Sugriwa dan Subali konon asalnya adalah manusia yang masih memiliki potensi kera yang tidak tenang, sembrono dan mudah terhasut. Mereka sudah bertapa selama bertahun-tahun, sudah semestinya mereka melampaui sifat-sifat kekeraan, akan tetapi ternyata sifat kesembronoan dan ketergesaan masih ada dalam diri mereka.
Sugriwa menerima pesan Subali, saat Subali akan menyerbu Raksasa Lembusura dan Maesasura ke dalam Goa Kiskenda. Subali berpesan darahku putih, apabila di mulut goa ini mengalir keluar darah merah berarti aku menang, apabila yang mengalir darah putih, berarti aku mati, maka tutuplah goa ini dengan batu besar dari luar, sehingga mereka tidak bisa keluar lagi. Sugriwa lamat-lamat mendengar perkelahian yang terjadi jauh di dalam goa. Kemudian Sugriwa melihat darah merah bercampur darah putih keluar dari goa, maka dia kemudian langsung menutup pintu goa dan lapor kepada para dewa bahwa Lembusura dan Maesasura sudah mati karena ada darah merah mengalir keluar, akan tetapi Subali juga sudah mati karena darah putih pun juga mengalir ke luar. Di sinilah kesembronoan dari Subali bahwa darah putih bukan hanya berasal dari Subali, tetapi aliran darah yang terjadi karena pecahnya otak Lembusora dan Maesasura pun juga berwarna merah bercampur putih.
Sugriwa juga melakukan ketergesaan dan kesembronoan dengan menutup goa. Mungkin Sugriwa kurang jeli melihat bahwa jauh lebih banyak darah merah dari pada darah putihnya. Sugriwa kemudian menjadi raja kera dan memerintah istana Kiskenda serta mendapat hadiah Dewi Tara yang cantik sebagai isterinya. Sugriwa juga tidak seperti Bharata yang menolak tahta yang sebenarnya bukan haknya melainkan hak Sri Rama. Kala Sri Rama pergi menyelesaikan tugas di hutan, Bharata meletakkan sandal Sri Rama di atas singgasana sebagai simbol bahwa dia hanya pelaksana tugas dari Sri Rama yang berhalangan hadir. Sugriwa paham bahwa yang mengalahkan raksasa adalah Subali, yang berhak mendapat hadiah adalah Subali, akan tetapi Sugriwa tetap mau menerima tahta dan hadiah Dewa, dengan alasan Subali telah mati.
Subali yang berhasil membunuh kedua raksasa, kemudian dengan susah payah selama berbulan-bulan akhirnya berhasil keluar goa. Subali kecewa mendengar Sugriwa sudah menjadi raja dan mendapatkan istri Dewi Tara. Subali sadar bahwa ada misteri dalam setiap nasib. Mungkin hal tersebut terjadi karena datangnya akibat dari perbuatan dirinya di kehidupan yang lalu.
Subali juga teringat kejadian kala dia dan Sugriwa memperebutkan “cupu manik astagina” di waktu kecil. Mereka berebut “cupu” yang kemudian dilemparkan ayahnya ke telaga Madirda. Dia dan Sugriwa menceburkan diri ke dalam telaga dan tubuh mereka berubah menjadi kera, sedangkan adik mereka Anjani ikut menuju telaga dan mencuci muka dengan air telaga, sehingga muka Anjani berubah menjadi wajah kera. Bertiga mereka menangis menghadap sang ayahanda yang kemudian memberi nasehat, “Kalian harus belajar mengendalikan diri, dimulai dari mengendalikan fisik makan dan minum. Kemudian sadarilah diri fisikmu, energi hidupmu, mental emosionalmu, intelegensiamu. Anjani, bersyukurlah, sebagai wanita kau sudah memiliki kelembutan. Bertapalah seperti Kodok di telaga ini. Kodok adalah binatang yang luar biasa. Dia bisa hidup di air dan bisa hidup di darat. Bila kau bisa sadar di alam jaga dan juga sadar di alam mimpi, maka kau akan menjadi bijaksana dan kau akan dikaruniai putra perkasa.”
“Subali dan Sugriwa, pada suatu saat kalian akan menjadi raja kera. Subali kau akan membantu dunia melenyapkan raksasa musuh dewa. Hari ini kalian berselisih memperebutkan “cupu” mainan, karena kalian masih anak-anak. Pada suatu saat kau akan berselisih dengan adikmu memperebutkan tahta dan wanita. Manusia tak pernah lepas dari keterikatan. Di waktu anak-anak obyek keterikatan adalah mainan, menjelang dewasa obyek keterikatan adalah lawan jenis. Setelah merasa mandiri, obyek keterikatan adalah harta dan tahta, dan di masa tua obyek keterikatan adalah obat-obatan.”
Subali merenung akibat memperebutkan mainan dia menjadi kera, apakah dia akan memperebutkan tahta dan wanita, apakah yang terjadi bila hal demikian dilakukan? Dalam proses penenangan pikiran tersebut datanglah Rahwana yang mengajaknya berkelahi adu kesaktian. Emosi Subali tersalurkan dan sesaat kegelisahannya menghilang. Dia berkali-kali kalah melawan Rahwana, akan tetapi karena dia mempunyai aji Pancasona, setiap kali dia roboh dan tubuhnya menyentuh tanah, maka dia seakan-akan hidup lagi sehingga Rahwana kewalahan. Akhirnya Rahwana menyerah dan ingin menjadi muridnya. Rahwana menjelaskan bahwa istrinya, Dewi Tari adalah saudari dari Dewi Tara yang kini menjadi istri Sugriwa. Dan pelan-pelan Rahwana mulai mengadu domba Subali dengan Sugriwa.
Rahwana kemudian memerintahkan anakbuah andalannya, Kala Maricha mengubah wujudnya sebagai pelayan Dewi Tara, istri Sugriwa. Sang Pelayan memprovokasi Subali, bahwa Sugriwa tidak menghormati Tara, istri anugerah dewa dengan layak. Sang Pelayan juga mengingatkan bahwa tahta Kiskenda dan Dewi Tara seharusnya merupakan hak Subali yang telah berhasil melenyapkan musuh para dewa. Subali akhirnya terhasut dan merebut tahta dan Dewi Tara dari Sugriwa. Sugriwa yang kalah melarikan diri dengan ditemani Hanuman dan beberapa pasukan kera yang masih setia kepadanya. Dengan bantuan Sri Rama, akhirnya Subali mati dipanah Sri Rama dan Sugriwa kembali memerintah kerajaan Kiskenda. Untuk memperbaiki kesalahannya dia mengangkat Anggada putra Subali sebagai putra mahkota. Dan Subali membantu Sri Rama berperang melawan Rahwana.
Kita dapat bercermin, bahwa politik adu domba, atau “devide et impera” sudah dikenal oleh para leluhur dan diungkapkan kepada kita lewat kisah pewayangan. Apabila kita melihat perpecahan antara suku, antara agama, antara kelas itu sudah dilakukan adu domba oleh Penguasa Kolonial Belanda pada waktu itu. Memang tidak ada istilah hitam-putih, salah-benar mutlak. Pengadudombaan memang digunakan untuk melanggengkan kekuasaan dan melemahkan saingan. Sampai saat ini pun kita tetap melihat kejadian itu berulang-ulang terjadi, beberapa partai yang pecah, bahkan perang saudara. Mereka yang mengatasnamakan agama tertentu pun pernah dan masih bermusuhan dengan sesama penganut agama. Kita tidak sadar, bahwa pertentangan antar agama, pertentangan antara kelompok kebhinnekaan dan mereka yang mendukung khilafiah merupakan adu domba pihak asing yang ingin melemahkan bangsa.
Seandainya saja kita lebih jeli, kita akan melihat beberapa kebiasaan anak-anak bangsa yang kurang baik. Kita selalu menyalahkan dan mencari-cari kesalahan orang lain. Kita tidak melihat ke dalam diri untuk mencari kesalahan dan kekurangan, kelemahan dan kekhilafan diri. Kita selalu berfokus pada perbedaan bukan kesamaan yang ada. Kita cenderung memisahkan dan memecah-belah, daripada bersatu dan bertemu. Kita lebih suka hal-hal yang mudah dan menyenangkan, meskipun salah. Kita menjauh dari apa yang benar hanya karena hal itu membutuhkan kerja keras. Kita membenarkan kekacauan dan penganiayaan yang kita lakukan kepada orang lain, tetapi tidak suka menerima perlakuan serupa dari orang lain. Hal demikian seakan-akan sudah menjadi biasa.
Semuanya berawal dari pendidikan. Sejak kecil, anak-anak sudah dimasukkan dalam sekolah dengan azas agama tertentu. Ada saja yang mengajari bahwa hanya teman sesama agama yang menjadi saudara. Mereka tanpa sadar mengucilkan teman-temannya yang berbeda agama. Dan ini sudah berjalan lama, pemahaman sewaktu kecil ini akan dibawa-bawa hingga anak-anak dewasa. Mereka lupa kita semua adalah satu saudara dan hidup di bumi Indonesia. Kita diberi makan-minum, tempat tinggal, pekerjaan di bumi Indonesia, akan tetapi kita tidak sadar ada tindakan kita yang membawa masalah bagi bangsa. Bukan masalah kecil tetapi masalah besar bagi kebersatuan bangsa.
Hasil survei PPIM bahwa kebanyakan guru agama islam menentang pluralisme
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=11900&post=1
Sebagian dari anak-anak kecil ini setelah dewasa merasa benci terhadap agama lainnya. Dapat kita lihat di internet diskusi tentang perbedaan agama, sudah sangat mengkhawatirkan. Majalah-majalah yang bernuansa religius pun banyak yang isinya menyebar kebencian pada agama yang lain, belum lagi selebaran yang diperuntukkan bagi kalangan sendiri. Mantan pengikut suatu keyakinan bila memberikan kesaksian seperti barisan sakit hati yang haus popularitas di tempat baru. Kita tidak pernah sadar hal tersebut membahayakan eksistensi bangsa. Memang banyak orang lebih suka membanding-bandingkan dan menjelek-jelekan agama orang lain. Mereka lebih banyak membicarakan agama orang lain dibandingkan membicarakan agama sendiri dan juga moral perilaku para pengikutnya sendiri. Jika seperti itu perilakunya, kapan bangsa kita bisa bersatu? Kita merasa para penjajah zaman dahulu menggunakan politik “devide et impera”, memecah belah bangsa. Akan tetapi kita tidak sadar bahwa saat ini perbuatan kita sendiri telah memecah belah bangsa.
Bangsa ini menghadapi suatu penyakit ganas yang siap merusak tubuhnya. Kita tidak sadar tindakan kita sendiri telah membuat tubuh menderita sakit parah di masa depan. Jika tidak ada apresiasi terhadap agama lain, jika tak segera ditangani, seakan-akan kita menunggu waktu saja….. Bukankah orang yang berbeda agama adalah bangsa Indonesia juga? Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika seakan-akan sudah tidak digunakan sebagai alat pemersatu lagi.
Bapak Anand Krishna telah membuat contoh nyata dari orang-orang dari berbagai suku, agama, gender, profesi dan usia yang mengapresiasi perbedaan dan bersatu untuk menciptakan masyarakat berkesadaran dihambat. Pak Anand dituduh melakukan pelecehan seksual, yang dalam sidang belum terbukti dan bahkan selama lebih dari 5 bulan hanya terkait dengan 10% masalah utama sedangkan sisanya berupa penghakiman pandangan pak Anand yang sebenarnya telah ditulis dalam 140-an buku yang dijual bebas di luar tanpa masalah. Lihat http://freeanandkrishna.com
Beliau penggagas berdirinya Gerakan Integrasi Nasional, National Integration Movement (NIM). Orang-orang Indonesia dari berbagai latar belakang agama, suku, etnis, gender dan pendidikan yang punya kepedulian tinggi terhadap masalah persatuan dan kesatuan bangsa. Mereka merespon atas adanya ancaman terhadap integrasi bangsa, terutama yang disebabkan karena pertikaian atas nama agama dan etnis, di berbagai wilayah Indonesia. Berbekal hati nurani dan akal sehat, mereka bermaksud mengkritisi sekaligus memberi sumbangan tenaga dan pikiran atas berbagai soal yang muncul di masyarakat, pada setiap aspek, kehidupan, yang dinilai membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa – untuk kemudian disuarakan secara lugas, jelas dan terbuka……. Semoga kita semua sadar dan tidak larut dalam politik adu domba yang membahayakan integritas bangsa Indonesia.
Situs artikel terkait
http://www.oneearthmedia.net/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo
http://www.kompasiana.com/triwidodo
April 2011