Sudah lama aku tidak menyusuri Jakarta pada dini hari, 15 tahun lalu menikmati wajah dan udara Jakarta pada dini hari adalah waktu yang paling menyenangkan. Malam itu karena ada keperluan aku harus menyusuri Wajah dan udara Jakarta dini hari, pandangan mata membawa pada sudut-sudut remang dimana banyak anak punk sedang menikmati waktunya. Mata liar mereka menatap diriku dan beberapa orang teman, namun karena penampilan kami sangat jauh dari nice boy maka mereka membiarkan kami dengan segala aktifitas kami.
Kembali ingatanku menyusuri terowongan waktu, aku pernah di sana, pernah mengalami apa yang mereka rasakan. Amarah terhadap norma-norma yang dibangun masyarakat membuatku berontak, menyatakan exsistensi diri dengan wujud pemberontakan terhadap norma-norma dan etika baku masyrakat. Mencat rambut, berpakaian extreme dan nyeleneh, membuat tato dan segudang hal yang bertolak belakang dari norma-norma dan etika yang berlaku. Pada dasarnya itu semua karena marah terhadap kungkungan norma-norma dan etika masyarakat yang memaksaku mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan ukuranku, memaksaku berprilaku yang tidak sesuai dengan mauku, memaksaku berbuat yang tidak sesuai dengan nuraniku. Amarah itu meluap dan mau tak mau harus ada yang diexpresikan, pengerusakan terhadap diri sendiri adalah yang paling mudah dan pertama kali di lakukan, pengerusakan terhadap lingkungan sekitar dengan graffiti dan aksi kekerasan adalah expresi lanjutannya. Dengan kata lain semua itu adalah wujud dari kefrustrasian jiwa yang tidak dapat tubuh sesuai dengan kodratnya.
Bermain music keras semaunya sendiri dengan nada sekedarnya adalah merupakan expresi yang paling halus, drug dan alcohol adalah ekpresi lantang bawahsanya aku tidak akan tunduk padamu wahai norma-norma dan etika baku. Ah, pada akhirnya kita semua harus menyerah pada usia, kian bertambahnya usia kian rentanya tubuh sehingga tidak sekuat dulu lagi dalam mengepresikan amarah. Ada kejenuhan, tapi juga tidak tahu cara mengakhiri amarah. Hingga pada akhirnya kita semua harus menyerah dan harus membiasakan diri pada norma-norma dan etika yang berlaku di masyarakat, kalau pun kita masih menunjukan perlawanan itu hanyalah symbol phisik saja, jiwanya sudah layu, sudah tidak segarang dulu lagi. Mungkin kita masih berpakaian seperti itu, masih berkata-kata kotor, namun sudah lemah. Syarap dan kecerdasan sudah di ambil alih oleh drug dan alkohol, kita hanyalah sekedar pecandu yang terseok-seok oleh beban kecanduan, yang rela melakukan apa saja yang terpenting rasa sakit akibat kecanduan ini bisa berakhir dengan menenggak drug atau meneguk alcohol yang lebih tinggi dosisnya.
Ku sadari bawah sesungguhnya kita tidak bisa melawan norma-norma dan etika baku masyrakat, yang bisa kita perbuat adalah merubah diri kita sendiri, merubah sudut pandang kita sendiri. Sampai kapanpun norma-norma dan etika masyarakat akan berlaku seperti ini, standar kemunafikan akan selalu menjadi acuan, karena memang sudah begini sejak dulu. Kalau tidak seperti ini Tuhan tidak akan menurunkan para Nabi untuk memperbaikinya.
Yang bisa kita perbuat adalah mengolah energy marah tersebut menjadi energy yang produktif untuk berkarya, jalur music adalah jalur yang bisa dipilih jika kita menyukainya. Jalur design, jalur tulisan, dan jalur-jalur lainnya, begitu banyak jalur yang bisa kita manfaatkan untuk mengolah energy marah ini menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk perkembangan jiwa kita. Hanya dengan itu kita bisa dapat tetap tumbuh dan berkembang, disaat yang bersamaan kita tidak lagi melawan terhadap norma-norma dan etika masyrakat, namun tidak juga tunduk kepada norma-norma dan etika masyrakat. Karena kita tidak mengingkari hati kita, kita berkarya sesuai dengan keyakinan kita. Dan itu tidak akan membuat kita menjadi manusia kebanyakan, itu akan membuat kita tetak unik karena unik adalah pribadi kita, dan itu adalah kodrat kita untuk tampil berbeda sesuai dengan peranan kita. Kita akan mampu beradaptasi dengan baik terhadap kondisi dan lingkungan tanpa harus menjadi munafik dan menjadi pengecut. Kita tetap menjadi seorang pemberani yang menopang hidup kita diatas keyakinan diri, diatas keyakinan cinta dan kesatuan.
Untuk sahabatku semua yang masih di sana tengoklah dirimu dan lihatlah ada cinta di sana, dan bekal cinta itulah yang dapat membuat kita tetap berdiri menjadi diri kita sendiri, “Aku mencintai diriku sendiri, Aku mencintai sesama seperti aku mencintai diriku sendiri, Aku mencintai semesta seperti aku mencintai diriku sendiri”.
Terimakasih untuk bapak Poejo Wardoyo dan bapak Anand Krishna yang telah membuka mataku, Tuhan memberkati selalu.
==
= =
Di Publikasikan di :
http://www.surahman.com/
http://www.oneearthmedia.net/ind
http://www.facebook.com/su.rahman.full
http://www.kompasiana.com/surahman