Sepasang suami istri sedang membuka catatan-catatan tentang berguru. Mereka berdiskusi tentang nasehat Guru tentang keterikatan sebagai bahan introspeksi. Mereka menggunakan buku “Shri Sai Satcharita” karya Sai das dan buku-buku serta beberapa artikel Bapak Anand Krishna sebagai referensi. Mereka membombardir diri dengan wisdom-wisdom dari buku-buku yang mereka gali. Memupuk dengan wisdom secara repetitif intensif bagi benih kesadaran dalam diri.
Sang Istri: Kita sering tidak sadar, pikiran kita begitu gaduh, karena beraneka-ragamnya tamu masuk ke dalam diri tanpa terkontrol dengan baik. Aku ingat buku “Atma Bodha Menggapai Kebenaran Sejati Kesadaran Murni dan Kebahagiaan Kekal” yang menyampaikan bahwa……… Peran mata harus dipahami dengan betul. Pemicu-pemicu di luar menggunakannya sebagai pintu untuk masuk ke dalam diri kita. Misalnya Anda “melihat” sesuatu di showcase toko. Muncul keinginan untuk memperolehnya, membelinya, maka tangan akan mencari dompet. Awal mulanya dari “penglihatan”. Kesadaran kita mengalir ke luar lewat sekian banyak indra, tetapi mata adalah indra utama, gerbang utama. Jauh lebih mudah mengalihkan kesadaran ke dalam diri, bila gerbang utama ditutup………
Sang Suami: Benar istriku, sebelum berdoa kita harus menutup pintu panca indera dulu. Dalam buku “Maranatha, Bersama Anthony de Mello Mabuk Anggur Kehadiran Tuhan” disampaikan…….. Jika seorang Yesus bicara tentang doa, yang dia maksudkan adalah “meditasi”. Dan untuk “meditasi” anda tidak membutuhkan bangunan gereja atau masjid atau pura atau vihara. Bahkan kamar pun tidak dibutuhkan. Lalu apa yang dia maksudkan dengan “masuklah ke dalam kamarmu” dan “tutuplah pintu”? Yang Yesus maksudkan adalah “kamar diri” kita. Pintu yang harus ditutup adalah “pintu panca indera” kita. Berarti seluruh perhatian, seluruh kesadaran dialihkan ke “dalam diri”. Ini baru “tempat tersembunyi”. Kamar di rumah anda bukanlah tempat tersembunyi. Kemudian, jangan menggunakan terlalu banyak kata-kata. Bahkan kalau bisa, jangan menggunakan sama sekali. Mau menyampaikan apa kepada Tuhan Yang Maha Tahu Ada-Nya? Tanpa diberitahu pun Dia sudah tahu……..
Sang Istri: Suamiku, mari kita bicara tentang pintu yang lain, pintu kebebasan dari kurungan kehidupan kita. Dalam buku “Ah, Mereguk Keindahan Tak Terkatakan Pragyaa-Paaramitaa Hridaya Sutra Bagi Orang Modern” disampaikan……… Sementara ini, kita belum pernah hidup bebas. Kita belum kenal kebebasan. Kita hidup dalam kurungan. Dan yang mengurungi kita adalah pikiran. Berlapis-lapis pikiran yang mengurungi kita. Ada tiga lapisan utama: Lapisan Pertama adalah yang ada warisi dari kelahiran sebelum ini. Obsesi-obsesi anda dari masa lalu, keinginan-keinginan yang tidak tercapai dalam masa kelahiran sebelumnya, sehingga anda masih harus lahir kembali. Lapisan Kedua adalah yang terbentuk dalam kelahiran ini. Keinginan-keinginan dan obsesi-obsesi baru. Lapisan ketiga adalah yang anda peroleh dari masyarakat. Hukum negara, dogma agama, kode etik yang berlaku dalam kelompok anda semuanya ikut membentuk lapisan yang ketiga ini. Dan lapisan-lapisan tersebut bagaikan kurungan. Anda hidup dalam kurungan yang berlapis-lapis. Anda belum pernah hidup bebas………
Sang Suami: Dalam buku “The Hanuman Factor Life Lessons from the Most Successful Spiritual CEO” disampaikan…….. Kurungan tersebut telah dianggap sebagai zone comfort kita. Ini adalah kurungan di mana kita terjebak. Dan kita telah terkurung begitu lama, sehingga kita telah terbiasa dengannya. Burung yang terkurung, awal mulanya mencoba membebaskan diri. Kemudian mereka menerima nasibnya dan menikmatinya. Burung tidak menyadari bahwa “kenyamanan rekayasa” datang dari harga kebebasan. Keadaan kita tidak jauh berbeda. Kurungan kita lebih luas. Bergerak ke sekeliling memberi rasa kebebasan yang salah. Kita seperti binatang yang berada di taman safari. Berfikir taman sebagai hutan alam………
Sang Istri: Ilustrasi sejenis dapat kita baca dalam buku “Kehidupan, Panduan Untuk Meniti Jalan Ke Dalam Diri”…….. Apakah Anda bebas atau Anda terikat? Tidak ada keadaan lain di antaranya. Burung terikat selama dia berada dalam sangkar. Tidak peduli sangkarnya terbuat dari kayu murah atau dari logam murni, sangkar tetaplah sangkar. Anda tidak dapat berpesta, Anda harus menunda semua rencana perayaan-perayaan Anda, sampai Anda bebas. Budak adalah budak, ‘perayaan’ tidak dapat menjadi nasibnya. Pembebasan dulu dan baru kemudian perayaan. Tetapi, ijinkan saya ingatkan Anda – Anda bukan budak. Pembudakan Anda adalah imajinasi Anda sendiri. Itu adalah ilusi. Carilah celah sempit yang terbuka. Melompatlah ke luar, terbanglah ke luar, karena kebebasan menunggu Anda. Anda telah terbelenggu demikian lama sehingga sekarang Anda takut bebas. Ketika Anda masih terbelenggu, Anda selalu bermimpi akan kebebasan. Sekarang begitu kebebasan berada di ambang pintu, hanya selangkah lagi, Anda justru menjadi takut. Anda takut menghadapi kebebasan. Bebaskan diri Anda dari rasa takut. Rasa takut membuat Anda lemah. Rasa takut membuat Anda menjadi begitu lemah, sehingga tidak mempunyai kekuatan lagi untuk membebaskan diri dari perbudakan……… Bebaskan diri Anda dari perbudakan yang mengecoh ini. Pahamilah, perbudakan ini adalah kreasi Anda sendiri. Itu suatu ilusi, suatu imajinasi. Keterikatan Anda, obsesi Anda – semuanya ini telah menciptakan sangkar, tempat Anda tinggal. Bebaskan Anda dari keterikatan ini. Ini bukan cinta kasih. Lepaskan diri Anda. Selama Anda terikat, Anda terikat dalam sangkar, kebebasan hanya merupakan suatu impian. Jika Anda senang dengan situasi seperti ini, jangan mengeluh lagi. Jangan mengharapkan kebebasan. Lalu, nikmatilah keterikatan Anda. Lalu, jadikan sangkar Anda dunia Anda. Jangan mimpikan dunia luar. Lalu jangan berpikir tentang kebebasan. Lalu cintailah keterikatan. Tetapi ingat, ini bertentangan dengan keadaan alami Anda. Perbudakan tidak ada hubungannya dengan sifat sejati Anda. Setelah beberapa waktu Anda akan mulai mengadu lagi. Suatu hari nanti akan mulai bermimpi tentang kebebasan lagi. Lalu, mengapa menunda kebebasan Anda sendiri? Mengapa Anda tangguhkan? Mulailah perjalanan Anda menuju sesuatu yang baru yang belum Anda ketahui. Bebaskan diri Anda, karena hanya lewat kebebasan Anda dapat mengubah hidup Anda menjadi perayaan. Sekali lagi, saya ulangi, perbudakan, penjajahan hanya merupakan imajinasi Anda. Bebaskan diri Anda. Ini bukan sesuatu yang mustahil. Tidak, jangan membiarkan kebebasan hanya menjadi sebagai suatu kemungkinan Nyatakan kebebasan Anda sekarang juga pada kesempatan ini………..
Sang Suami: Istriku, kita telah berbicara tentang pintu panca indera sebagai pintu masuk berbagai urusan dunia ke dalam diri dan kemudian kita berbicara tentang pintu keluar dari sangkar zona kenyamanan, comfort zone. Aku ingat tentang “Pintu Rumoh Aceh”, karena selama empat tahunlebih kita pernah tinggal di beberapa kota di Aceh. Sewaktu masuk pekarangan Rumah Aceh kadang tersedia sumur atau pancuran untuk membersihkan kaki dahulu. Rumah asli di Aceh berupa rumah panggung, sehingga bila bertamu ke suatu rumah di Aceh kita harus lewat tangga, dimana tangga tersebut sering licin di waktu hujan, dan setelah itu kita harus melewati pintu masuk rumah setinggai 1.5 m. Kita belajar bahwa untuk masuk daerah baru sebagai tamu, kita harus melangkah pelan-pelan – karena melangkah melewati tangga. Kemudian juga berhati-hati karena kadang-kadang anak-anak tangganya licin. Selanjutnya, kepala kita harus menunduk sewaktu masuk ke dalam rumah, bila kita masuk dengan jumawa, kepala mendongak, maka kepala terbentur hampirlah pasti….. Akan tetapi begitu diterima masuk rumah, telah tersedia “peuet ploh peuet”, 44 macam makanan yang lezat……
Sang Istri: Benar suamiku, sebuah ilustrasi bagaimana memasuki Pintu Bait Allah. Membersihkan diri, kemudian berijtihad sampai di depan pintu dan menunggu keridhaan Yang Punya Rumah membukakan pintu. Dalam buku “Masnawi Buku Kedua Bersama Jalaluddin Rumi Memasuki Pintu Gerbang Kebenaran” disampaikan………. “Darvish” berarti “dia yang sedang mencari ‘dar’ atau pintu”. Pencari pintu – itulah darvish. Pintu yang mereka cari bukanlah pintu biasa, pintu rumah anda dan rumah saya, pintu rumah petinggi negara dan konglomerat. Pintu yang mereka cari adalah Pintu Bait Allah! Dan Bait Allah yang sedang mereka cari bukanlah bangunan yang terbuat dari semen dan batu. Bait Allah yang mereka cari terbuat dari Cahaya Murni. Bait Allah yang mereka cari tidak berada di luar dini, tetapi di dalam diri! Lewat “Pintu Rasa”; lewat “Pintu Kasih” mereka memasuki Bait Allah di dalam diri. Seorang darvish menari dan menyanyi, karena telah menemukan Bait Allah di dalam dirinya………
Sang Suami: Dalam buku “Ishq Ibadat, Bila Cinta Berubah Menjadi Ibadah” disampaikan…….. Kita dapat mencapai-Nya dengan dua cara, lewat dua jalan: Pertama dengan berusaha, berupaya, berijtihad, berjihad dalam arti kata sesungguhnya, yaitu “berkarya dengan kesungguhan”. Sesungguhnya, apa yang kita peroleh sepenuhnya disebabkan oleh hukum aksi-reaksi, hukum sebab akibat yang menjadi dasar bagi segala sesuatu di dalam dunia. Belum tentu kita mencapai-Nya dengan cara ini. Paling banter kita mencapai istana-Nya. Paling-paling kita memperoleh kenikmatan surgawi – itu saja. Kedua, dengan melepaskan segala usaha, dan bersandar pada-Nya, sepenuhnya. Declare your bankruptcy………. Serahkan saja urusan kita kepada Dia. Banyak orang yang mencari apa yang mereka sebut “keseimbangan” di antara kedua cara tersebut. Mereka mencari Jalan Tengah. Pengalaman saya mengatakan bahwa tidak ada jalan tengah. Bahkan dari pintu gerbang istana-Nya sudah tidak ada jalan-jalan lagi. Yang ada hanya satu jalan masuk… Satu, tunggal. Jalan menuju-Nya hanya satu, yaitu Penyerahan Diri………..
Sang Istri: Masih tentang pintu, dalam buku “Sabda Pencerahan, Ulasan Khotbah Yesus Di Atas Bukit Bagi Orang Modern” disampaikan……… Pintu rumah Dia berada di mana-mana. Sebenarnya pintu rumah Dia selalu terbuka. Mengetuk pintu hanya formalitas, hanya karena kita harus santun, sopan. Begitu kita mulai mengetuk, pintu itu akan terdorong sedikit dengan sendirinya, karena pintu itu memang terbuka………..
Terima Kasih Bapak Anand Krishna.
Situs artikel terkait
http://www.oneearthmedia.net/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo
Januari 2011