January 4, 2011

Melepaskan Gundu-Gundu Yang Telah Tergenggam Erat, Renungan Ke-45 Tentang Berguru

Sepasang suami istri sedang membuka catatan-catatan tentang berguru. Mereka berdiskusi tentang nasehat Guru tentang keterikatan sebagai bahan introspeksi. Mereka menggunakan buku “Shri Sai Satcharita” karya Sai das dan buku-buku serta beberapa artikel Bapak Anand Krishna sebagai referensi. Mereka ingin membombardir diri dengan wisdom-wisdom dari buku-buku yang mereka gali. Membuka hati dengan repetitif-intensif untuk meningkatkan kesadaran diri. Wisdom yang repetitif-intensif dipakai sebagai pupuk bagi benih kasih di dalam diri.

Sang Istri: Suamiku, kita baru saja mengulangi membaca artikel dalam kolom Secangkir Kopi Kesadaran dari The Torchbearers Newsletter 6/2007. Dalam artikel tersebut disampaikan……. Apakah yang menyebabkan tiada seorang pun yang bisa memperoleh mutiara yang ditawarkan seorang Sadguru? Seorang Sadguru telah mengatakan berulang kali bahwa gundu-gundu di tangan kita harus dilepaskan. Harus dibuang. Gundu-gundu itu tidak berharga sama sekali. Bagaimana Sadguru dapat memberikan sesuatu, bagaimana kita dapat menerimanya jika genggaman kita masih penuh? Walapun Sadguru sudah sering memperingatkan, namun kelihatannya kita semuanya seperti amnesia. Ingat selama dua hari, namun setelah itu lupa. Inilah penyakitnya. Hal ini pun telah dijelaskan oleh Sadguru berulang kali. Adalah pergaulan yang membuat kita lupa. Pergaulan harus diperbaiki, jika kita tidak secara 100% memutuskan hubungan dengan mereka-mereka yang tidak menunjang perkembangan spiritual kita, maka upaya kita tidak lebih dari sekedar menggali lubang-tutup lubang……..

Sang Suami: Benar istriku, untuk itu seorang Sadguru sering memberi tugas untuk menunjang peningkatan spiritual……….. Satu hal yang perlu diingat adalah: tugas apa pun yang diberikan oleh Sadguru selalu terkait dengan perkembangan spiritual. Guru tidak mengurusi hal lain. Seandainya Guru memberi tugas untuk berbisnis, untuk menjual buku misalnya, tentu yang beliau maksud adalah menjual buku yang dapat mencerahkan batin kita. Guru tidak akan menganjurkan seseorang untuk menjual novel chicklit…misalnya. Ironisnya, kadang mereka yang Beliau beri tugas seperti itu tidak dapat membedakan antara spiritualizing commerce dan commercializing spirituality. Dalam kalimat “menjual buku spiritual” – bagi Guru “spiritual” itu yang penting. “Menjual buku” hanyalah suatu kegiatan untuk menunjang spiritualitas kita. Dengan menyebarkan pencerahan, kita pasti ikut tercerahkan. Ketika seseorang lebih memperhatikan kegiatan “jual-menjual” –  yang terjadi adalah commercializing spirituality. Guru mengerti bahwa untuk memahami hal ini kita membutuhkan jiwa pemberani, kesediaan untuk berkorban, dan semangat untuk berkarya tanpa pamrih. Tanpa itu, memang sulit untuk membedakan apa yang dimaksud dengan spiritualizing commerce. Mereka yang berhasil to spiritualize commerce – kelak pada suatu ketika akan tahu sendiri betapa efektifnya cara itu untuk menciptakan keadaan yang menunjang spiritualitas kita di tengah keramaian dunia yang tidak waras ini………

Sang Istri: Untuk melepaskan keterikatan kita diajari untuk mengembangkan semangat altruism…… Sebenarnya Sadguru sudah mengajarkan kita untuk mengembangkan semangat altruism, namun mengapa masih banyak di antara kita yang belum paham? Sejak lima ribu tahun yang lalu Sri Krishna telah berbicara tentang hal yang sama. Ia menyampaikan hal itu kepada Arjuna di medan perang Kurukshetra. Seruan itu terdengar dari para founding fathers kita seperti Bung Karno. Hasilnya: kemerdekaan Indonesia. Walau hasil itu tidak pernah menjadi tujuan. Bung Karno dan para founding fathers lainnya hanya berkarya. Mereka memproklamasikan kemerdekaan bukan untuk kepentingan pribadi mereka. Proklamasi kemerdekaan itu atas nama bangsa dan rakyat Indonesia. Keberhasilan mereka tidak dapat dipisahkan dari semangat altruism tersebut………

Sang Suami: Dalam artikel tersebut disampaikan perlunya semangat untuk berkarya……… Pikiran yang jernih menunjang semangat tersebut. Emosi yang stabil sehingga tidak mengganggu karya tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Bung karno, dia berdiri di atas kakinya sendiri – BERDIKARI. Ketika Bung Karno mempopulerkan istilah tersebut, sesungguhnya ia mengajak seluruh bangsa untuk mengembangkan spiritualitas diri. Dia tidak akan menunggu undangan untuk berkarya atau melayani. Dia akan mencari kesempatan untuk berkarya dan melayani. Kadang dia sedang membantu kita untuk menumbuhkembangkan rasa cinta bagi Ibu Pertiwi. Kadang dia mengurusi lingkungan, flora dan fauna. Kadang dia berbicara tentang makanan, kadang dia berdoa di tepi pantai. Kau akan menemukan dia di tengah keramaian dan hiruk pikuknya dunia ini dalam keadaan tenang. Tidak berarti hidup dia tanpa gangguan dan pasang surut. Hidup dia barangkali lebih hectic daripada hidup kita. Kadang dia pun bingung bagaimana menghadapi semuanya. Namun dia tidak pernah berlama lama dalam keadaan bingung. Saat ini dia masih menitikkan air mata, saat berikutnya dia sudah mengangkat kembali tongkatnya yang sudah patah dan berjalan untuk menyapa kita……..

Sang Istri: Artikel tersebut membahas 2 hal pokok yaitu keterikatan pada hal yang tidak bermanfaat bagi pengembangan spiritual dan berkarya tanpa pamrih. Dalam buku “Mawar Mistik, Ulasan Injil Maria Magdalena” disampaikan…….. Keterikatan menimbulkan keinginan untuk memiliki dan mempertahankan sesuatu, keadaan maupun orang. Keinginan itu tidak selaras dengan alam. Alam tidak memiliki keinginan untuk mempertahankan sesuatu. Alam membiarkan terjadinya perubahan, bahkan malah memfasilitasinya, mendukungnya. Kita terikat dengan rambut lebat yang masih hitam, maka uban dan botak sudah pasti menyedihkan. Kita terikat dengan harta benda yang terkumpul selama hidup, maka kematian menjadi sulit. Sementara itu, alam tidak pernah  sedih karena pergantian musim. Alam tidak pernah menolak perubahan yang terjadi setiap saat…….

Sang Suami: Dalam buku “Bhagavad Gita Bagi Orang Modern, Menyelami Misteri Kehidupan” disampaikan……… Sanyas berarti pelepasan. Melepaskan apa? Tentu saja, melepaskan keterikatan kita. Bekerja, namun tidak terikat pada hasil akhirnya. Keterikatan kita menunjukkan betapa seriusnya kita menghadapi kehidupan ini. Padahal, hidup ini bukan sesuatu yang serius. Pelepasan juga berarti melepaskan keseriusan kita………. Kemudian dalam buku “Narada Bhakti Sutra, Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas” disampaikan…….. Bagi seorang Narada, how atau “bagaimana” lebih penting daripada what – apa. Dan technical know-how dia sungguh mudah dikuasai, pertama: Hindari pemicu hawa nafsu, amarah, dan keterikatan. Kedua: Dekati mereka yang sudah berhasil melampaui semua itu……… Begitu sederhana! Tetapi tidak begitu gampang, not that easy. Terbang bersama Narada berarti melepaskan keterikatan dengan harta dan tkhta, dengan rumah dan keluarga. Terbang bersama Narada sama seperti mengikuti Isa, harus memikul kayu salib masing-masing. Nabi Isa pernah mengajak seorang pedagang untuk terbang bersama. Sebelumnya, dia disuruh membagikan harta kekayaannya kepada fakir miskin. Si pedagang tidak berani. Tidak siap. Namanya juga pedagang. Ajakan Sang Nabi tidak sesuai dengan kalkulasi dagangnya, “Apa jaminannya bahwa aku akan masuk Surga? Sudah membagikan harta benda kepada fakir miskin, bila tidak masuk Surga juga, wah celaka tigabelas!”……………

Sang Istri: Dalam buku “Narada Bhakti Sutra, Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas” tersebut juga disampaikan………. Bagaimana membebaskan diri dari Maya – dari kesadaran ilusif, dari kesadaran rendah yang mengikat jiwa kita, membelenggu batin kita? Hindari Duhsanga – pergaulan dan lingkungan yang tidak menunjang pertumbuhan kasih di dalam diri. Dekati mereka yang sudah menemukan kebenaran di dalam diri, Satsanga. Dan engkau akan menjadi Nirmamah. Engkau akan berhasil melampaui kesadaran ilusif – ke-“aku”-anmu yang tak bersubstansi. Nir berarti “bukan, tidak, tanpa”. Mamah berarti “ke-‘aku’-an” – kesadaran ilusif, Maya. Nirlaba berarti “tanpa keuntungan” atau non-komersil. Nirmamah setingkat lebih tinggi dari Nirlaba. Yang dinafikan, ditiadakan, di negasi bukan hanya keuntungan, tetapi ke-“aku”-an dan rasa kepemilikan. Satsanga bisa menciptakan kesadaran Nirmamah, asal mereka yang Anda dekati dan “gauli” betul-betul para Satsangi – mereka yang sudah dekat dengan Kebenaran, yang sudah melampaui ke-“aku”-an. Ya, yang benar-benar Satsangi dan bukan sekadar menyandang “gelar” Satsangi, karena dengan gelar itu seseorang tidak serta-merta melampaui ke-“aku”-an.

Sang Suami: Dalam buku “The Ultimate Learning Pembelajaran Untuk Berkesadaran” disampaikan….. Selama ini aku menjadi budak ambisi dan keinginan-keinginanku, Aku telah jatuh dalam lumpur hawa nafsu pancaindra. Mengapa? Mengapa selama ini kita menjadi budak ambisi dan keinginan-keinginan kita sendiri. Karena kita terpesona oleh dunia benda, oleh bayangan Hyang Mahamenawan. Memang, bayangan-Nya saja sudah penuh pesona. Tapi alangkah tidak beruntungnya kita jika kita berhenti pada bayangan. Betapa meruginya kita jika kita tidak menatap Ia Hyang Terbayang lewat dunia benda ini. Ambisi dan keinginan kita sungguh tidak berarti, karena semuanya terkait dengan bayang-bayang. Kita mengejar bayangan keluarga, kekuasaan, kekayaan, kedudukan, ketenaran, dan sebagainya. Keinginan kita sungguh sangat miskin. Ambisi kita adalah ambisi para pengemis. Hyang Mahamenawan adalah raja segala raja. Ia adalah Hyang Terdekat, kerabat yang tak pernah berpisah, sementara kita masih menempatkan keluarga sejajar dengan-Nya. Sungguh sangat tidak masuk akal. Silakan melayani keluarga. Silakan mencintai kawan dan kerabat. Tapi jangan mengharapkan sesuatu dari mereka semua, karena dinding kekeluargaan pun bisa retak. Persahabatan dapat berakhir. Kemudian, kau akan kecewa sendiri. Kekuasaan apa, kekayaan apa, kedudukan apa, dan ketenaran apa pula yang menjadi ambisimu………. Jika kau menyadari hubunganmu dengan Ia Hyang Mahakuasa, dan Mahatenar adanya, saat itu pula derajadmu terangkat dengan sendirinya dari seorang fakir miskin, hina, dan dina menjadi seorang putra raja, seorang raja ! Ya, akhirilah perbudakanmu, karena hanyalah engkau sendiri yang dapat mengakhirinya. Tak ada orang lain yang dapat membantumu karena kau tidak memperbudak pada orang lain. Kau memperbudak pada hawa nafsumu sendiri, pada pancaindramu sendiri. Tak seorang pun dapat membebaskan dirimu dari belenggu keterikatan dan kebodohan. Karena belenggu-belenggu itu adalah ciptaanmu sendiri. Kau telah menciptakan keterikatan bagi diri sendiri dan kau pula yang mesti mengakhirinya……….

Sang Istri: Dalam buku “The Ultimate Learning Pembelajaran Untuk Berkesadaran” tersebut juga disampaikan bahwa…….. “Aku telah jatuh dalam lumpur hawa nafsu pancaindra”. Inilah kesadaran awal. Tanpa adanya kesadaran awal ini, sungguh tidak ada harapan bagi kita. Dan, kesadaran ini muncul ketika kita mulai jenuh, ketika kita mulai susah bernapas. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa menjadi jenuh? Bagaimana pula susah bernapas? Bukankah selama ini kita sudah terbiasa hidup dalam lumpur dan bernapas dalam lumpur? Ya, selama ini kita memang sudah terbiasa hidup dan bernapas dalam lumpur. Lumpur ini adalah lumpur pancaindra. Kita sibuk melayani segala kemampuan pancaindra. Sekarang, angkatlah kepalamu sedikit saja. Lihatlah ke atas, ke kanan, ke kiri. Ada dunia yang indah di balik kuala lumpur tempat kau tinggal. Kebebasanmu di dalam kuala lumpur ini adalah kebebasan yang semu………

Terima Kasih Bapak Anand Krishna.

 

Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.net/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

Januari 2011

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone