January 10, 2011

Meniti Ke Dalam Diri, Renungan Ke-48 Tentang Berguru

Sepasang suami istri sedang membuka catatan-catatan yang berhubungan dengan meniti ke dalam diri. Mereka menggunakan buku “Shri Sai Satcharita” karya Sai, buku-buku dan artikel Bapak Anand Krishna sebagai referensi. Mereka membombardir diri dengan wisdom-wisdom dari referensi yang mereka gali. Berusaha membuka hati dengan pemahaman secara repetitif intensif untuk meningkatkan kesadaran diri. Dari pemahaman yang mereka dapatkan, mereka berusaha untuk mulai meniti ke dalam diri.

Sang istri: Dalam buku “Shri Sai Satcharita” disampaikan…… Seorang Sadguru mampu memicu kesadaran seorang murid…” Pertanyaannya: Bagaimana dengan mereka yang sudah berguru selama 5, 10 atau 15 tahun, tapi tak terpicu juga untuk meniti jalan ke dalam diri? Jawabannya, karena mereka baru berkunjung ke tempat guru. Mereka belum berguru, belum menjadi murid, belum berserah diri! Dengan mengaku diri sebagai murid, kita tidak menjadi murid. Mereka yang tidak terpicu untuk meniti jalan ke dalam diri hanyalah mengaku sebagai murid……..

Sang Suami: Meniti jalan ke dalam diri adalah laku yang sangat penting bagi kehidupan kita……. Istriku aku ingat sebuah artikel tentang “Finding Yourself” yang diterjemahkan secara bebas sebagai Mulat Sarira, Introspeksi Diri tulisan Bapak Anand Krishna…….. Mulat sarira bukan sekedar konsep, dogma, atau doktrin agama tertentu, tapi sebuah ajakan bagi seluruh umat manusia, terlepas dari perbedaan latar belakang agama, status sosial, ras, ideologi politik dan ekonomi untuk “kembali ke akarnya dan menemukan dirimu.” Tak seperti ajakan dari setiap agama, ini bukan sekedar panggilan untuk kembali kepada Tuhan. Ini bukan ajakan untuk menghadap ke Kashi, Ka’bah, atau Yerusalem – tapi untuk “meniti ke dalam diri” dan menemukan “diri”mu. Sesungguhnya, ini bukan panggilan biasa. Karena ketika Anda berpaling kepada Tuhan, yang kata orang ialah sumber semua cinta dan segala rasa sayang, Anda bisa jadi akan merasakan penyelarasan. Tapi saat berpaling ke dalam untuk menemukan “diri”mu sendiri, Anda tak akan menemukan cinta ataupun rasa sayang. Anda justru akan menemukan kebencian dan egoisme. Ketika Anda berdoa kepada Tuhan yang Maha Mendengar, Anda mengharapkan Ia, apapun atau siapapun Dia, untuk mendengar tangisan Anda dan memberi perhatian pada kemalanganmu. Tapi saat Anda berpaling ke dalam diri, Anda menatap “diri”mu yang sejati dalam keadaan merana itu. Tak ada penyelarasan; faktanya ialah Anda menemukan diri yang telanjang bulat. Anda mulai melihat diri sendiri tanpa selubung apapun, tanpa pakaian selembarpun. Anda melihat diri Anda yang masih “mentah”………

Sang Istri: Benar suamiku, dalam artikel yang sangat bermakna tersebut disampaikan…….. Ketika Anda melakukannya, jangan mengambil kesimpulan apapun. Jangan meniti ke dalam diri dengan segempok pengkondisian diri yang terdahulu, seperti “Tuhan berada di dalam dirimu,” atau “Kamu pada hakikatnya ialah Tuhan.” Menitilah ke dalam diri dengan pikiran dan hati terbuka. Menitilah ke dalam diri tanpa pamrih, dan kemudian Anda akan menemukan “diri”mu, “jati diri”mu. Proses meniti ke dalam diri ini ialah meditasi. Buddha menyebutnya vipasana. Umat Budhis menambahkan seperangkat latihan. Buddha sendiri tak pernah memberikan gambaran, atau lebih tepatnya memberikan resep, berupa latihan tertentu. Ia ialah panggilan yang generik, “Meniti ke dalam diri,” mulat sarira. Tak ada latihan, tak ada inisiasi – cukup membawa “niat tunggal”mu untuk meniti ke dalam diri. Cukup membawa “hasrat membara”mu untuk meniti ke dalam diri. Cukup membawa “kemauan”mu untuk menemukan “diri”mu dalam keadaan telanjang bulat. Ada orang yang menghubungkan vipasana atau meditasi dengan kesehatan, penyembuhan, keseimbangan emosional dan seterusnya. Itu tak akan menjadi mulat sarira; itu tak akan menjadi vipasana; itu tak akan menjadi Meniti ke Dalam diri. Anda tak meniti ke dalam diri untuk sembuh; Anda tak meniti ke dalam diri dengan ekspektasi. Anda  meniti ke dalam diri tanpa ekspektasi. Bagaimana kamu bisa meniti ke dalam diri dengan harapan untuk sembuh, jika pada awalnya Anda bahkan tak tahu apakah kamu sehat atau tidak? Anda tak membutuhkan pengobatan apapun. Anda bisa jadi hanya menghalusinasikan penyakitmu dan dan ketidakseimbangan emosimu. Jadi sekali lagi, menitilah ke dalam tanpa ekspektasi apapun. Dan berterimakasihlah, bersyukurlah, atas segala yang Anda temukan. Bisa jadi itu cinta, atau justru kebencian. Bisa jadi itu kasih sayang, atau justru egoisme. Bisa jadi itu berupa kerendahan hati atau justru arogansi. Bisa jadi itu ialah kebijaksanaan, kebajikan, atau justru ego dan iri dengki. Apapun yang Anda temukan, itulah “Anda”. Sekali saja Anda menemukan “diri”mu, langkah selanjutnya menjadi mudah…….. Suamiku, betul-betul sebuah wisdom yang sangat bermakna, lugas, benar dan bijaksana……..

Sang Suami: Dalam buku “Bersama Kahlil Gibran Menyelami ABC Kehidupan” disampaikan perlunya keberanian untuk menyelami diri sendiri…….. Untuk meniti jalan ke dalam diri memang dibutuhkan keberanian. Baru menoleh ke dalam diri, Anda akan kaget! Dalam diri Anda, masih ada kebuasan serigala, masih ada keliaran monyet, masih ada kemalasan babi, masih ada kicauan burung. Gonggongan anjing dan kwak-kweknya bebek – semuanya masih ada. Napsu birahi masih belum terkendali, yang membuat Anda sebuas serigala. Pikiran masih liar, bagaikan monyet. Malas untuk melakoni meditasi, seperti babi. Mengoceh terus, ngomongin orang terus, seperti burung. Sikut kanan, sikut kiri ditambah dengan luapan amarah, persis seperti anjing. Hidup tanpa kesadaran, hanya mengikuti massa – persis seperti bebek. Itulah Anda! Keliaran ini, kehewanian ini, kebuasan ini dianggap “kewarasan” oleh dunia, oleh massa. Kenapa? Karena dunia Anda masih buas juga, masih liar juga, masih hewani juga. Mereka yang bisa menerima kebinatangan diri Anda masih binatang juga. Sadarlah, “kewarasan” Anda yang diakui oleh masyarakat itu sangat tidak berarti. Anda harus melampaui “kewarasan” yang sakit itu! Anda harus menjadi “gila”. Di mata Tuhan, di mata Allah, “kegilaan” Gibran jauh lebih berarti daripada “kewarasan” picik yang diakui oleh masyarakat. Bekalilah diri anda dengan “kegilaan”, “keberanian” seorang Kahlil Gibran! Lampauilah “kewarasan” yang sakit dan Anda akan menemukan diri Anda! Dan begitu Anda menemukan jatidiri, begitu Anda mengenali diri sendiri, pada saat yang sama Anda juga akan menemukan Allah, menemukan Tuhan…….. Istriku aku juga jadi malu sendiri mengingat wisdom dalam buku “Bersama Kahlil Gibran Menyelami ABC Kehidupan” tersebut, jujur demikianlah yang terjadi kala kita meniti ke dalam diri………….

Sang Istri: Meniti ke dalam diri, perenungan, meditasi, menyepi ada kaitannya dengan istilah tafakur, muraqabah, uzlah. Dalam buku “Surah Surah Terakhir Al Qur’an Bagi Orang Modern” disampaikan……… Apa arti kata tafakur? Ya perenungan! Apa arti kata muraqabah? Ya meditasi! Apa arti kata uzlah? Ya menyepi! Tanpa tafakur, muraqabah, uzlah tidak akan terjadi peningkatan kesadaran dalam diri anda. Anda tidak akan pernah memperoleh perintah “Katakanlah!”, karena Anda belum memperoleh pengalaman pribadi. Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang pengusaha, Nabi Muhammad akan selalu menyempatkan diri untuk naik ke atas bukit Hira dan ber-uzlah, menyepi di dalam salah satu gua di sana. Tanpa keberanian untuk meniti sendiri jalan ke dalam diri, kesadaran Anda tidak akan meningkat. Dan sebelum terjadinya peningkatan kesadaran dalam diri, Anda tidak akan pernah menyadari ke-Esa-an-Nya. Menyadari ke-Esa-an Allah, berarti berhenti mengejar dunia. Menyadari ke-Esa-an Allah berarti menempatkan Allah sebagai Top Most Priority, prioritas utama. Tidak ada sesuatu apapun yang lebih penting dari Allah……… Suamiku, dalam ungkapan lain adalah ber-ekagrata, ber-onepointedness kepada Allah.

Sang Suami: Istriku, kita kembali kepada artikel “Finding Yourself” lagi…….. Menyelamlah dalam penemuanmu itu; jadilah otentik pada dirimu sendiri dan apa yang ingin Anda lakukan terhadapnya. Jujurlah pada dirimu jika Anda merasa puas dengan penemuanmu itu. Jika jawabannya positif – “ya” tanpa keraguan – peliharalah terus hal itu. Tapi bila jawabannya “tidak”, lantas ubahlah ini menjadi apa yang Anda anggap sebagai suatu ideal……. Jadi sebenarnya, ada dua aspek bagi mulat sarira. Pertama ialah menemukan diri, dan kedua ialah apa yang hendak Anda lakukan terhadapnya…….. Sayangnya aspek tersebut acapkali terlupakan. Kita memahami istilah tersebut, tapi kita tak melakoninya. Ini seperti memegang resep medis di rumah dari seorang dokter ahli, tapi kita tak meminum obatnya. Ini menyebabkan kondisi yang memprihatinkan dalam masyarakat kita……….

Sang Istri: Suamiku, aku ingat latihan Seni Penyelarasan Diri dalam buku “Spiritual Astrology, The Ancient Art of Self Empowerment, Bhakti Seva, Terjemahan Bebas, Re-editing , dan Catatan Oleh  Bapak Anand Krishna”. Di akhir buku tersebut disampaikan beberapa latihan afirmasi  untuk menyelaraskan elemen tanah, elemen api, elemen air dan elemen angin dalam diri. Dalam latihan rutin tersebut gambaran apa saja yang muncul dalam latihan diterima. Apabila merasakan gambaran yang kita suka kita melakukan afirmasi syukur, sedangkan apabila kita merasakan gambaran yang kita tidak suka, kita juga melakukan afirmasi syukur karena telah melihat gambaran yang tidak kita sukai dan kemudian kita dapat mengubahnya menjadi selaras dengan kebutuhan kita…… Ini adalah salah satu latihan mulat sarira….

Sang Suami: Benar istriku, dalam artikel “Finding Yourself” tersebut juga disampaikan……… Ketika saya meniti ke dalam diri, pelajaran pertama yang saya pelajari ialah kebutuhan untuk menemukan sumber dari segala sesuatu, untuk melihat hal-hal sebagaimana mereka adanya. Setelah melakukan hal itu, setelah meniti ke dalam diri, saya kembali kepada Nabi dari Arabia dan saya menemukan beliau mengucapkan kata-kata yang sama: “Seseorang yang mengenal dirinya, mengenali Tuhan.” Saya mendengar petuah para bijak dari Yunani kuno bergema, “Kenali dirimu!” Dan, saya mendengar Krishna bernyanyi kepada sahabatnya Arjuna di medan perang Kurusetra, “Diri-Mu ialah teman sekaligus musuh terbaik.”………Mulat sarira ialah ajakan untuk berhenti bersandar pada semua faktor luaran dan mulai untuk bersandar pada diri sendiri…………..

Terima Kasih Bapak Anand Krishna

Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.net/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

Januari 2011

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone