December 15, 2010

Upaya Menemukan Jatidiri, Renungan Berguru Ketigapuluhtiga

Sepasang suami istri sedang membuka catatan-catatan tentang berguru. Mereka berdiskusi tentang “berguru” sebagai bahan introspeksi. Mereka mengumpulkan wisdom dari buku “Shri Sai Satcharita” karya Sai das, buku-buku dan artikel-artikel Bapak Anand Krishna sebagai bahan diskusi. Mereka berharap mosaik dari wisdom diskusi mereka dapat menjadi pemicu pribadi untuk memberdayakan diri.

Sang Istri: Suamiku, aku baru saja membuka file lama tentang wejangan bijak yang kita peroleh lewat dunia maya. Di file tersebut ditulis…….. Adakah sesuatu yg lebih penting dari chakra pertama-urusan makanan, chakra kedua-urusan seks dan chakra ketiga-urusan kenyamanan? Adakah sesuatu yang lebih berharga bagi kita dari ketiga lapisan kesadaran tersebut? Seorang teman bepergian ke luar kota, dia berbaik hati dan bertanya, “Mau nitip apa nggak?” Titipan kita apa? Makanan yang besok dibuang ke toilet? Silakan mengartikan sendiri, menilai sendiri kesadaran kita masih seperti apa! Seorang pemandu berusaha untuk memandu “kesadaran” kita… Akan tetapi kita mengharapkan dia bekerja sesuai dengan pikiran kita. Seorang guru mengajak kita untuk menemukan mukjijat di dalam diri sedangkan kita masih mengejar mukjijat-mukjijat kecil di luar diri. Sri Krishna berada di tengah medan perang, dan Arjuna, satria pilihannya mengalami pengenduran semangat. Tiba-tiba ia melihat dirinya sebagai “pelaku”, egonya muncul, dan ia pun kena serangan takut! Isa sedang mempersiapkan murid-muridnya untuk menemukan kerajaan surga di dalam diri, para murid masih bertanya tentang surga entah dimana, singgasana apa dan kedudukan mereka disana. Buddha mengerjakan “ketiadaan”, kita terjebak dalam permainan keberadaan. Muhammad menempatkan Allah diatas segalanya, kita menempatkan apa? Makan dan minum adalah terapi bagi penyakit badan yang disebut “rasa lapar”. Energi seks adalah sarana untuk meningkatkan kesadaran kita. Kenyamanan dibutuhkan demi perjalanan panjang menuju kemuliaan. Apakah kita masih ingat tujuan kita berada di ashram? Jangan-jangan tujuan kita berada di dunia pun sudah terlupakan. Kau tidak dapat merayakan hidup dengan kesadaranmu masih sepenuhnya berada pada 3 lapisan tersebut. Apa yang kau anggap perayaan hanyalah upaya untuk menutupi frustrasimu. Apa yg mesti kusampaikan telah kusampaikan, selanjutnya terserah kamu……….

Sang Suami: Berbicara mengenai tujuan kita berada di dunia, aku baru saja membaca ulang salah satu artikel dalam buku “Think In These Things, Hal Hal Yang Mesti Dipikirkan Seorang Anak Bangsa”………. Banyak cara, banyak jalan untuk menemukan pusat di dalam diri, untuk menemukan Jati Diri – namun, ada 4 (empat) Upaya Utama. Dan, setiap Upaya mewakili satu sudut, satu sisi kehidupan yang barangkali berseberangan namun dapat dipertemukan. Pertama adalah Kama atau Keinginan – Keinginan Kuat, Tunggal, untuk menemukan Jati Diri. Sementara ini, keinginan kita masih bercabang. Terdorong oleh hawa napsu, kita dapat menginginkan apa saja. Pelan-pelan, tanpa memaksa, kita harus mengarahkan Keinginan ini kepada diri sendiri. Dari sekian banyak keinginan-keinginan, kita menjadikannya satu keinginan – Keinginan untuk Menemukan Jati Diri. Kedua adalah Artha, biasa diterjemahkan sebagai Harta. Sesungguhnya Artha juga berarti “Makna” atau “Arti”. Temukan Makna Hidupmu! Adakah uang itu, harta itu yang memberi makna pada hidupmu? Bila ya, maka berhati-hatilah. Karena apa yang kau miliki saat ini tak mungkin kau miliki untuk selamanya. Jangankan uang, anggota keluarga pun pada suatu ketika akan meninggalkanmu, atau kau meninggalkan mereka. Bila kau terlalu percaya pada “kepemilikan”-mu, maka hidupmu bisa menjadi sangat tidak berarti ketika apa yang saat ini masih kau miliki, tidak lagi menjadi milikmu. Berusahalah untuk menemukan makna lain bagi hidupmu. Barangkali “Kebahagiaan”, rasa bahagia yang kau peroleh saat kau berbagi kebahagiaan. Tidak berarti kau tidak boleh mencari uang…. Silakan mencari uang, silakan menabung, silakan menjadi kaya-raya, tetapi janganlah kau mempercayai harta kekayaanmu. Kau pasti kecewa. Apa yang kau miliki hari ini, belum tentu masih kau miliki besok pagi. Ketiga adalah Dharma, Kebajikan. Dalam bahasa sufi disebut Syariat – Pedoman Perilaku. Pedoman Perilaku berdasarkan Kesadaran, itulah Dharma. Jangan berbuat baik hanya karena kau dijanjikan sebuah kapling di surga. Itu bukanlah kebajikan, itu perdagangan belaka – jual beli. Berbuatlah baik karena Kebaikan itu Baik. Berbuatlah baik karena dirimu baik. Berbuatlah baik karena kau sadar. Seseorang yang berada pada Jalur Dharma tidak perlu dipaksa, tidak perlu iming-imingi, juga tidak perlu di-intimidasi, di-teror atau dipaksa untuk berbuat baik. la akan selalu berusaha untuk berbuat baik karena sadar! Keempat adalah Moksha, Kebebasan Mutlak. Dan, Kebebasan Mutlak berarti “Kebebasan dari” sekaligus “Kebebasan untuk”. Kita bebas dari penjajahan, tetapi tidak bebas untuk berpendapat. Ada rambu-rambu yang perlu ditaati, diperhatikan dan tidak langgar. Kenapa ada rambu-rambu? Karena kita belum sadar. Kita belum cukup sadar untuk menggunakan “Kebebasan untuk” dengan penuh tanggungjawab……….

Sang Istri: Benar suamiku, dalam buku “Fengshui Awareness Rahasia Ilmu Kuno bagi  Manusia Modern” disampaikan………. Kama, Artha, Dharma dan Moksha harus bertemu… dan titik temunya itulah tujuan hidup, itulah Jati Dirimu! TitikTemu antara keempat upaya itu. Titik temu antara pasangan yang berseberangan. Janganlah kau mempertemukan Kama dengan Artha, karena kedua titik itu masih segaris. Pertemuan antara Kama dan Artha itulah yang selama ini terjadi – kita hanya berkeinginan untuk mengumpulkan uang, mencari keuntungan dan menambah kepemilikan, entah itu berupa benda-benda yang tak bergerak, atau yang bergerak. Kama harus bertemu dengan Moksha, itulah titik di seberangnya. Berkeinginanlah untukMeraih Kebebasan Mutlak. Kemudian Artha dan Dharma – carilah harta sehingga kau dapat berbuat baik, dapat berbagi dengan mereka yang berkekurangan. Berikan makna kepada hidupmu dengan berbagi kebahagiaan, keceriaan, kedamaian, kasih………

Sang Suami: Dalam buku “Membuka Pintu Hati, Surah Al-Fatihah Bagi Orang Modern” disampaikan…….. Hazrat Inayat Khan juga mengutip Hadis Nabi Muhammad yang menyatakan bahwa, “Ia yang mengenal dirinya mengenal Allah”. Demikian pula yang ditemukan dalam Injil : “Kerajaan Allah berada dalam dirimu” juga dalam ajaran-ajaran Veda : “Menyadari jati diri, itulah kebijakan sejati”…………. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang dapat menemukan jati diri untuk kita kecuali oleh kita sendiri. Dalam buku “Menemukan Jati Diri I Ching Bagi Orang Modern” disampaikan……..  Seseorang tidak bisa menemukan “jati diri” anda untuk kita. Tak seorang pun dapat melakukan hal itu untuk kita. Seorang mesias pun tidak mampu melakukannya. Setiap orang harus bekerja sendiri dan menemukan sendiri “Jati Diri”-nya…….

Sang Istri: Dalam buku “Five Steps To Awareness, 40 Kebiasaan Orang Yang Tercerahkan” disampaikan…….. Temukan Dirimu dengan upaya sungguh-sungguh. Inilah jihad sesungguhnya. Jihad untuk mempertemukan kita dengan diri sendiri. Inilah yang mendatangkan kebahagiaan, karena jihad yang ini mempertemukan kita dengan Sumber Segala Kebahagiaan di dalam diri kita. Kebahagiaan yang tidak tergantung pada hal-hal luaran; kebahagiaan yang tidak membutuhkan pemicu-pemicu dari luar; kebahagiaan yang kekal, abadi, sekekal diri kita, seabadi jiwa kita. Kebahagiaan itulah jadi diri kita. Itulah sifat dasar kita. Apa yang disebut jati diri sesungguhnya bukanlah jati diri-”mu” atau jati diri-“ku” tetapi hanya jati diri. Titik. Jati diri adalah esensi kehidupan, inti sari kehidupan; titik awal dan titik akhir kehidupan. Marilah bersungguh-sungguh dalam upaya kita untuk menemukan titik ini di dalam diri. Titik ini tidak ada di luar diri; ia berada di dalam diri kita; dalam sanubari kita. Sesungguhnya, titik itulah sanubari kita, nurani kita, kesadaran serta pencerahan diri kita, sekaligus sumber segala keilahian dan kemuliaan di dalam kita. Marilah bersungguh-sungguh, karena kita membutuhkan energi yang luar biasa untuk menemukan kembali apa yang sesungguhnya tidak pernah hilang itu. Kenapa justru dibutuhkan energi yang luar biasa untuk menemukan sesuatu yang pernah hilang? Karena “kehilangan” itu terjadi dalam pikiran kita. Kehilangan itu adalah ilusi pikiran kita. Untuk menemukan kembali apa yang “terasa” hilang itu, kita harus menaklukkan perasaan kita sendiri. Kita harus mengoreksi sendiri pikiran kita……….

Sang Suami: Dalam buku “Masnawi Buku Kesatu, Bersama Jalaludin Rumi Menggapai Langit Biru Tak Berbingkai” disampaikan……… Jika anda sudah tahu “apa yang terbaik”, anda tidak akan “mencari” lagi, karena “yang terbaik” justru tidak perlu dicari. Yang terbaik justru ada di dalam diri anda. Yang dibutuhkan bukanlah “pencarian”,tetapi “penggalian”. Akhirilah pencarian anda. Mulailah menggali dalam diri anda sendiri. Dan untuk penggalian, anda tidak butuh terlalu banyak pengetahuan. Sedikit saja sudah cukup. Dan para “penggali” inilah yang bisa menjadi sobat seorang nabi. Para “pencari” tidak bisa menjadi sobat para nabi. Mereka terlalu sibuk mencari. Berada begitu dekat dengan seorang nabi, mereka masih menoleh ke kanan, menoleh ke kiri. Mereka tidak pernah menoleh kedalam diri. Pada hal, jika mereka menoleh kedalam diri satu kali saja, mereka akan menemukan bahwa yang ada didalam dirinya, ada juga didalam diri nabi. Seorang nabi sudah berhasil mengangkat jati dirinya kepermukaan. Sementara, dia masih berupaya untuk itu. Dan, dia akan berhenti mencari. Dia tahu persis bahwa tidak ada yan perlu dicari. Dia harus menggali. Dan untuk itu, siapa lagi yang dapat membantu dirinya, kecuali seorang penggali yang sudah ahli………

Sang Istri: Dalam buku “Masnawi Buku Kelima, Bersama Jalaluddin Rumi Menemukan Kebenaran Sejati” disampaikan………. Spiritualitas adalah sebuah “pengalaman”. Ya, pengalaman pribadi. Dan setiap pengalaman sungguh unik. Anda menggali, dia menggali, saya menggali. Proses penggaliannya mungkin sama. Tetapi , berapa lama kita menggali ditentukan oleh kondisi “tanah-diri” masing-masing. Ada yang baru menggali 6 meter dan sudah menemukan sumber air. Ada yang harus menggali sampai sumber air. Ada yang harus menggali sampai belasan bahkan puluhan meter dan belum menemukan air. But don’t worry, setiap orang akan menemukannya. Ada mata air di bawah setiap bidang tanah, asal kita rajin menggali. “Dan, bila kehendak Tuhan, Insya Allah, air pun akan muncul ke permukaan…” Rumi sedang memberikan technical assistance kepada para penggali. Proses penggalian harus berjalan terus, sampai menemukan air. Pada saat yang sama, jangan angkuh. Jangan bersikap tidak seperti Firaun. Dia juga menggali, tetapi dia tidak melihat Tangan Tuhan di balik keberhasilannya. Dia menjadi angkuh. Kemudian, keangkuhan itu pula yang menjatuhkan dirinya. Musa juga menggali. Dan dia melihat Tangan Tuhan di balik upaya-upayanya. Siapa yang “memberi” kekuatan, sehingga dia bisa menggali? Siapa pula yang “menyimpan” air bawah tanah, sehingga dia bisa menemukannya?……….. Semoga kita semakin rajin menggali ke dalam diri………

Terima Kasih Bapak Anand Krishna.

Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.net/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

Desember 2010

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone