January 14, 2011

I Miss U, I Love U, Renungan Ke-50 Tentang Berguru

Sepasang suami istri sedang membuka catatan-catatan tentang berguru. Mereka berdiskusi tentang “berguru” sebagai bahan introspeksi. Mereka paham bahwa pengetahuan tak berharga bila tidak dilakoni. Buku “Shri Sai Satcharita” karya Sai das dan buku-buku serta beberapa artikel yang ditulis Bapak Anand Krishna mereka jadikan sebagai referensi. Mereka mengutip pandangan dalam buku agar tidak menghilangkan esensi.

Sang Istri: Suamiku, aku baru saja membaca Syair Shri Chaitanya yang disampaikan dalam buku “The Ultimate Learning Pembelajaran Untuk Berkesadaran” tentang kerinduan terhadap Gusti………. Wahai Hyang Maha Tinggi, Sang Pencipta dan Pemelihara Semesta, Hanyalah Engkau yang kurindukan! Bukan kemewahan, pun bukan kekayaan, Anak, siswa, murid, pujian dan kedudukan. Tak satu pun yang kuhendaki. Aku tak butuh pengakuan sebagai. Seniman, penyair, atau penulis. Adalah kesadaran akan KasihMu yang. Tulus nan tanpa pamrih. Hanyalah itu yang kuinginkan dalam Setiap masa kehidupanku……

Sang Suami: Istriku, aku ingat bahwa di dalam buku “The Ultimate Learning Pembelajaran Untuk Berkesadaran” tersebut disampaikan……… Pertemuan adalah perayaan. Namun, kerinduan adalah kekuatan untuk merayakan. Rasa rindu adalah pendorong jiwa dan penyemangat batin. Adakah kerinduan di dalam diri kita untuk bertemu dengan Gusti Pangeran? Apa dan siapa yang kita rindukan selama ini? Jika kita mash merindukan istana, dan bukan pemilik istana, maka kita tak akan pernah bertemu dengan Sang Pangeran, dengan Gusti. Berada di dalam istanaNya tidak berarti sudah bertemu dengannya. Tanpa niat kuat untuk bertemu denganNya, istana semesta ini bisa menjadi jebakan. Itulah yang telah terjadi selama ini. The Ultimate Learning Pembelajaran Untuk Berkesadaran……….

Sang Istri: Dalam buku “Kidung Agung Melagukan Cinta Bersama Raja Salomo” disampaikan……. Rasa rindu lahir “karena” cinta, tetapi “dari” rahim perpisahan. Bila cinta adalah ayah penebar benih, perpisahan adalah ibu yang mengandungnya. Rasa rindu adalah anak yang mengukuhkan cinta. Rasa rindu tidak pernah lahir karena cinta saja, atau karena perpisahan saja. Ada cinta, ada perpisahan, maka lahirlah rasa rindu. Prasyarat adanya cinta dan perpisahan mesti dipenuhi bila kita ingin menyaksikan kelahiran rasa rindu, bila kita ingin mengukuhkan cinta. Ini tidak selalu mudah untuk dipenuhi karena “ada”-nya cinta dan “ada”-nya perpisahan menjadi sebab bagi “pertemuan baru”; pertemuan gaib. Bila kita tidak berhati-hati, pertemuan gaib ini bisa berlangsung untuk selamanya tanpa melahirkan rasa rindu. Kemudian, kita terperangkap dalam lapisan pikiran yang sangat halus, di mana kita dapat bercumbuan dengan sosok kekasih ciptaan pikiran kita sendiri. Rasa rindu ibarat shock-therapy untuk mengobati ketidaksadaran manusia……..

Sang Suami: Kerinduan anda terhadap Tuhan membuktikan bahwa kita pernah “tinggal” di dalam-Nya. Berpisah dari Dia, kita menderita. Kita harus jujur benarkah kita merindukan Tuhan? Ada yang baru percaya. Dan dia percaya pula bahwa “kerinduan terhadap Tuhan” akan mempertemukan dia dengan Tuhan. Lalu dia berpura-pura merindukan Tuhan. Tidak, itu tidak akan membantu. Merindukan Tuhan berarti kita tidak mengharapkan “apa pun” dari Dia. Merindukan Tuhan berarti kita hanya mendambakan “Dia”. Doa kita bukan untuk meminta ini dan meminta itu, tetapi untuk bersatu dengan Dia. Keinginan untuk tampil sebagai pemenang, obsesi untuk mengalahkan orang lain, semua itu membuktikan bahwa kita masih “memiliki banyak waktu”. Waktu kita belum sepenuhnya “tersita” untuk merindukan Dia. Kita belum merindukan Tuhan. Banyak kelompok “perindu” di India bertemu seminggu sekali. Kemudian mereka menangis bersama. Tetapi ya itu, hanya seminggu sekali saja. Esoknya, semua normal kembali. Kerinduan mereka memang sudah terjadwalkan 1 x seminggu……… Demikian disampaikan dalam buku “Masnawi Buku Keempat, Bersama Jalaluddin Rumi Mabuk Kasih Allah”.

Sang Istri: Kembali ke buku “The Ultimate Learning Pembelajaran Untuk Berkesadaran”. Dalam buku tersebut disampaikan……. Ketika seorang guru atau murshid mengatakan kepada kita bahwa ia merindukan kita, atau kangen pada kita, “I miss you” jelas bukanlah kangen-kangenan mesra-duniawi yang dimaksudnya. Ia merindukan “peningkatan kesadaran diri” kita. Karena, ia mengetahui persis potensi diri kita, potensi diri setiap manusia. Ya, potensi diri setiap manusia. Dan, potensi itu sama, tanpa kecuali. Setiap manusia, bahkan setiap makhluk hidup memiliki potensi yang sama untuk mencapai kesadaran tertinggi sesuai dengan wahana badan, pikiran, dan perasaan yang dimilikinya. Seorang anak manusia memiliki potensi untuk menjadi manusia sempurna, sebagaimana seekor anak anjing memiliki potensi untuk menjadi seekor anjing yang sempurna………

Sang Suami: Dalam buku “The Ultimate Learning Pembelajaran Untuk Berkesadaran” juga disampaikan uraian lanjutan dari potensi kesempurnaan dalam diri manusia………. Bila kita tidak meraih kesempurnaan dalam hidup, maka letak kesalahannya adalah pada diri kita sendiri. Kita tidak merindukan kesempurnaan. Kita puas dengan kondisi lumayan asal aman. Kita sudah terbiasa mencari rasa aman; itulah yang kita kejar selama ini. Kita tidak berani mengambil resiko. Kita tidak berani terbang tinggi, karena takut jatuh. Kita tidak berani menyelam lebih dalam, karena takut tenggelam. Inilah kelemahan kita. Dan, hal ini pula yang membuat hidup kita sengsara. Hidup kita adalah kendaraan atau jembatan yang dapat mengantar kita ke pantai seberang. Kita takut menggunakan kendaraan itu. Kita ragu melewati jembatan kehidupan. Mengapa? Karena, kita tidak tahu ada apa di pantai seberang. “Jangan-jangan di sana lebih sengsara. Sudah ah, di sini saja…….. Kita masih mengejar kemewahan, kekayaan, pujian, dan kedudukan. Kita masih membutuhkan anak, siswa, murid, penggemar, dan sebagainya. Kita belum cukup percaya diri. Tanpa kerumunan massa dan jumlah orang yang menjadi bagian dari kerumunan itu, kita masih menganggap diri kita kurang, lemah, dan tak berdaya. Kita masih belum siap untuk menerima jiwa, menerima energi, menerima spirit. Kita masih menganggap lumpur materi sebagai satu-satunya kebenaran. Tidak berarti ketika kita menerima energi, materi mesti ditinggalkan. Tidak sama sekali. Menerima energi berarti menerima materi sebagai ungkapan terendah dari energi. Materi adalah manifestasi dari energi yang sama. Tapi materi bukanlah satu-satunya ungkapan energi………

Sang Istri: Yang Mulia Hemadpant penulis buku “Shri Sai satcharita” menjelaskan ciri-ciri seorang panembah yang selalu berpikir tentang Gusti….. Yang selalu merindukan Gusti……… Kau tidak perlu ke mana-mana untuk mencari-Ku. Dibalik nama dan rupamu, serta nama dan rupa setiap makhluk, adalah Kesadaran Murni yang merupakan jati dirimu. Itulah Aku, Kesadaran Murni. Sadari hal ini… Rasakan kehadiran-Ku di dalam dirimu, dan di dalam diri setiap makhluk. Jika kaulakoni kesadaran ini dari hari ke hari, maka kau akan menyadari pula Kemahahadiran-Ku, dan menyatu dengan-Ku………. Ia yang mencintai-Ku, melihat-Ku selalu; baginya dunia tidak bermakna tanpa-Ku; Kesadarannya terpusatkan kepada-Ku; Berzikir, bercerita pun tentang diri-Ku. Sungguh Aku berhutang diri kepada dia, yang telah berserah diri sepenuhnya. Akan Kulunasi hutang-hutangnya semua, dengan menunjukkan jati diri sebenarnya. Sungguh tergantung pada mereka hidup-Ku, yang selalu memikirkan dan merindukan Aku; yang mempersembahkan setiap suap kepada-Ku, sebelum dimakannya sendiri sebagai berkah-Ku. Ia yang mendekatiKu dengan cara itu, dengan sangat mudah menyatu dengan-Ku. Persis seperti sungai-sungai dari segala penjuru, bertemu dengan laut, dan menjadi satu. Akhirilah ke’aku’anmu, berserahlah kepada-Ku, Aku yang bersemayam di dalam dirimu………

Sang Suami: Dalam buku “Sabda Pencerahan,  Ulasan Khotbah Yesus Di Atas Bukit Bagi Orang Modern” disampaikan……… Berbahagialah orang yang berduka-cita karena mereka akan dihibur……. Untuk kita renungkan sejenak: selama ini kita berduka-cita untuk apa? Kita berduka-cita, apabila kita tidak berhasil dalam usaha kita, apabila kita kehilangan pekerjaan, apabila pangkat kita tidak naik-naik. Kita berduka-cita, apabila kita kehilangan seseorang. Pernahkah kita berduka-cita karena kita merindukan Tuhan? Pernahkah kita berduka-cita, karena hari demi hari, tahun demi tahun terlewatkan, tanpa meningkatnya kesadaran akan kehadiran-Nya di setiap tempat, pada setiap saat? Yesus mengatakan sesuatu yang belum pernah dikatakan oleh para Nabi, para utusan Allah sebelumnya. Berduka-citalah karena hidup kita terlewatkan begitu saja, tanpa kesadaran, tanpa pencerahan. Apabila keadaan kita demikian, la  akan menghibur kita………

Sang Istri: Suamiku, aku ingat pertemuan antara Uddhava, sahabat Sri Krishna yang telah merasa menjadi seorang “gyaani” dengan para Gopi yang selalu rindu pada Sri Krishna, pada saat Uddhava diminta Sri Krishna menemui para Gopi di Brindavan. Dalam buku “Narada Bhakti Sutra, Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas” disampaikan………. Udhava, salah seorang sahabat Krishna, menganggap diri seorang Gyaani, seseorang yang sudah berkesadaran. Berpengetahuan tinggi, sejati dan berpengalaman pribadi. Udhava sudah bisa melihat Kebenaran di balik wujud Krishna. Dia tidak terikat dengan wujud dan sifat, rupa dan nama. Yang penting adalah zat ilahi. Melihat para Gopi di Brindavan menangisi Krishna, karena rindu terpisah dari wujud Sang Avatar, dia merasa kasihan. Udhava menegur mereka. “Sadarkah kalian bahwa Krishna adalah Avatar, Penjelmaan Ilahi? Lalu apa yang kalian tangisi? Wujud dia dan wujud setiap makhluk. Berusahalah untuk melihat Kebenaran Sejati itu, Kebenaran yang ada di mana-mana. Di sini, di sana…….” “Kalian tidak bisa melihat Kebenaran di balik wujud? Tidak bisa merasakan Kebenaran Yang Satu itu? Gopi menjawab, “Udhava, kami sudah tidak dapat berpikir lagi. Tidak dapat merasakan sesuatu lagi. Yang terpikir dan terasa hanyalah Krishna, Krishna, Krishna….” Udhava baru menyadari kesalahannya. Dia salah menilai para Gopi. Untuk mencapai kesadaran kasih, memang segala sesuatu di luar kasih harus “dilepaskan”. Dan Udhava masih berada pada tingkat “pelepasan” itu. Sebaliknya, para Gopi telah mencapai kesadaran kasih. Sudah tidak perlu melepaskan apa-apa lagi. Karena memang tidak ada yang bisa dilepaskan. Tidak ada yang bisa melepaskan. Bagi para Gopi, yang ada hanyalah kasih, kasih dan kasih……….. I love U all….. I miss U all…….

Terima Kasih Bapak Anand Krishna

Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.net/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

Januari 2011

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone