Ada banyak keturunan Dinasti Bharata, tetapi hanya satu yang menjadi raja Hastina. Berlimpah-ruah para cerdik-cendekia, tidak sedikit orang yang berwibawa, banyak pula orang yang punya dukungan masa, tetapi hanya satu yang akan menjadi kepala negara. Terlepas dari keberhasilan sang kepala negara memimpin bangsa, tidak pula dipertimbangkan lama atau sebentarnya berkuasa, bagi para leluhur dia telah mendapatkan “pulung”, wahyu pemegang tahta. Ada faktor X yang membuka kesempatan baginya. Bisa saja karena tuah orang tua, karena anugerah yang dikaruniakan kepada pendampingnya, maupun senjata andalan atau keyakinan yang dimilikinya, maupun yang lainnya. Kita dapat melihat pamor beberapa pemuka masyarakat menurun setelah kedua orang tuanya meninggal dunia. Nampak juga pamor seseorang meredup saat menceraikan istrinya, mempunyai istri kedua atau istrinya berpulang dipanggil Yang Maha Kuasa. Konon Raja Brawijaya terakhir dari Majapahit kehilangan pamornya kala berganti keyakinannya…….. Apakah Negara Kesatuan Republik Indonesia juga akan kehilangan pamornya kala meninggalkan pusaka Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila? Semoga hal demikian tidak akan terjadi, semoga para kesatria bangsa gigih mempertahankannya.
Pulung dipercayai para leluhur sebagai hasil dari sebuah “laku”, olah batin. Pada umumnya laku batin adalah bertapa, berpuasa, berpantang, mengurangi tidur, melakukan perjalanan spiritual dan sebagainya. Itu semua merupakan wujud determination, kesungguhan dari usaha manusia dalam mendapatkan apa yang diinginkan dan dicita-citakan. Ketika batin seseorang bergerak dengan dibarengi laku, maka akan menimbulkan energi berkekuatan magnet yang dapat menarik energi alam semesta.
Dalam buku “Total Success, Meraih Keberhasilan Sejati”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, tahun 2009 disampaikan ada 3 bekal kesuksesan……. Iccha Shakti atau The Power of Firm Will, Kekuatan Niat, Tekad yang Bulat. Gyaan Shakti atau The Power of Expansive Wisdom, Kekuatan Kebijaksanaan yang Meluas dan Meliputi Segalanya. Kebijaksaan yang memperluas wawasan kita. Sesuatu yang mempersempit wawasan bukanlah kebijaksanaan. Itu adalah pengetahuan belaka. Kriya Shakti atau The Power of Right and Effective Action, Kekuatan Tindakan yang Tepat dan Efektif, Berguna……..
Abimanyu (Sanskerta: abhiman’yu) adalah seorang tokoh dalam perang Bharatayuda. Ia adalah putera Arjuna dengan Subadra, adiknya Sri Krishna. Abimanyu berasal dari dua kata Sanskerta, yaitu abhi, berani dan man’yu, karakter. Abimanyu berarti “Ia yang memiliki karakter tak kenal takut” atau “Sang Pemberani”…..
Wahyu Cakraningrat adalah wahyu “wijining ratu”, wahyu pewaris raja. Alkisah banyak pemuda mencari wahyu cakraningrat agar keturunannya dapat menjadi raja. Disebutkan ada tiga pemuda yang mencari wahyu cakraningrat: Abimanyu, putra Arjuna dengan Subadra; Samba, putra Prabu Kresna dengan Dewi Jembawati; dan Lesmana putra Prabu Duryudana dengan Dewi Banowati. Dikisahkan ketiganya bertapa di Alas Krendhawahana, sebuah hutan angker tempat Bathari Durga bersemayam, makhluk apa pun yang masuk akan mati. Abimanyu berangkat ke lokasi dikawal oleh panakawan: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Samba dikawal oleh pamannya, Setyaki dan Patih Dworowati, Udawa. Lesmana dikawal oleh sepasukan prajurit Kerajaan Hastina, lengkap dengan perbekalan dan persenjataan.
Pertama kali Abimanyu ditakut-takuti para jin yang mengganggu orang-orang yang bertapa. Ini adalah gambaran leluhur sebagai lambang bahwa seseorang yang menempuh laku akan ditakut-takuti kecemasan batin akibat diteror. Abimanyu tetap tenang sampai jin pergi sendiri. Selanjutnya muncul sepasang raksasa yang mengamuk bernama Maling Raga dan Maling Sukma. Kedua raksasa itu pun berperang tanding melawan Abimanyu. Keduanya tewas terkena panah sakti Abimanyu. Jasad Maling Raga berubah menjadi Bathara Indra, dan jasad Maling Sukma berubah menjadi Bathara Kamajaya. Kedua dewa itu pun memberikan banyak petuah, bagaimana caranya agar Abimanyu berhasil mendapatkan Wahyu Cakraningrat.
Pada suatu tengah malam, terlihat seberkas sinar yang sangat terang berkeliling di atas Alas Krendhawahana. Sinar itu tak lain adalah Wahyu Cakraningrat yang tengah mencari “wadah”, pemuda yang sanggup menerimanya. Pertama-tama, Wahyu Cakraningrat “masuk” ke dalam diri Lesmana. Merasa kemasukan wahyu, ia pun menyudahi tapanya. Dia sangat girang dan berpesta pora merayakannya bersama para prajurit Korawa. Mereka mabok kelezatan makanan dan minuman. Tingkat kesadaran Lesmana Mandrakumara masih di cakra bawah, cakra makan minum, sehingga wahyu cakraningrat tidak dapat bertahan lama. Hawa nafsu makan dan minum Lesmana membuat suasana panas dan wahyu ke luar.
Kemudian Wahyu Cakraningrat mencoba “masuk” ke dalam diri Samba. Merasa kemasukan wahyu, dia pun menyudahi tapanya. Bathari Durga tidak berkenan dengan hal tersebut dan mengubah dirinya menjadi bidadari yang cantik jelita. Dia pun menggoda Samba. Samba yang tergoda mencumbu dan memperlakukan si wanita itu layaknya istri sendiri. Akibatnya sangat fatal, Wahyu Cakraningrat yang berada dalam tubuhnya seketika keluar dan melesat, mencari pertapa lain. Sri Krishna adalah seorang avatar bijak, akan tetapi genetik yang menurun ke putranya adalah genetik suka wanita, yang menjadi kelemahan Samba. Pusat kesadaran Samba masih di cakra seks, energinya masih cair dan selalu bergerak ke bawah menuju cakra kedua.
Selanjutnya, Wahyu Cakraningrat “masuk” ke dalam tubuh Abimanyu. Merasa kemasukan wahyu, putra Raden Arjuna ini pun merasa sangat bersyukur kepada Gusti. Mengetahui momongannya kemasukan wahyu, Semar pun mewanti-wanti agar Abimanyu semakin berhati-hati. Semar adalah pemandu manusia yang bijak, yang mengikuti perintahnya akan selamat. Ketika bidadari jelmaan Bathari Durga menggodanya, Abimanyu pun selalu menghindar meski si wanita terus-menerus mengejarnya. Melihat momongannya dalam kesulitan, Semar segera membantu. Dia menghajar sang Bidadari habis-habisan. Tiba-tiba, si wanita cantik itu berubah wujud aslinya sebagai Bathari Durga yang bersegera mohon maaf dan menghilang. Guru, dalam hal ini Semar, Sang Pemandu mempunyai pengaruh luar biasa terhadap muridnya. Keyakinan seorang murid terhadap Gurunya akan menyelamatkannya. Pada saat itu kesadaran Abimanyu belum sepenuhnya berada pada lapisan kesadaran kasih yang berpusat di cakra keempat. Pada saatnya kesadaran Abimanyu akan meningkat karena selalu di-“momong”, dipandu oleh Semar.
Raden Abimanyu telah mempunyai istri Siti Sundari, putri Sri Krishna tetapi tidak punya keturunan. Pada saat Pandawa selesai masa penyamaran selama satu tahun dari masa pengasingannya, Arjuna menjodohkan Abimanyu dengan Dewi Utari, putri Prabu Matswapati, raja Wirata agar koalisi Pandawa bertambah kuat. Saat perang Bharatayudha berlangsung, Dewi Utari sedang hamil yang nantinya sang bayi akan lahir sebagai Parikesit, yang nantinya akan menjadi Raja Hastina menggantikan Yudistira.
Konon ketika Abimanyu masih dalam kandungan Subadra, ibunya, dia dapat mendengar pembicaraan Ayahandanya dengan Sri Krishna, kakak dari ibunya. Sri Krishna sedang menguraikan formasi pasukan chakrawyuha. Sayang belum sampai selesai sang ibu ketiduran, sehingga Abimanyu lahir dan menguasai formasi tempur chakrawyuha, akan tetapi karena ibunya ketiduran maka, dia belum mengetahui cara melepaskan diri dari jerat chakrawyuha.
Pada hari ke-13 perang Bharatayudha, pihak Korawa menantang Pandawa untuk mematahkan formasi perang melingkar yang dikenal sebagai chakrawyuha. Para Pandawa menerima tantangan tersebut karena Sri Krishna dan Arjuna tahu bagaimana cara mematahkan formasi tersebut. Namun, pada hari itu, Sri Krishna dan Arjuna sibuk bertarung dengan laskar Samsaptaka. Oleh karenanya Pandawa memilih Abimanyu yang memiliki pengetahuan tentang formasi chakrawyuha. Untuk meyakinkan bahwa Abimanyu tidak akan terperangkap dalam formasi tersebut, Pandawa bersaudara memutuskan bahwa mereka akan membantu Abimanyu. Abimanyu menggunakan kecerdikannya untuk menembus formasi tersebut. Pandawa mencoba untuk mengikutinya di dalam formasi, namun mereka dihadang oleh Jayadrata, Raja Sindhu, yang mampu menahan para Pandawa. Sehingga Abimanyu ditinggal sendirian untuk menangkis serangan pasukan Korawa.
Abimanyu membunuh beberapa ksatria yang mendekatinya, termasuk Lesmana, putera Duryudana. Setelah menyaksikan putera kesayangannya terbunuh, Duryudana marah besar dan menyuruh segenap pasukan Korawa untuk menyerang Abimanyu, mengabaikan hukum perang secara ksatria untuk berkelahi satu persatu. Atas nasihat Drona, Karna menghancurkan busur Abimanyu dari belakang. Kemudian keretanya dihancurkan, kusir dan kudanya dibunuh. Tanpa menghiraukan aturan perang, pihak Korawa menyerang Abimanyu secara serentak. Abimanyu mampu bertahan sampai pedangnya patah dan roda kereta yang ia pakai sebagai perisai hancur berkeping-keping. Tak berapa lama kemudian, Abimanyu terbunuh. Dikisahkan bahwa Abimanyu adalah inkarnasi dari putera Soma, Dewa Bulan. Sang Dewa Bulan membuat perjanjian bahwa puteranya tinggal di bumi hanya selama 16 tahun. Abimanyu berusia 16 tahun saat ia terbunuh dalam perang Bharatayuda.
Dalam buku “Surat Cinta Bagi Anak Bangsa”, Anand Krishna, One Earth Media, 2006 disampaikan bahwa bagi Sri Krishna……… Perang itu bukanlah antara Pandava dan Kaurava. Perang itu antara Dharma dan Adharma, antara Kebijakan dan Kebatilan. Dan, perang antara Kebajikan dan Kebatilan tidak pernah selesai. Perang ini adalah perang sepanjang jaman, sepanjang masa. Tidak pernah berakhir. Terjadi di medan perang dan terjadi pula dalam diri manusia, dalam diri setiap manusia. Perang Bharatayudha masih terjadi. Perang Bharatayudha masih berlangsung. Di dalam dirimu dan di dalam diriku. Kaurava dan Pandava ada di dalam diri kita semua. Kesadaran kita akan memenangkan pihak yang mana, sepenuhnya tergantung pada diri kita. Sepenuhnya kembali kepada diri kita…….
Dalam buku tersebut Pak Anand juga menyampaikan pesan Asmara Hadi: “Orang yang benar-benar percaya bahwa Tuhan itu bersifat Adil, Pengasih dan Penyayang harus menjadi pejuang yang militan, supaya keadilan, kasih dan sayang itu dapat mengalir sebagai sungai yang jernih, yang dengan airnya menghidupkan bumi.” Menjadi militan tidak berarti menjadi perusak. Menjadi militan berarti menjadi dinamis. Dinamika murni dan bertanggungjawab yang harus menjadi motor penggerak National Integration Movement. Bergeraklah, jangan duduk diam. Senjata kita bukanlah pedang dan perang. Bukan tombak dan senapan. Senjata kita adalah kasih. Kasih tanpa syarat dan tak terbatas. Bergeraklah menuju Indonesia Baru sambil menyanyi dan menari. Senjata kita adalah lagu-lagu penuh kasih, penuh cinta. Turunlah ke jalan dengan lagu-lagu itu. Jangan lupa akan pengaruh musik terhadap otak manusia. Mereka mengangkat senjata, kita menyanyi. Tangan mereka akan lelah dan kemudian jatuhlah senjata-senjata itu dari tangan mereka. Sementara nyanyian kita tak akan berhenti……. Asmara Hadi adalah seorang revolusioner, seorang pejuang sejati: “Orang yang menyebut nama Tuhan, tetapi tidak berjuang supaya bumi ini menjadi tempat yang aman dan damai, yang bebas dari haus dan lapar, dari sengketa dan benci, dari tindasan dan peperangan, dari kapitalisme dan imperialisme, orang ini tidaklah leih dari badut di panggung sandiwara dunia. Nama Tuhan itu di atas bibirnya hanyalah mainan semata. Dan dalam dunia ini lebih banyak munafik dan penipu daripada mereka yang jujur.” Dan, mereka yang tidak jujur, mereka yang munafik, sudah pasti tidak senang dengan setiap gerakan yang melawan ketidakjujuran dan kemunafikan. Mereka tidak mau melihat rakyat tercerahkan. Rakyat harus bodoh, harus diteror, ditakut-takuti, supaya dapat dijajah, ditindas, diperbudak………
Sayang, Pandangan kebangsaan Bapak Anand Krishna mendapatkan tentangan dari kelompok yang tidak setuju dengan suara kebangsaan dan kebhinnekaan.
Lihat berkas lengkap di http://freeanandkrishna.com/
Bagaimana pun Bapak Anand Krishna memaafkan dan tetap mengajak mereka yang sadar untuk selalu mendoakan Jaksa dan para Hakim agar dapat menjalankan amanah yang diemban mereka untuk melaksanakan persidangan dengan fair…… Forgiving without being boastful about it – that is true forgiveness. That is spirituality. Lord, grant me the strength to do so…….
Di Twitter Budayawan Sujiwo Tejo menulis “Equal before the law…… di depan hukum kita sama, entah kalau di belakang hukum”……..
Situs artikel terkait
http://www.oneearthmedia.net/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo
http://www.kompasiana.com/triwidodo
http://twitter.com/#!/triwidodo3
Mei 2011