Sepasang suami istri sedang membuka catatan-catatan tentang “budaya”. Mereka berdiskusi tentang “nasehat para leluhur” sebagai bahan introspeksi. Mereka paham bahwa pengetahuan tak berharga bila tidak dilakoni.Buku-buku Bapak Anand Krishna mereka jadikan sebagai referensi. Mereka mengutip pandangan dalam buku agar tidak kehilangan esensi.
Sang Istri: Leluhur kita tidak mendahulukan adat tetapi mendahulukan budaya. Budaya adalah sesuatu yang dinamis. Budaya adalah nilai-nilai luhur yang universal yang berasal dari masyarakat. Adat adalah tradisi. Sedangkan zaman selalu berubah. Misalkan ada adat berjudi pada malam tirakatan sebelum penguburan seseorang. Adat tersebut mungkin dapat berlaku pada suatu zaman, tetapi pada zaman yang lain tidak sesuai. Tetapi budaya bersifat dinamis dan menyesuaikan diri pada setiap zaman, karena bersifat universal. Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika bersifat universal dan merupakan sari budaya Indonesia. Dalam buku “Isa Hidup dan Ajaran Sang Masiha” disampaikan……… Budaya bukanlah sesuatu yang mati. Budaya adalah sesuatu yang hidup. Bahkan menurut saya, budaya adalah sumber kehidupan suatu bangsa. Yang bisa mempersatukan kita adalah budaya. Suatu bangsa yang melupakan nilai-nilai luhur budayanya sendiri akan hancur lebur. Tanpa nilai-nilai budaya, kesatuan dan persatuan bangsa tidak dapat dipertahankan. Agama kita berbeda. Warna kulit, suku dan ras kita berbeda. Kita bahkan memiliki kebiasaan-kebiasaan yang berbeda. Apabila kita masih bersatu sebagai suatu bangsa yang besar perekatnya hanyalah budaya, budaya Nusantara. Dan dalam Lautan Budaya Nusantara itu, bersatulah aliran-aliran yang berbeda. Ada aliran Jawa, ada sungai Sunda, ada kultur Sulawesi dan Kalimantan dan lain-lain. Tetapi dalam Lautan Budaya Nusantara—semuanya bersatu. Persatuan itu pula yang sampai saat ini masih mempersatukan kita………
Sang Suami: Sejak zaman dahulu, para leluhur dapat menerima esensi semua agama, tetapi bukan dengan cara mengikuti adat kebiasaan yang dibawa agama tersebut. Adat tersebut tidak bersifat universal, mungkin lokal, regional dan perlu penyesuaian dengan zaman…….. Kini, masyarakat yang belum sadar dapat terjebak dalam budaya asing yang ikut terbawa agama yang masuk. Seharusnya yang diterima adalah sifat-sifat universalnya dan bukan adatnya. Selama tidak menyadari hal tersebut, para pengikut agama dapat terkesan kolot……..
Sang istri: Banyak negara yang kebudayaannya sudah tinggi, seperti Turki, tetapi tenggelam dalam adat luar. Sehingga begitu memproklamasikan kemerdekaan, Kemal Ataturk, perlu mengumpulkan seluruh ahli bahasa untuk mengumpulkan para ahli bahasa untuk menuliskan lagi aksara Turki…… Kita pun perlu memantau aksara dan hasil budaya kita. Salah satu contoh adalah tari-tarian. Kesenian adalah hasil budaya. Silakan dikemas sesuai kemajuan zaman agar dapat menerbitkan selera para kaum muda. Tanpa usaha yang sungguh-sungguh, tarian yang indah dan luhur dapat lenyap dan dipelihara bangsa lain. Padahal budaya adalah jatidiri bangsa. Bangsa yang kehilangan jati diri mudah terombang-ambingkan. Budaya berakar dalam masa yang lama, dan dalam DNA diri kita terdapat benih-benih budaya tersebut………
Sang Suami: Demikian pula Ramayana semoga dapat diambil nilai-nilai luhur universalnya dan bukan adat yang berlaku pada zamannya. Ramayana adalah kisah epik pertama yang ada dalam sejarah manusia. Naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India, Walmiki……. Istriku, mari kita menggali hikmah dalam kisah Ramayana. Dalam buku “Life Workbook, Melangkah dalam Pencerahan, Kendala dalam Perjalanan, dan Cara Mengatasinya” disampaikan “Bekal Berkarya” untuk menjalani kehidupan yang diperoleh dari Ramayana,
Bekal pertama, kerja keras. Janaka tahu persis apa yang harus dilakukannya. Ia menyangkul bumi. Ia kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Kita pun harus kembali ke bumi kita yang subur; kembali ke laut kita yang kaya. Hasil bumi dan hasil laut ini harus dikelola dengan baik.
Bekal kedua, kita membutuhkan management skill. Rama dipertemukan dengan Sita dalam upacara sayembara atau svayamvara yang digelar oleh Raja Janaka. Dalam upacara itu, Sita memilih sendiri pasangannya. Yang diperhatikannya bukan saja kemampuan Rama, tapi wataknya, akhlaknya. Itulah
Bekal ketiga, kekuatan akhlak. Demikianlah kisah keberhasilan Rama. Tetapi, kemudian, ia pun kehilangan Sita. Untuk meraihnya kembali ia membutuhkan bantuan dari berbagai pihak.
Bekal keempat, keberanian. Burung Jatayu berusaha membebaskan Sita, tapi tidak berhasil. Sebelum gugur, burung itu masih sempat memberitahu nama penculik Sita kepada Rama.
Bekal kelima, tujuan yang jelas. Keberanian saja tidak cukup. Rama juga dibantu oleh adiknya sendiri, Lakshamana, yang berarti “ia yang bertujuan jelas”. Tidak hanya bertujuan jelas, Lakshamana juga berarti “ia yang senantiasa berupaya untuk mencapai Tujuannya”. Dengan hanya bertujuan jelas saja tidak cukup; kita harus berupaya untuk mencapainya.
Bekal Keenam, dedikasi dan komitmen, seperti yang ditunjukkan oleh Hanuman, kera sakti ini yang mencari tahu tentang keberadaan Sita.
Bekal ketujuh, communication skills. Hanuman memang tokoh yang unik. Dari sekian banyak keahliannya, salah satunya adalah keahliannya dalam hal berkomunikasi. Ya, dari tokoh yang satu ini, kita memperoleh dua bekal sekaligus. Hanuman menyampaikan pesan Sri Rama kepada Sita dengan baik. Ia berhasil meyakinkan Sita bahwa dirinya betul mewakili Rama. Ia juga berupaya dengan baik untuk menyampaikan pesan Sri Rama kepada Rahwana, Walau Rahwana tidak mendengar pesannya. Rahwana tidak mau mengembalikan Sita, dan dengan cara itu ia memprakarsai sendiri kehancurannya. Sebelum itu Hanuman juga dapat menghubungkan Rama dengan Sugriwa, raja para kera, sehingga mereka dapat menjalin kerjasama yang baik. Semua ini terjadi berkat keahlian Hanuman dalam bidang komunikasi.
Bekal kedelapan, gotong royong. Belajar dari kerjasama antara Sugriwa dan Rama. Janganlah mengharapkan bisa hidup di dunia ini tanpa kerjasama yang baik. Bahkan untuk sekedar bisa bertahan hidup pun harus ada teamwork. Akan tetapi gotong royong tidak berarti “aku membantumu mencari ikan”. Goyong royong menuntut supaya “aku mengajarkan cara menangkap ikan kepadamu”. Gotong royong bahkan tidak berarti “aku memberimu kali”, tetapi “membantumu memberdayakan diri, supaya kau dapat membeli sendiri kail yang dibutuhkan”. Istilah bagi gotong royong dalam bahasa Sanskerta adalah : Parasparam bhaavayantah saling mengisi. Berarti, dalam upaya itu tidak ada pihak diatas sebagai pemberi dan pihak dibawah sebagai penerima. Keduanya sama-sama membantu, sama-sama mengisi. Semangat untuk bergotong royong seperti ini lahir dari kesadaran bahwa kita semua dipertemukan dalam medan energi yang sama. Kita semua bersatu dalam kasih Allah.
Bekal kesembilan, intelegensia. Kita memperoleh dari Vibhishana. Tanpa bantuannya, Rama tidak dapat membunuh Rahwana dan membebaskan Sita. Vibhishana atau Wibisono mewakili intelejensia. Adalah Vibhishana yang memberitahu Rama bahwa pusar Rahwana yang harus dibidiknya. Di sanalah letak sumber kekuatan sang raksasa. Pusar selalu dikaitkan dengan chakra ketiga, lapisan kesadaran ketiga. Tiga lapisan awal mengurusi makan, minum, tidur, seks, dan sebagainya. Raksasa adalah metafora untuk “manusia yang masih berinsting hewani”, manusia yang sibuk mengurusi urusan perut dan kenyamanan diri, kenikmatan jasmani manusia yang tidak memikirkan pengembangan diri karena sudah merasa puas ketika badannya merasa puas.
Rama berhasil membebaskan Sita setelah memperoleh sembilan bekal ini. Kita pun akan berhasil dengan sembilan bekal tersebut………. Semoga……
Terima Kasih Bapak Anand Krishna
Situs artikel terkait
http://www.oneearthmedia.net/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo
Februari 2011