Renungan Ke-74 Tentang Berguru
Sepasang suami istri sedang berbicara pelan agar tidak ada orang yang mendengar pembicaraan mereka di malam yang sudah sangat larut. Mereka belum bisa tidur, mereka sangat prihatin akan keadaan bangsanya yang berada dalam keadaan carut marut. Mereka yakin banyak juga putra-putri bangsa yang berpandangan seperti mereka. Tapi kali ini mereka berbicara tentang mereka yang menggadaikan hati nurani demi mendapat pinjaman kenyamanan duniawi.
Sang Istri: Suamiku, nurani adalah barang berharga peninggalan leluhur yang masih dipunyai setiap orang. Nurani diwariskan kepada setiap bayi yang lahir. Nurani tidak bisa mati, dia hanya bisa tertimbun dalam, menunggu cangkul kesadaran untuk menggali dan mengambil dan memanfaatkan barang berharga tersebut. Hanya pada saat ini banyak yang telah menggadaikan nurani demi pinjaman untuk mempertahankan kenyamanan hidup duniawi. Mereka lupa yang meminjam harus mengembalikan. Dan, mau tidak mau mereka harus menebus agunan nurani itu entah kapan dengan perjuangan/penderitaan yang sangat berat. Karena nurani tak bisa “dijual”, nurani tetap akan mengikuti manusia sampai kapan pun, dan dia selalu mengingatkan bahwa dia masih menjadi agunan dalam pegadaian duniawi…….
Sang Suami:
Kita bisa membayangkan bila ada seorang petugas hukum yang “melek hukum” dan nuraninya mengatakan bahwa seseorang dari berbagai sidang yang berkepanjangan, sebetulnya tidak salah. Tetapi sang petugas perlu memelihara kenyamanan hidupnya, maka dia bisa saja berubah pikiran, bukanlah petugas adalah mahakuasa dalam perannya. Sebetulnya bukan mahakuasa pula karena bagaimana pun dia takut dengan atasannya yang bisa mengubah kenyamanan hidupnya. Tidak akan ada koleganya yang mempermasalahkan, praktek demikian sudah biasa…… Aku ingat manajemen zaman baheula seekor keledai hanya bergerak bila didepannya di berikan wortel atau dia digebuk dari belakang oleh majikannya…. Rupanya manajemen yang ketinggalan zaman tersebut masih eksis dalam masyarakat kita……..
Sang Istri: Dalam kisah tersebut tentunya ada mereka yang tertawa puas, karena mereka masih berada dalam lapisan kesadaran fisik serta lapisan mental/emosional tetapi masih meneruskan instink hewani mereka…….. Nurani adalah lapisan kesadaran yang sangat halus. Pertama lapisan fisik seperti yang nampak oleh mata kasat. Akan tetapi di belakang fisik tersebut ada energi, ada kehidupan, tanpa kehidupan fisik menjadi jasad belaka yang segera membusuk didaur ulang alam. Lapisan energi adalah lapisan kesadaran kedua. Kemudian walau ada fisik , ada kehidupan, tanpa mental/emosional maka dikatakan “agak miring” belum tegak, tidak bisa bersosialisasi wajar di tengah masyarakat. Kebanyakan orang terjebak pada lapisan kesadaran mental/emosinal ini……. Lapisan kesadaran berikutnya adalah lapisan kesadaran intelegensia, ada kecerdasan yang melampaui kesadaran mental emosional. Nurani terletak pada lapisan kesadaran ini. Belum belajar pun dia sudah tahu bahwa ada hukum sebab-akibat. Siapa yang menanam akan menuai. Diri kita bukan sekedar fisik yang setelah ditinggalkan kehidupan selesai, game over. Agama dan keyakinan menggali lapisan kesadaran ini. “Ada saat dimana mulut ditutup dan seluruh anggota badan menjadi saksi atas segala perbuatan yang telah kita lakukan”. Selama kita menggunakan nurani maka kita akan selamat bahkan ada beberapa yang bisa mencapai lapisan kesadaraan tertinggi, lapisan kesadaran murni……..
Sang Suami: Akan tetapi memakai nurani di tengah masyarakat yang masih menggunakan akal-pikiran saja mempunyai tantangan-tantangan yang cukup berat……. Seorang anak manusia berada di tengah hutan rimba yang dipenuhi hewan buas, dia harus berhati-hati waspada. Hewan hanya peduli dengan hasrat pribadinya. Hewan makan-minum, tidur, main seks dan mencari kenyamanan bagi dirinya, itulah instink hewani yang masih juga dimiliki oleh anak manusia. Hanya yang satu makan daging mentah dan busuk yang satu steak weldone, yang satu air comberan yang satu air dalam kemasan, yang satu asal musim kawin bersetubuh dengan lawan jenisnya siapa saja di alam terbuka yang lain harus dengan surat nikah dan di dalam ruang penuh privasi……. Mereka yang menganggap mental/emosional adalah satu-satunya eksistensi dirinya lebih berbahaya dari hewan karena dia memakai pikirannya yang cerdas untuk memenuhi kebutuhan dan keserakahannya. Dengan babak belur dan mengalami suka-duka yang berganti-ganti mereka mulai sadar, mestinya ada hal yang membuat dia melampaui rasa suka dan duka saja. Pada saat itu nuranilah yang mulai muncul dan bekerja.
Sang Istri: Seorang yang hanya ingin memuaskan hasrat pancaindera dan pikirannya bisa dikatakan masih berada dalam sifat hewani. Mereka yang sudah mulai sadar, ada orang lain yang juga perlu diperhatikan. Kita ingin uang ya bekerja, ingin mendapat nasi ya membeli, ada take and give, menerima tetapi juga memberi. Dia sudah tidak egois lagi. Dia berada dalam kondisi pikiran yang logis. Kemudia ada mereka yang lebih banyak memberi, dan memaafkan mereka yang menyakitinya. Mereka percaya pada tuntunan, “bila kau dipukul balaslah yang setimpal” – memakai logika – kemudian meningkat , “bila kau memaafkan maka kau lebih mulia” – meninggalkan logika memakai rasa yang lebih tinggi kedudukannya. Mereka yang bijak hanya menekankan Kaidah Emas, “perlakukanlah orang lain seperti kita ingin diperlakukan” dan itulah yang tidak dilakukan oleh sebagian masyarakat kita…….Ada evolusi dari sifat hewani menjadi manusiawi dan akhirnya kepada sifat ilahi.
Sang Suami: Dunia ini memang sering memperlakukan para tokoh dengan tidak adil. Almarhum Michael Jackson adalah salah satu korban yang parah dari sikap mass media yang berprinsip “a bad news is a good news“. Selama bertahun-tahun, sang legenda menderita dalam penghinaan atas kasus “pelecehan seksual” terhadap anak-anak, yang tidak pernah terbukti kebenarannya! Bahkan sesaat setelah kematian sang legenda, anak yang dilecehkan tersebut mengaku bahwa ia hanya disuruh oleh orang tuanya untuk membuat keterangan palsu……. Sejak zaman dahulu peristiwa demikian sering terulang? Gusti Yesus, sampai sekarang kata-katanya masih diabadikan dalam Kitab Suci, akan tetapi masyarakat tidak membantu kala dia disalibkan secara tidak adil. Kemudian, sebagian warga dunia mungkin masih hapal kalimat “I have a dream” dari Dr. Martin Luther King Jr., akan tetapi dia dibiarkan tertembak mati. Demikian pula Mahatma Gandhi yang dianggap Bapak Pejuang Tanpa Kekerasan yang mengilhami banyak tokoh, yang tak terkawal sewaktu ditembak. Pun demikian pula J.F. Kennedy. Banyak tokoh besar yang mengalami ketidakadilan semasa hidupnya. Para tokoh tersebut telah melepaskan diri dari pola pikiran lama, sedangkan masyarakat masih terkurung dalam pola lama, sehingga tentu saja para pembaharu zaman selalu disalahpahami.
Sang Istri: Bukankah kau pernah menceritakan tentang almarhum kakekmu yang biasa melagukan tembang pupuh ke 7 Serat Kalatida karya Pujangga Ronggowarsito……………“Amenangi jaman edan, ewuh aya ing pambudi. Melu edan nora tahan, yen tan melu anglakoni boya kaduman melik, kaliren wekasanipun. Dilalah karsaning Allah, begja-begjane kang lali,luwih begja kang sabar eling lawan waspada”. ………………“Mengalami zaman edan, sulit dalam berupaya. Ikut gila tidak tahan, kalau tak ikut menjalaninya, tidak mendapat bagian, Akhirnya kelaparan. Sudah kehendak Allah, seberapa untung yang lalai,lebih beruntung yang sabar, sadar serta waspada”……. Nampaknya dari dulu keadaan tak banyak berubah.
Sang Suami: Mari kita coba review kembali pembicaraan masyarakat sejak bulan Januari 2010. Kala itu masyarakat pernah melihat panggung kasus Bank Century lewat mass media, dan kita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Para elite bangsa menggunakan segala cara untuk memenangkan pertempuran bagi pihaknya. Kemudian ada saja pihak yang nuraninya bisa terbeli oleh materi, ada pula yang dalam keadaan terdesak akan dibuka kelemahannya, dia tunduk. Pokoknya segala macam cara. Begitulah kondisi bangsa kita. Dan, kini diulangi lagi dengan kasus mafia pajak…….. Wajar masyarakat sempat berpikir bahwa sebuah kasus hanya digunakan sebagai wahana menguatkan posisi tawar terhadap pihak penguasa. Mereka tak mempedulikan konstituen. Rakyat sekedar noktah hitam yang dikunjungi 5 tahun sekali, kata opini Surat Kabar. Sehingga parlemen jalanan dan piranti jejaring sosial tetap digunakan mereka yang “sadar”. Seorang Pengamat Politik di Kompas tanggal 23 Februari 2010 menyampaikan bahwa suatu kasus nasional hadir dalam panggung dengan pemeran yang dapat dinikmati masyarakat. Disebutkan bahwa salah satu keahlian para pemimpin kita adalah “mimikri”, kodrat sebuah hewan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Masyarakat sudah pada jenuh, masyarakat tak bisa berharap banyak, seorang pemimpin yang sekarang menggebu-gebu dan esok paginya bisa takluk bersimpuh.
Sang Istri: Pada bulan Februari 2010, salah satu headline news-nya adalah seorang pengajar di sebuah universitas menjiplak. Kegiatan jiplak menjiplak karya ilmiah yang merupakan puncak gunung es ketidakjujuran dalam jagad pendidikan. Ketidak jujuran sudah merambah ke seluruh lapisan masyarakat, baik di pendidikan, di bidang usaha, di eksekutif, di legislatif, di yudikatif, bahkan mass media yang seharusnya seimbang pun, sering memberi peluang ketidakseimbangan berita. Bila pendidikan sudah tidak jujur, maka anak didik dengan berbekal ketidakjujuran, otomatis merambah ke seluruh kegiatan masyarakat. Terlebih lagi kalau mass media pun mendukung aura ketidakjujuran, maka virus ketidakjujuran akan semakin cepat meluas disebarkan oleh mass media…….. Ada beberapa peran mass media. Pertama mass media adalah jendela bagi masyarakat agar bisa melihat suatu peristiwa. Kedua, mass media sebagai cermin yang dapat merefleksikan kejadian sebenarnya. Ketiga, mass media sebagai filter penjaga layak atau tidaknya sebuah berita diterbitkan. Keempat, mass media sebagai pemandu, penunjuk arah bagi masyarakat dengan pembuatan opini. Kelima, mass media sebagai forum umpan balik dan komunikasi interaktif. Akan tetapi berita rekayasa yang pernah terbuka oleh aparat kepolisian ataupun yang jelas “ketidak tepatan berita” oleh sebuah tivi swasta pernah mengangetkan masyarakat, sudah sedemikian parahkah bangsa kita?
Sang Suami: Rupanya pandangan Mochtar Lubis pada tahun 1977 tentang ciri manusia Indonesia, setelah 30 tahun nyatanya tidak mengalami perubahan yang berarti. Ciri pertama manusia Indonesia adalah hipokrisi atau munafik. Dia mengutuk dan memaki-maki korupsi, tapi dia sendiri seorang koruptor. Ciri kedua manusia Indonesia, segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya. Atasan menggeser tanggung jawab atas kesalahan kepada bawahan dan bawahan menggeser kepada yang lebih bawah lagi. Menghadapi sikap ini, bawahan dapat cepat membela diri dengan mengatakan, ”Saya hanya melaksanakan perintah atasan.” Ciri ketiga manusia Indonesia berjiwa feodal. Sikap feodal dapat dilihat dalam tata cara upacara resmi kenegaraan, dalam hubungan organisasi kepegawaian. Istri komandan atau istri menteri otomatis menjadi ketua, tak peduli kurang cakap atau tak punya bakat memimpin. Akibat jiwa feodal ini, yang berkuasa tidak suka mendengar kritik dan bawahan amat segan melontarkan kritik terhadap atasan……… Banyak yang telah melupakan nasehat Baginda Nabi tentang tiga ciri orang munafik: 1. Bila berbicara selalu dusta, tidak bisa dipercayai dalam setiap perkataan yang diucapkannya. Bisa jadi apa yang dibicarakan tidak sesuai dengan hatinya; 2. Bila berjanji, tidak ditepati, sulit untuk dipercayai perkataan dan perbuatannya; 3. Bila diberi kepercayaan selalu berkhianat, sulit diberikan kepercayaan. Kepercayaan yang diberikan tidak dapat dia jaga dengan baik. Tetapi dalam kenyataannya………
Sang Istri: Kembali pada tembang Pujangga Ronggowarsito tentang zaman edan yang rupanya masih terjadi di zaman kini…….. “Mind” memang hanya mau menangnya sendiri, selalu mencari pembenaran dan berhasrat untuk mendapatkan segala sesuatu dengan segala macam cara. “Mind” memang takut kehilangan kesempatan dan tidak mendapat bagian kalau terlalu lama bertimbang-rasa. Walaupun “mind” menguasai, masih ada hati nurani yang bersuara, mau ikuti “mind” tidak tega, kalau tidak ikuti “mind”, takut tak akan kebagian. Pertentangan antara “mind” dan hati nurani. Sayangnya pendidikan terlalu menitik beratkan pada “mind” bukan pada “rasa”. Bahkan pendidikan agama pun banyak berisi hal tentang penggunaan “mind” bukan melatih “rasa”, melatih nurani.
Sang Suami: Dalam kisah pewayangan ada tokoh Dasamuka, seseorang yang paham ilmu pengetahuan dan spiritualitas, akan tetapi tindakannya tidak sesuai dengan pengetahuan dan pemahaman yang dimilikinya. Secara simbolik pikiran Sang Dasamuka, Sang Sepuluh Muka dikuasai oleh lima indera dan lima kelemahan dalam dirinya, yaitu nafsu birahi, amarah, keterikatan, keserakahan dan keangkuhan. Ia yang diperbudak oleh panca indera adalah raksasa. Berbadan manusia, tetapi bersifat hewani. Raksasa adalah metafora untuk “manusia yang masih berinsting hewani”, manusia yang sibuk mengurusi urusan perut dan kenyamanan diri, kenikmatan jasmani. Manusia yang tidak memikirkan pengembangan diri karena sudah merasa puas ketika badannya merasa puas. Hal demikian akan menyebabkan dirinya “membusuk”, menyebarkan bau tak sedap, tidak dapat ditutup-tutupi……. Kita masih memimpikan seorang Arjuna yang suka mengolah diri….. Dan, berharap semakin banyak para Arjuna yang diperlukan untuk membangkitkan bangsa ini…… Pada waktu bertapa pertama-tama Arjuna ditakut-takuti para jin setan yang mengerikan. Kemudian kepada Arjuna diperdengarkan dentingan ringgit dan dipersembahkan berpeti-peti intan permata. Selanjutnya Arjuna digoda bidadari jelita. Tetapi Sang Arjuna tetap tabah dan akhirnya mendapatkan senjata Pasupati. Pasu adalah hewan jinak dan pati adalah raja. Dia menjadi Master dalam mengendalikan kehewanian dalam diri……..
Terima kasih Bapak Anand Krishna yang tak pernah lelah membangkitkan kesadaraan bangsa.
Situs artikel terkait
http://www.oneearthmedia.net/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo
Maret 2011