Sepasang suami istri sedang membuka catatan-catatan tentang “berguru”. Mereka berdiskusi tentang “berguru” sebagai bahan introspeksi. Kali ini mereka membuka catatan lama, sharing dari para sahabat. Mereka mengutip sharing tersebut agar tidak kehilangan esensi.
Sang Suami: Istriku, semakin lama belajar lewat media spiritual, baik lewat buku-buku, newsletter, maupun artikel-artikel Bapak Anand Krishna, serta beberapa kali ikut audiensi langsung, membuat diri ini semakin merasa bahwa begitu banyaknya butir kehidupan yang selama ini terabaikan karena kita merasa sudah paham…….. Kita menjadi sadar bahwa sebelumnya kita tidak tahu apa-apa dan baru setelah bertemu Guru mulai terbuka pintu-pintu yang sebelumnya kita abaikan, dan masih akan banyak hal yang akan kita ketahui bila kita tidak berhenti belajar karena merasa sudah paham tentang kehidupan……… Musuh utama datang sebagai keangkuhan diri yang merasa sudah paham tentang kehidupan, padahal sumber mata air pengetahuan Guru tak ada habisnya. Merasa sudah tahu membuat kita berhenti dan menutup kembali kesempatan terbukanya pintu-pintu lanjutan yang akan nampak bila kita selalu bersama Guru. Hutan belantara kehidupan ini begitu penuh marabahaya bagi kesadaran diri dan melepaskan diri dari Sang Pemandu membuat kita menjadi tersesat kembali. Bagaimana pun kita perlu bersyukur pada kemajuan zaman yang memungkinkan kita mendengarkan panduan Sang Pemandu, walau fisik berada di tempat yang berbeda……
Sang Istri: Suamiku, bukankah kita menjadi malu sendiri saat membaca sharing seorang sahabat yang tertulis dalam Torchbearer Newletter no 6 tahun 2007 dengan judul “Mampukah Aku Bersujud di dalam Kehendak-Mu”……….. Begitu kasihnya sahabat tersebut terhadap Guru, dan tidak ada sesuatu yang kebetulan bila kita membaca ulang dengan insight yang berbeda………. Ketika tangan melakukan ini dan itu, sejatinya bukanlah aku. Ketika mulut menyuarakan ajaran-Mu, itu juga bukan aku. Ketika badan dan pikiran ini melakukan sesuatu atas nama organisasi itu pun bukanlah ‘aku’ ku. Semua terjadi bukan karena aku. Bukan Aku…Bukan Aku….” Masih jelas di ingatan bahwa dulu ketika saya beribadah kepada-Nya, maka 90% dari doa hanya berisi permintaan. Entah permohonan kehidupan yang lebih baik, bebas dari penderitaan atau kegagalan dalam kehidupan. Sampai suatu saat ada sebersit keinginan berbeda yang terpicu oleh cerita-cerita para sufi, terutama Rabiah Al Adawyah-Sang Wanita Suci. Ternyata ada cara beribadah lain selain daripada yang telah kukenal selama ini. Ibadah yang lebih manis dan indah. Sehingga hanya dengan mengingat cara peribadatannya saja, mampu membuat bibir ini tersenyum dan hormon-hormon kegembiraan memenuhi rongga dada. Namanya, CINTA! Rabiah bisa begitu larut dalam kemabukan Cinta-Nya. Ibadah ini tak perlu dipaksakan, apalagi direkayasa. Tapi begitu alami mengalir dari kedalaman jiwa kita sehingga setiap sel dari pikiran kita seolah larut dalam mabuk Cinta-Nya. Kita tidak mampu lagi membedakan mana kewajiban dan mana hak kita. Yang ada hanyalah keinginan untuk melayani, melayani dan melayani-Nya…………
Sang Suami: Benar istriku, sahabat muda tersebut melanjutkan tulisannya, by the way bukankah hampir semua sahabat kita masih muda dan kita pun diminta merasa muda……. Sahabat tersebut menulis……… Wahai Keberadaan! Anugerahi kami dengan hati seorang ‘pecinta’, sehingga hati kami mabuk kepada-Mu dan seluruh pelayanan kami pada-Mu hanyalah menjadi kesenangan bagi kami. Dalam setiap retret seringkali saya menyaksikan CINTA menyapa kita semua hingga kita tak dapat membendungnya sampai-sampai tawa dan tangis pun bingung dengan “fungsi ekspresi” dirinya. Saat CINTA menyapa, tawa dan tangis pun muncul seolah lupa waktu. Masing-masing berlomba untuk muncul di dalam diri seorang yang sedang tersentuh oleh-Nya. Seolah-olah setiap ekspresi sedang meledak karena tak sanggup mengandung-Nya. Begitu indah! Sampai-sampai hanya sebuah senyuman saja yang dapat mengungkapkan bagaimana rasa-Nya. Adalah Guru yang menjadikan kita tidak hanya sebagai “pembaca kisah dari para pecinta” saja, atau hanya sekedar “pendengar” dari keagungan ‘Pertemuan Agung’. Namun Guru yang membiarkan kita langsung mencicipi-Nya. Hanya dengan sentuhan seorang Guru, kita dapat mengalami CINTA. Entah berapa ribu kisah para pecinta yang harus kita baca untuk mengalami secercah keindahan-Nya. Tak cukup waktu hanya dengan membaca dan berhalusinasi tentang-Nya, kemudian berhenti pada rasa kagum yang dibalut iri-hati pada para pecinta dalam kisah-kisah tersebut. Namun “hanya dengan berserah diri, dan sedetik sentuhan-Nya, serta sekilas tatapan-Nya maka kita pun mengalami-Nya”……….
Sang Istri: Sahabat tersebut meneruskan sharingnya…….. Tetapi, seringkali kita pun terjebak pada satu harapan untuk selalu mabuk, dan melayang dalam alam CINTA, tetapi sering juga lupa dan menyepelekan segalanya, termasuk perintah seorang Guru. Itu pun kita abaikan, karena saya hanya ingin senang-senang dan mabuk dengan kehadiran-Nya saja, tak peduli lagi dengan anjuran-Nya. Seperti seorang kekasih yang mabuk Cinta setiap kali melihat kekasihnya, namun ketika Sang Kekasih mengajak melakukan sesuatu maka perasaan malas, ragu, dan takut segera muncul sebagai ikatan yang kokoh di kaki kita……. Mungkin hubungan dengan cara kebiasaan lama yakni ‘hubungan dagang’ masih membelenggu. Atau lebih buruk lagi, karena kita telah berdagang lalu senantiasa mengharapkan keuntungan yang lebih besar dari apa yang telah kita lakukan…….. Guru telah membersihkan dan mengubah kita, namun sering kebijakan-Nya justru kita pertanyakan. “Kenapa sih urusan spiritual kok mengeluarkan biaya? Kenapa sih banyak aturannya? Kenapa sih aku tidak terus menerus disapa dan dipuji? Kenapa sih hanya orang tertentu yang bisa dekat Guru? Dan, kalau sudah dekat, kenapa sih seorang Guru banyak permintaan? Malah ngurus-ngurus kehidupan berpolitik segala. Kenapa sih harus ikutan organisasi? Memangnya ada hubungannya dengan spiritualitas? Kenapa sih duduk di kelas harus rapi? Kan kadang-kadang enak juga bisa duduk di belakang dan sedikit ngobrol. Kenapa juga harus ikutan nyanyi saat bhajan? Padahal lagi ingin menikmati saja. Bukankah itu bisa bikin hati lebih bahagia? Kenapa, kenapa dan….kenapa?
Sang Suami: Sahabat tersebut mengakhiri sharingnya dengan permohonan maaf…….. Guru, maafkan kami karena terlalu banyak pertanyaan “kenapa”. Semua karena ego yang masih berkarat. Lihat saja ketaksadaran ini, “Aku lebih tahu apa yang terbaik bagi perkembanganku, bukan engkau, Guru. Meski engkau selama ini kuanggap sebagai ‘pembimbing dan junjunganku’. Kalau hal tersebut menyenangkan egoku, okelah aku akan ikut. Namun kalau itu merendahkan egoku, nanti dulu deh biar yang lain aja duluan.” Biarkan aku di jarak aman ini saja……. Guru, maafkanlah…… maafkanlah muridmu ini yang telah kau berikan kemewahan hingga dapat duduk dekatmu, makan bersamamu, tertawa bersamamu, memegang tanganmu, mencium kakimu. Dan sering kali semua itu dapat kami lakukan tanpa perjuangan. Tidak seperti Radha yang harus bersusah payah. Tidak seperti Ali, yang harus merelakan dirinya menjadi pengganti Muhammad, Sang Guru, di malam penculikannya. Tidak seperti para murid Osho yang harus membayar mahal dan antri sekian bulan hanya untuk bertanya. Sampai Engkau pun, Guru harus selalu berkata, “Ada yang ingin bertanya?” Tidak seperti para murid a Global Master yang hanya untuk bertanya saja harus menunggu kesempatan di antara jutaan orang, tapi kami dengan tidak sopannya kadang menyela Engkau. Maafkan kami yang tidak sadar meski kemewahan ini telah kau berikan, kami masih bertanya, “KENAPA SIH ?” hampir di tiap anjuran dan ajaranmu…….. Semoga kami sadar bahwa kenikmatan sujud di bawah kaki-Mu akan lebih agung bila kami dapat juga sujud ketika menjalankan ajaran-Mu, perintah-Mu dan keinginan-Mu. Sadarkanlah kami bahwa sujud yang paling utama itu adalah menjalankan ajaran-Mu, wahai Guru yang penuh Kasih……..
Sang Istri: Suamiku, aku sulit berkata….. mata ini dipenuhi air dan siap menetes setiap bicara……
Sang Suami: Benar istriku……. aku juga tidak bisa komentar lagi. Biarlah pembicaraan ini menjadi penyela pembicaraan kita di awal tahun 2011 dan menggeser puluhan pembicaraan yang telah kita siapkan sebelumnya……. Ini bukan pembicaraan kita……. Biarkan hati ini tetap terbuka…… biarlah mulut ini sementara tertutup……….. Salam Kasih………
Terima Kasih Bapak Anand Krishna
Situs artikel terkait
http://www.oneearthmedia.net/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo
Januari 2011