May 4, 2011

Renungan Kebangsaan: Kelemahan Guru Besar Drona Dalam Negara Hastina

Guru Besar adalah seorang Brahmana, seseorang yang mengajarkan dan meyebarkan kebenaran. Seorang Guru Besar pada hakikatnya adalah seorang Duta Ilahi, Utusan Ilahi. Dia datang ke dunia untuk memupuk, membimbing dan mengembangkan kesadaran para muridnya. Pandita Drona adalah Guru Besar dalam Kerajaan Hastina. Seharusnya Pandita Drona membimbing para Pandawa dan Korawa untuk bersatu, meningkatkan kesadaran dan memperjuangkan kebenaran, akan tetapi Pandita Drona telah memihak para Korawa dan memojokkan para Pandawa. Guru Drona ikut memecah belah bangsa Hastina, demi kenyamanan diri.

Pandita Drona pernah mengalami trauma di waktu muda dan tidak dapat melupakan rasa sakit hati tersebut. Drona pernah bersahabat dan sebagai saudara satu perguruan dengan Drupada. Kebetulan Drupada kemudian mendapatkan istri seorang putri raja, dan Gandamana, sang putra mahkota raja tersebut tidak mau menjadi raja karena sudah menjadi patih di Hastina, sehingga Drupada diangkat sebagai raja. Drona sakit hati kala dihina sahabatnya Drupada yang telah menjadi Raja. Setelah Drona menjadi Guru Besar di Hastina, Drona menggerakkan murid-muridnya untuk mengalahkan Drupada dan meminta separuh wilayahnya sebagai tempat tinggalnya.

Pandita Drona juga pernah tidak menerima Bambang Ekalaya sebagai murid, karena takut akan menjadi saingan Arjuna, putera dari Pandu yang “memberi status Guru” kepadanya. Ketika mengetahui Bambang Ekalaya mampu menjadi pemanah ahli dengan belajar di depan patung dirinya, maka dia meminta Bambang Ekalaya untuk patuh terhadap dirinya, karena telah menganggap dia sebagai gurunya. Dan, ketika Bambang Ekalaya mengiyakan, dia diminta memenuhi etika kepatuhan seorang murid untuk memenuhi apa pun perintah Gurunya. Bambang Ekalaya mematuhi perintah Drona untuk memotong ibu jarinya, sehingga dia tidak dapat menggunakan panahnya lagi.

Pandita Drona juga pernah menyuruh Bhima sebagai saingan Duryudana untuk mencari Tirta Kamandanu, yang berada di tengah samudera, agar Bhima menemui ajal, sehingga tidak ada lagi saingan bagi Duryudana. Akan tetapi Bhima justru dapat menemukan jatidirinya yang digambarkan para leluhur sebagai Dewaruci, kembaran Bhima dalam ukuran mini, ketika menjalankan perintah Pandita Drona tersebut.

Sebagai seorang Guru Besar, mestinya Pandita Drona paham tentang kebenaran dan menyuarakan kebenaran. Akan tetapi Pandita Drona sudah menjadi pekerja gajian Kerajaan Hastina, beliau lebih dekat ke statusnya yang “dihidupi” yang patuh dan memberikan alasan pembenaran bagi tindakan pimpinan Hastina daripada sebagai pemandu pimpinan Hastina. Beliau telah menurunkan kebrahmanaannya menjadi sudra, pekerja tidak punya pilihan kecuali patuh terhadap majikannya. Dan itu adalah pilihan Pandita Drona. Para profesor yang mencari kedudukan dalam istana dan melupakan kebrahmanaannya, dan melupakan tugasnya sebagai pengajar tentang kebenaran, seharusnya cepat sadar. Para Doktor pada hakikatnya sudah dipercaya menjadi filosuf pada bidangnya, memahami bidangnya dan menerjemahkan filsafatnya dalam keseharian dan menyebarkannya kepada setiap orang, bukan bekerja sebagai seorang pesuruh dari penguasa.

Guru mempunyai tugas mulia, meningkatkan kesadaran murid-muridnya. Walaupun guru sekolah digaji pemerintah, ataupun digaji sebuah lembaga pendidikan, dia harus sekuat tenaga meningkatkan pengetahuan muridnya. Seorang guru sekolah yang hanya mengajari murid-muridnya untuk lulus ujian dengan segala cara, telah meremehkan tugas kebrahmanaannya. Seorang guru yang mendidik anak-anak kecil tentang kekerasan terhadap mereka yang tidak sama keyakinannya, telah melalaikan tugas kebrahmanaanya dan dia harus mempertanggung-jawabkan pada saat ketika mulutnya dikunci dan badannya berbicara tentang apa yang telah diajarkannya kepada muridnya sehingga sang murid menjadi orang yang gampang menggunakan kekerasan terhadap mereka yang berbeda keyakinan.

Pandita Drona sebagai brahmana bahkan bersedia menjadi eksekutif Hastina, sebagai senapati para kesatria Korawa dalam perang Bharatayuda. Keterikatan Drona terhadap keduniawian, bukan hanya keterikatannya pada status Guru Besar Kerajaan Hastina, akan tetapi juga keterikatannya kepada putranya semata wayang Aswatama. Hidupnya dipersembahkan kepada putera tercintanya. Ketika dalam perang Bharatayuda dia mendengar putranya meninggal, jantungnya berdebar keras, tubuhnya limbung dan dia ingin mengkonfirmasikan berita ini kepada Yudistira, muridnya dari Pandawa yang paling jujur yang kali ini menipunya. Dan pada saat dia jatuh karena kesedihan, Drestajumena, putra Raja Drupada membunuhnya.

Para Korawa yang masih hidup menyatakan bahwa Yudistira atas saran Sri Krishna, telah melakukan tindakan memalukan, dia telah mengabaikan etika peperangan para kesatria. Para Korawa telah lupa di mana etika mereka ketika membiarkan saja Pandawa yang akan dibakar saat tinggal dalam istana kayu? Di mana etika mereka melihat permainan dadu yang curan? Di mana etika mereka kala Drupadi dipermalukan oleh Dursasana?

Sebagai seorang Guru Besar Bangsa Hastina, mestinya Pandita Drona tahu bahwa kelompok Korawa menjalankan rencana jahat untuk membunuh Pandawa, tetapi dia membiarkan saja. Bahkan ketika Yudistira mempertaruhkan Pandawa dalam permainan dadu yang secara licik direkayasa Shakuni dia diam saja. Hukum tentang permainan dadu pada saat itu ada, dan ditegakkan sehingga Pandawa dibuang ke hutan selama 13 tahun, akan tetapi di manakah keadilan berada? Para leluhur telah mengungkapkan bahwa penegakan hukum tidak identik dengan penegakan keadilan, selama para penegak hukum sendiri tidak adil……..

Masyarakat kadang tidak paham bahwa persatuan bangsa, kekayaan alam, ataupun  kemerdekaan HAM kita sudah dipertaruhkan “dalam permainan dadu” oleh para elite demi kenyamanan kelompoknya. Sebagian Guru Besar sudah tahu hal tersebut, akan tetapi diam dan membiarkan saja. Seharusnya para Guru Besar berani menyuarakan kebenaran, akan tetapi banyak di antara mereka yang hanya bekerja mencarikan alasan pembenaran bagi pemegang kekuasaan. Mereka mencarikan dasar hukumnya tetapi tidak mencarikan penegakan keadilan……

Kita telah melihat banyak contoh kasus penggunaan hukum di tengah-tengah bangsa tetapi belum juga membangkitkan rasa keadilan. Mereka bersembunyi di balik ketentuan bahwa hakim adalah independen dan adalah hak dia untuk memutuskan suatu perkara, bahkan Mahkamah Agung pun tidak ikut campur. Akan tetapi sudahkah mereka yakin bahwa hakim tidak menyalahgunakan kekuasaan? Sudahkah mereka yakin bahwa hakim tersebut adil dan tidak memihak? Benar juga kata beberapa pakar bahwa keadilan itu tidak ada kecuali diperjuangkan untuk ada. Gandhi berjuang dengan cara ahimsa untuk mendapatkan kemerdekaan India. Dr. Martin Luther King Jr berjuang dengan cara non-violence untuk medapatkan kesamaan hak antara kulit hitam dan kulit putih.

Bapak  Anand Krishna di laporkan oleh mantan muridnya atas tindak pelecehan seksual. Tanpa adanya visum, tanpa adanya saksi-saksi yang melihat sendiri terjadinya pelecehan seksual tersebut, Bapak Anand di jadikan tertuduh dan di adili di persidangan. Kesaksian mereka yang bersaksi terhadap kejadian tersebut berubah-ubah. Namun proses persidangan sendiri tidak kalah janggalnya dengan proses pemeriksaan Bapak  Anand Krishna hingga di tetapkan menjadi tersangka, dimana persidangan hanya 10% saja yang menyangkut kasus pelecehan seksual, selebihnya adalah perihal pemikiran dan aktivitas Bapak Anand Krishna sebagai pejuang kebhinnekaan. Sehingga timbul dugaan kasus pelecehan seksual tersebut sengaja di timbulkan sebagai pintu gerbang  untuk membungkam visi dan misi Bapak Anand Krishna yaitu menegakan kebhinnekaan di Indonesia. Lihat http://freeanandkrishna.com

Semoga bangsa ini cepat sadar, dan selalu waspada terhadap para Drona yang membiarkan adharma merajalela demi kenyamanan yang telah diperolehnya……

Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.net/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

http://www.kompasiana.com/triwidodo

Mei 2011

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone