December 26, 2010

Medan Kurukshetra Dalam Diri, Renungan Ke-40 Tentang Berguru

Sepasang suami istri sedang membuka catatan-catatan tentang berguru. Mereka berdiskusi tentang “berguru” sebagai bahan introspeksi. Mereka mengumpulkan wisdom dari buku “Shri Sai Satcharita” karya Sai das,  buku-buku dan beberapa artikel Bapak Anand Krishna sebagai bahan diskusi. Mereka berharap mosaik dari wisdom diskusi mereka dapat menjadi pemicu pribadi mereka untuk memberdayakan diri.

Sang Istri: Suamiku, baru saja kita menghulang kembali file wejangan yang ada dalam topik Secangkir Kopi Kesadaran dari The Torchbearers Newsletter 5/2007………. Ketika seorang Sadguru mendirikan ashram atau padepokan yang menjadi harapan Beliau adalah menghadirkan suatu wadah dimana setiap orang yang ingin mewarnai hidupnya dengan spiritualitas dapat belajar bersama. Belajar bersama untuk meraih “Ananda” – kebahagiaan sejati. Jika ada satu orang yang meraih kebahagiaan – maka terpenuhilah tujuan suatu ashram. Dalam perkembangannya dibentuk juga sayap-sayap organisasi untuk memperkaya kebahagiaan, atau lebih tepatnya memperdalam “ananda”. Harapan tujuan awal adalah “ananda” terlebih dahulu, sehingga Sadguru dapat berbagi dengan orang lain. Setiap orang yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan ashram dan sayap-sayap lainnya mestinya selalu mengingat Satu Tujuan yaitu Ananda tersebut. Setiap orang butuh kebahagiaan dan sedang mencari. Namun lucu sekali, dalam pencarian itu mereka sering lupa tujuan. Dan, terjebak dalam kenyamanan dan kenikmatan sesaat.

Sang Suami: Benar istriku, dalam artikel tersebut juga disampaikan bahwa banyak orang yang lupa pada tujuan awalnya……… Apakah akan selalu terjadi seperti itu? Ya, selalu. Seorang artis, yang mendalami meditasi, kemudian tetap ingin bertahan dengan kemewahannya dan tidak berubah menjadi sederhana – tidak akan pernah meraih Ananda. Seseorang yang masih terobsesi dengan aksesori bermerek, kemudian memaksa diri untuk berubah tapi tidak pernah berhenti memikirkan hal-hal tersebut – tidak akan meraih ananda. Seseorang yang masih memikirkan kenyamanan bagi tubuh dan kenikmatan bagi indera masih berada pada lapisan jasmani sepenuhnya. Dia pun tidak akan meraih ananda. Let me put it straight, untuk meraih Ananda kau harus siap untuk hidup menjadi seorang fakir, seorang pengembara. Adalah hal lain jika Keberadaan mengangkat derajat seorang fakir dan menjadikannya seorang raja. Pengangkatan seperti itu sama sekali tidak merubah jiwa sang fakir, dia tidak terikat dengan sesuatu apapun. Melihat seorang Krishna yang begitu tampan dan necis, kita boleh bertanya apa bedanya dia dengan seorang “selebriti”? Beda. Apakah para “selebriti” kita mampu merubah Kurukshetra menjadi Dharmashetra?

Sang Istri: Dalam topik artikel tersebut juga disampaikan…….. Apa maksud Kurukshetra dan Dharmakshetra? Kurukshetra adalah hidupmu dan hidupku – carut-marutnya kehidupan. Keliaran dan kebiadaban, kebuasan, dan segala sesuatu yang merendahkan derajat manusia. Ketika seseorang lebih mempercayai penampilannya – potongan rambutnya, bajunya, kendaraannya – dia berada di Kurukshetra. Don’t ask me what is Dharmakshetra. Sadguru tidak rela untuk menjelaskan this secret of trade kepada mereka yang tidak layak, belum siap. Sadguru pengikut Krishna, Yesus dan Muhammad – segenggam mutiara yang dimiliki Beliau akan diberikan kepada the selected few. Kawanan babi yang bodoh tak pernah menghargai mutiara.

Sang Suami: Sadguru melanjutkan……… Sebegitu keras tegurannya? No, not harsh……… kasihan. Pikir babi, mutiara itu makanan. Dia menelannya, lalu dia kecekik. Lalu dia malah menyerang kembali seorang Sadguru. Sudah cukup babi-babi yang dihadapi Beliau. Sekarang, Beliau akan membiarkan babi tetap menjadi babi. Itulah kodratnya. Seorang Sadguru tidak bisa merubah mereka jadi manusia. Ya, kalau ada manusia yang bersikap seperti babi – Sadguru akan tetap berusaha untuk menyadarkan manusia, “Hei, kamu bukan babi, kamu manusia!” Jika dia tersadarkan, Beliau akan merasa diberkati, dan dengan senang hati akan dibuka genggaman Beliau. “Silakan mengambil sendiri berapa mutiara yang dapat kau ambil. Ingat, Keberadaan terus menerus mengisi genggamanku. Seberapapun yang kau ambil, jumlah mutiara digenggamanku tetap sama. I tell you all this because i consider you as my friend.” “Saya harus menjelaskan semua ini sehingga kau tahu persis bahwa permen yang kadang-kadang kuberikan sama sekali tidak berarti. Berharaplah untuk mendapatkan mutiara. Let me share with you another secret, sampai sekarang jumlah butir-butir mutiara ini masih utuh. Tidak ada satu orangpun yang berusaha untuk mengambilnya. Berusahalah, I’m here to give, to share…..”

Sang Istri: Suamiku, aku sedang memperhatikan esensi spiritualitas. Dalam buku “The Gita Of Management, Panduan Bagi Eksekutif Muda Berwawasan Modern” disampaikan…….. Aatma ada di dalam Paramaatma. Tanpa Paramaatma, tidak ada aatma, “aku” berda dalam “Sang Aku”, tanpa “Sang Aku”, “aku” tidak dapat eksis. Inilah esensi spiritualitas. Inilah intisari filsafah dan ajaran-ajaran yang berkembang di Timur. Kita adalah bagian yang tak terpisahkan dari Semesta. Merugikan orang lain berarti merugikan Semesta dan merugikan diri sendiri, karena kita tidak terpisah dari Semesta. Silakan mencelakakan orang lain, tapi jangan lupa konsekuensinya. Bersiap-siaplah untuk menanggung akibatnya. Hari ini, besok, atau lusa, kau pasti calaka pula. Apa yang kau berikan kepada Semesta, itu pula yang kau peroleh dari-Nya……….

Sang Suami: Benar istriku, seorang Sadguru nampak sering mengulang-ulang pelajaran tentang spiritualitas dan dalam buku “The Gita Of Management, Panduan Bagi Eksekutif Muda Berwawasan Modern” disampaikan penjelasan dari tindakan tersebut…….. Apa boleh buat? Bukan kemauanku untuk mengulangi pelajaran yang sama setiap hari…. Aku terpaksa mengulanginya, karena hingga saat ini pun kalian tidak memahami pelajaran pertama. Bagaimana beranjak ke pelajaran berikutnya? Kita memang bolot. Kita tidak memahami maksud Guru, maka terpaksa setiap hari ia mengulangi pelajaran yang sama. Pengulangan itu bukanlah untuk dia, tapi untuk kita. Dalam ayat-ayat Bhagavad Gita, Krishna pun mengulangi beberapa hal yang telah dijelaskannya dalam percakapan sebelumnya. Dengan cara itulah, seorang master melakukan pemboran dalam otak kita. Dengan cara itulah, ia menciptakan ruang kosong supaya dapat menampung sesuatu yang baru.ia membantu kita untuk mengosongkan otak, untuk mempersiapkan diri bagi sesuatu yang berguna, bagi Keberadaan, bagi Alam, bagi Tuhan, bagi pencerahan, bagi kesadaran, bagi pemahaman yang betul , bagi pengetahuan yang berguna………..

Sang Istri: Buku  “The Gita Of Management, Panduan Bagi Eksekutif Muda Berwawasan Modern” juga menyampaikan penjelasan tentang Dharmakshetra……… Krishna hanya mengenal satu “kshetra”, dan itulah “Dharmakshetra” – Medan Dharma, Kebajikan, Keadilan, dan Kebahagiaan Sejati! Krishna mengajak kita untuk bermain dengannya di lapangannya. Dan, ia menjemput kita. Melihat kilauan wajahnya, saat itu kita tertarik. Atau, barangkali setelah jenuh bermain di Kurukshetra, kita menerima ajakannya. Kemudian, selama beberapa lama kita pun bermain bersamanya di Medan Dharma. Tapi, karena kita tidak memahami perbedaan antara “kuru” dan “dharma”, antara “kebaikan atau kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan”, dan “kebaikan atau kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, kebaikan umat manusia”, maka kita balik lagi ke Kurukshetra……….

Sang Suami: Istriku, kita perlu memahami esensi dharma. Dalam buku “Surat Cinta Bagi Anak Bangsa” disampaikan pesan Bhisma Kakek Agung Pandawa dan Korawa kepada Yudistira……… “Segala sesuatu yang menciptakan ketakserasian, perpecahan dan konflik, itulah Adharma”. Bhishma terlebih dahulu menjelaskan apa yang “bukan dharma”, Disharmony, Disunity and Conflict. Ketiganya inilah sifat adharma. Ada apa siapa pun yang menciderai persatuan dan menyebabkan konflik, ketegangan yang berpotensi memecahbelah bangsa adalah adharma. Ia tidak mengetahui arti dharma. Dan, segala apa yang dapat mengakhirinya, adalah Dharma. Dharma mengakhiri ketakserasian, perpecahan dan konflik atau ketegangan. Makanya tidak bisa diselewengkan. Tidak bisa diputarbalikkan. Dharma, Walau dapat diterjemahkan sebagai syarat, tidak bisa dikaitkan dengan akidah salah satu agama. Ia tidak tergantung pada pemahaman para alim ulama yang lebih sering menyelewengkan makna ayat-ayat suci demi kepentingan diri, kelompok, dan tidak kurang dari itu. “Dharma strengthens, develops unity and harmony”. Dharma memperkuat, mengembangkan persatuan dan keserasian demikian menurut Bhishma. Unity. Persatuan, bukan kesatuan. Unity bukanlah keseragaman. Itu uniformity. Perbedaan sekitar kita, antara kita, dapat dipertemukan, dipersatukan……….

Sang Istri: Dalam buku  “The Gita Of Management, Panduan Bagi Eksekutif Muda Berwawasan Modern”disampaikan kata kunci untuk mencapai tujuan spiritual………… Kata kunci di sini adalah “saadhanaa”, yang dalam bahasa sufi disebut “jihad” – upaya sungguh-sungguh untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Saadhanaa atau jihad bukanlah sesuatu yang kita lakukan untuk memperoleh materi. Tidak. Untuk itu, silakan berkarya, silakan bekerja, silakan membanting tulang, silakan berkeringatan. Saadhanaa atau jihad adalah upaya sungguh-sungguh untuk membebaskan diri dari ilusi yang disebabkan oleh materi. Untuk melihat “kebenaran rohani” di balik bayang-bayang jasmani……….. Semoga……….

Terima Kasih Bapak Anand Krishna

 

Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.net/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

Desember 2010

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone