendiri, untuk menjauhkan kita dari rasa segala rasa. Kita lupa akan rasa itu, dan terbawa oleh napsu, emosi rendahan untuk kembali mengejar bayang-bayang…….
Sang Suami: Istriku, aku baru saja membuka file wejangan-wejangan lama bagaimana cara mendekati seorang Sadguru dan tidak berlari menjauhi……… Meditasi tidak bisa diajarkan. Meditasi bukanlah suatu pelajaran. Meditasi harus dialami dan dibagikan. Meditation, meditativeness must be experienced and shared – it cannot be taught. Ada yang datang berguru dengan tujuan untuk menjadi “guru meditasi”. Dia tidak sadar bahwa tujuannya itu, keinginannya untuk menjadi sesuatu – justru menjadi penghalang. Latihan-latihan yang diberi oleh para master ibarat “mainan” untuk membuat kita betah duduk “bersama” mereka. Yang penting bukanlah latihan-latihan itu, tetapi “kebersamaan” seorang murid dengan murshidnya. Seorang shishya dengan gurunya. Duduk bersama seorang master, kita ketularan “virus-meditativeness“-nya. Virus kesadarannya. Seorang master tengah berbagi kesadaran. Ia tidak mengajarkan meditasi. Tidak bisa. Siapapun master anda, guru anda, murshid anda – “dekati” dia. Tanpa kedekatan seperti itu, anda tak akan memperoleh hasil apapun. Dan, anda bisa “mendekati” sang guru, walau fisik anda berada ribuan kilometer jauh dari dia. Anda bisa juga “tetap jauh”, walau secara fisik sangat dekat. Hal-hal lain dalam hidup masih bisa ditunda. Kesadaran tak dapat ditunda lagi. Tanpa kesadaran, apapun yang anda peroleh dari hidup, dalam hidup – tidak memiliki makna. Benda-benda dalam hidup ibarat peralatan elektronik. Tak berguna tanpa aliran listrik………
Sang Istri: Dalam buku “Narada Bhakti Sutra, Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas” disampaikan…….. Seorang Guru duduk di tengah. Para siswa duduk melingkar, menghadapinya. Apa arti pola duduk seperti itu? Sang murshid harus menjadi centerpoint hidup kita. Titik tengah kehidupan kita. Dan jangan lupa, yang menjadi centerpoint bukanlah wujud dia. Tetapi apa yang “diwakilinya”. Dan setiap guru, setiap murshid mewakili hanya satu Lembaga – Lembaga Non-Lembaga…. Kasih. Dengan semangat permainan, berupayalah untuk mencapai titik tengah di dalam diri sendiri. Untuk menemukan kasih di dalam diri sendiri. Guru di luar diri hanya mewakili Murshid di dalam diri setiap murid………
Sang Suami: Dalam buku “Mawar Mistik, Ulasan Injil Maria Magdalena” disampaikan……. Kehadiran seorang Guru dalam hidup kita semata-mata untuk membantu kita tidak menjadi egois. Guru bagaikan katalisator, “perantara yang ada dan tidak ada”. Ia bagaikan awan yang “menyebabkan” keteduhan untuk sejenak dan berlalu. Awan “tidak memberi” keteduhan, ia “tidak membuat” teduh: ia “menyebabkan” terjadinya teduh. Itulah Guru. Bagi Maria, kesadaran identik dengan Guru. Bagi dia, pencerahan identik dengan Yesus yang dicintainya. Di balik kejadian itu ia tidak melihat andil dirinya sama sekali. Ia tidak merasa melakukan sesuatu yang luar biasa untuk memperoleh pencerahan itu. Apa yang terjadi atas dirinya semata-mata karena “berkah”, karena rahmat, karena anugerah Sang Guru! Kelak, Nanak pun mengatakan hal yang sama. Bertahun-tahun setelah kejadian: Ik Omkaar, Sadguru Prasaad – Hyang Tunggal Itu kutemui berkat rahmat Guruku!…….
Sang Istri: Dalam buku “Wedhatama Bagi Orang Modern” disampaikan…….. Seorang guru tidak lagi menggunakan pikirannya. Ia hanya menyampaikan apa terdengar lewat nuraninya, yang selalu dalam keadaan mawas diri, yang dianugerahi dengan wahyu Allah – hanya merekalah yang pantas disebut Guru, disebut Master, disebut Murshid, Mustafa…….. Dan, Guru hanya akan bekerja untuk kita apabila kita membuka diri sepenuhnya. Dalam buku “Bhaja Govindam Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara” disampaikan…….. Seorang Guru hanya akan work on us, “bekerja terhadap kita” bila kita membuka diri sepenuhnya. Lapisan pengetahuan “semi”, pengetahuan yang belum menjadi pengalaman, justru menutup diri kita. Seorang Guru tidak pernah memaksakan diri. Ia tidak akan memasuki diri kita secara paksa. Ia akan menunggu di luar pintu hati kita, sebelum kita sendiri membukanya dan mengundang dia masuk………
Sang Suami: Kebanyakan dari kita merasa dekat dengan Guru. Akan tetapi dekat dengan Guru berarti fokus sepenuhnya. Badan bahkan tidak perlu parkir dekat Guru, tapi pikiran terpusatkan pada Guru sehingga indra tidak liar, pikiran tidak gelisah pergi kesana-kemari. Sementara ini kita hanya merasakan “ketenangan sementara pikiran dan perasaan” karena badan berada dekat dengan Guru, ketenangan pikiran dan perasaan itu temporer. Dalam buku “Bhaja Govindam Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara” disampaikan…….. Memenggal kepala-ego dan meletakkannya di bawah kaki sang guru juga berarti menyerahkan segala beban kepadanya. Iman kita belum cukup kuat. Kita masih ragu-ragu, bimbang… maka, sesungguhnya kita belum pantas menyebut diri murid. Kita baru pelajar biasa. Sang murshid, sang guru siap sedia mengambil-alih seluruh bebanmu, asal kau siap menyerahkannya kepada dia. Justru tugas dia… Dia bagaikan perahu yang dapat mengantarmu ke seberang sana. Bila kau sudah berada di dalam perahu, untuk apa lagi menyiksa dirimu dengan buntalan berat di atas kepala? Turunkan buntalan itu dari kepala, letakkan di bawah. Perahumu, gurumu, murshidmu siap menerima tambahan beban itu. Bahkan, ia sudah menerimanya… walau berada di atas kepala, sesungguhnya beban itu sudah membebani gurumu……….
Sang Istri: Dalam buku “Atma Bodha Menggapai Kebenaran Sejati Kesadaran Murni dan Kebahagiaan Kekal” disampaikan bahwa……… Para sufi menggunakan “wujud” murshid sebagai gerbang untuk memasuki Tuhan. Ketika Yesus menyatakan diri sebagai pintu untuk memasuki Kerajaan Allah, maksudnya ya itu. Para lama di Tibet melakukan Guru Pooja, penghormatan khusus terhadap para guru. Begitu pula dengan para “pencari” di dataran India. Lewat Guru Bhakti atau cinta tak bersyarat dan tak terbatas terhadap seorang guru, mereka menemukan cinta yang sama di dalam diri mereka masing-masing. Seorang guru tidak membutuhkan puja dan bakti. Dia justru memberikan kesempatan bagi perkembangan puja dan bhakti di dalam diri kita masing-masing. Puja dan bakti terhadap seorang guru tidak berarti mencium kaki atau tangannya. Puja dan bakti semata-mata untuk mendekatkan diri kita dengan Ia yang bersemayam di dalam setiap makhluk………
Sang Suami: ……Kita lupa tradisi kuno di mana seorang murid melakukan sungkem atau mencium tangan seorang Guru. Kedua gerakan itu sarat dengan makna. Dengan itu mau diungkapkan, “Sekarang kutundukkan kepalaku, egoku, pengetahuan yang telah kuperoleh selama ini. Kutuangkan semuanya, karena semua itu tidak membantuku. Wahai Guru, sekarang aku datang ke padepokanmu; ajarilah aku yang masih bodoh ini.” Saat mencium tangan seorang murshid kita menyatakan kepercayaan kita; trust kita terhadap segala karyanya. Tanpa trust, tanpa kepercayaan, kita tidak bisa berguru………. Demikian disampaikan dalam buku “Life Workbook, Melangkah dalam Pencerahan, Kendala dalam Perjalanan, dan Cara Mengatasinya”.
Sang istri: Dalam buku “Shri Sai Satcharita” disampaikan cara memusatkan kesadaran lewat Guru…… Caraku memang khas. Ingatlah selalu cerita itu, sangat bermanfaat bagimu. Dhyana atau meditasi sangat penting untuk mengenal diri, untuk menemukan jati diri. Dengan meditasi, pikiran yang kacau akan menjadi tenang. Pusatkanlah kesadaranmu kepada Tuhan, tanpa mengharapkan sesuatu apa pun jua. Lihatlah Dia dalam diri setiap makhluk. Ketika itu terjadi, ketika pikiranmu terpustakan kepada-Nya , maka tercapailah tujuan hidup. Pusatkan kesadaranmu kepada Zat-Ku yang tak berwujud… Pengetahuan Sejati, Kesadaran Murni, Kebahagiaan Kekal Abadi, itulah kebenaran diri-Ku………. Namun, jika sulit memusatkan kesadaran kepada Zat yang tak berwujud, maka pusatkanlah pada wujud-Ku yang satu ini, dan jari kaki hingga kepala-Ku sebagaimana kau melihat-Ku saat ini. Biarlah wujud ini saja yang kaukenang sepanjang pagi, siang, dan malam. Dengan cara ini pun kau dapat menenangkan pikiranmu dan mencapai tujuan yang sama. Saat itu, sirnalah perpisahan antara dhyata atau pelaku meditasi, dhyeya atau objek meditasi, dan dhyana atau upaya meditasi itu sendiri. Itulah saat kau menyatu dengan kesadaran Murni, dengan Brahman, dengan Tuhan……….
Sang Suami: Dalam buku “Shri Sai Satcharita” dijelaskan bahwa……. Wujud adalah sarana Gusti Pangeran untuk menyampaikan kesatuan dan persatuan. Maka wujud Sadguru dapat digunakan sebagai sarana meditasi oleh para panembah. Dengan pemusatan pada wujud Sadguru, kita merasakan kesatuan dan persatuan dengan Beliau yang sudah terlebih dahulu bersatu dengan semesta. Demikianlah, dengan cara itu sesungguhnya kita pun bersatu dengan alam semesta……. Namun untuk itu dibutuhkan keyakinan dan penyerahan diri secara total. Meyakini Sadguru berarti meyakini pesan beliau. Dan berserah diri kepada beliau berarti berserah diri kepada apa yang beliau sampaikan dan menjalani hidup sesuai dengan pesan beliau. Pesan beliau adalah pesan kebajikan. Menjalani hidup sesuai dengan beliau berarti menghidupi pesannya – menjalani kebijakan setiap saat……. Semoga………
Terima Kasih Bapak Anand Krishna.
Situs artikel terkait
http://www.oneearthmedia.net/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo
Desember 2010