July 13, 2011

Renungan Bhagavatam: Raja Ambarisha Kekasih Narayana, Dan Kisah Resi Durvasa Yang Dikejar Sudarsana Chakra

Resi Shuka melanjutkan cerita tentang Bhagavata Purana kepada Parikesit, “Bhagavata adalah pohon besar. Sesungguhnya Tuhan, Narayana adalah benih dari pohon ini. Brahma adalah tanaman yang muncul dari benih sebagai tunas, pohon muda dan kemudian tumbuh menjadi pohon. Narada adalah batang pohon tersebut. Bhagawan Abhyasa adalah cabangnya. Bhagavata Purana, Kisah Ilahi yang suci adalah buah yang manis yang terletak pada cabang pohon tersebut.”

Ambarisha adalah putra Nabhaka yang menjadi raja bumi dengan kekayaan yang tak terukur. Walaupun demikian, Ambarisha mempunyai keyakinan bahwa hal-hal duniawi bersifat sementara dan hal-hal duniawi selalu mencoba memperdaya kebijaksanaan manusia. Oleh karena itu ia menganggap kenyamanan dunia sebagai mimpi. Ia menikmati semua kekayaannya dan kemuliaannya tetapi tidak terikat dengan dengan hal-hal yang bersifat duniawi. Ambarisha adalah seorang bhakta Narayana seperti halnya Nabhaka, ayahnya. Hidupnya selalu berada dalam ketenangan. Kata-kata yang diucapkannya hanya merupakan pujian terhadap Tuhan yang selalu penuh kelembutan. Seluruh perbuatannya hanya merupakan pelayanan  terhadap semua wujud Tuhan. Pada suatu ketika, Resi Vasistha, Asitha dan Gautama membantu sang raja dalam upacara Aswamedha di tepi sungai Saraswati dan Narayana muncul memberi karunia kepada sang raja dengan senjata pribadinya, “Sudarsana Chakra”. Bagi Ambarisha, Sudarsana Chakra adalah simbol dari Narayana. Sejak masih muda, saat Ambarisha melihat simbol Sudarsana Chakra, dia langsung merasa terhubungkan dengan Narayana……..

Dalam buku “Cakrawala Sufi 3, Kembara Bersama Mereka Yang Berjiwa Sufi”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 1999 disampaikan……… Simbol-simbol keagamaan seperti salib, kaligrafi dan arca sebenarnya merupakan alat-alat, sarana-sarana untuk meditasi. Para rishi, para bhagavan di pegunungan Himalaya bahkan menciptakan yantra atau alat-alat untuk mengantar kita ke alam meditasi. Santo Fransiskus menggunakan “Wujud Yesus” sebagai sarana meditasi. Ia menggunakan “salib” sebagai alat meditasi. Dengan memusatkan kesadarannya pada “Wujud Yesus di atas Salib” ia bisa melampaui “keakuan” -nya. Untuk mencapai “Kesadaran Tinggi” atau “Kesadaran Murni” – yang dalam bahasa gereja disebut “Kesadaran Kristus” – kesadaran-diri yang rendah harus terlampaui. Hari itu, Fransiskusberhasil melampaui dirinya. Ia bersatu, menyatu dengan “Kristus”. Hari itu, Fransiskus menerima “stigmata” – luka-luka suci Yesus. Bukan hanya kesadarannya yang melebur dalam Kesadaran Kristus, tetapi wujud fisiknya pun menyatu dengan Wujud Yesus yang ia jadikan sarana untuk meditasi. Hari itu, kedua tangan Fransiskus, begitu pun kedua kaki dan lambungnya, tiba-tiba mengeluarkan darah segar. Persis seperti yang pernah terjadi pada Yesus di atas salib. Hari itu, Fransiskus lenyap sudah, mati sudah – yang tersisa adalah “Kesadaran Kristus”. Kelak Gereja akan menjadikan “luka-luka suci”, “stigmata” ini, sebagai salah satu kriteria untuk mengangkat Fransiskus sebagai “santo”. Salah lagi – karena tanpa “luka-luka” yang dianggap suci, tanpa “stigmata” pun, seorang Fransiskus adalah “santo”. Ia tidak perlu “diangkat menjadi santo”. lronisnya, sering sekali yang memberi “santo” sendiri masih jauh dari ke-“santo”-an. Apa yang terjadi sebenarnya? Apa yang menyebabkan “luka-luka suci” tersebut? Apabila  Anda menggunakan sebuah “sarana” untuk alam meditasi, pada suatu tingkat kesadaran tertentu, ke- “aku”-an Anda akan melebur, menyatu dengan sarana tersebut. Fransiskus menggunakan “Yesus di atas Salib” sebagai sarana meditasi, sehingga ia melebur, menyatu dengan sarananya itu. Bukan hanya jiwanya saja, tetapi fisiknya pun bersatu dengan “Yesus di atas Salib”. Dan muncullah “luka-Iuka suci” yang kita sebut “stigmata”. Seorang meditator yang menggunakan “bayi Yesus” sebagai sarana meditasinya tentu saja tidak akan menerima “stigmata”. Kendati demikian, devosi dia, pencapaian dia tidak kurang, tidak kalah dari mereka yang memperoleh “stigmata”. Tanda-tanda yang diperolehnya berbeda. Ia akan menjadi polos, tulus dan lugu seperti seorang “bayi”! Mereka yang menjadikan “Bunda Maria” sebagai sarana meditasi akan memperoleh tanda yang berbeda lagi. Mereka menjadi sang at reseptif, feminin, penuh dengan belas kasihan – persis seperti Bunda Maria. Ramakrishna Paramahansa, guru Swami Vivekananda, pernah melakukan eksperimen. Setiap enam bulan sekali, ia mengubah sarana meditasinya. Kadang ia menjadikan zikir Islami sebagai sarananya, kadang mantra Hindu, kadang doa Kristen, kadang pemujaan Parsi. Dan ia menyimpulkan bahwa “pengalaman terakhir”, the ultimate experience yang ia peroleh sama sekali tidak berbeda – persis sama!……

Pada suatu ketika sang raja dan istrinya melakukan “Devadashi Vrata”. Ia melakukan tapa brata selama satu tahun penuh. Pada bulan Kartika, raja berpuasa selama tiga hari dengan didahului dengan mandi di sungai dan memuja Tuhan di hutan Madhuvana. Pada saat itu muncul Resi Durvasa dan segera sang raja menghormatinya dan menawarkan persembahan makanan di rumahnya. Resi Durvasa berterima kasih dan kemudian menyampaikan bahwa dia akan berendam di sungai dan baru keesokan harinya datang ke rumahnya. Resi Durvasa berendam di sungai sambil mengucap sebuah mantra yang sangat panjang. Beberapa lama kemudian sang raja berada dalam posisi yang sulit, beberapa saat lagi puasa Devadashi berakhir dan dia harus segera makan. Akan tetapi makan mendahului seorang Brahmana yang diundang makan juga merupakan sesuatu yang melanggar etika. Sang raja minta pendapat para resi istana yang menganjurkan untuk minum beberapa tetes air dan beberapa keping daun “Tulasi” untuk memenuhi syarat berbuka puasa. Sang raja melakukan hal tersebut dan menunggu Resi Durvasa datang ke rumahnya.

Resi Durvasa selesai melakukan ritual berendam di sungai mendatangi istana sang raja. Resi Durvasa tahu bahwa sang raja telah mendahului makan walau hanya dengan beberapa tetes air dan beberapa lembar daun Tulasi dan ini membuat dirinya tersinggung. Sang resi berkata, “Kamu telah mabuk dengan kekuasaan dan kekayaan sehingga menjadi angkuh dan tidak menghormati seorang resi. Aku akan memberi pelajaran kepada kamu!” Dan sang resi mencabut sebuah rambutnya dan menciptakan makhluk bernama Kirtya yang segera menyerang sang raja. Raja Ambarisha diam tak bergerak dan “Sudarsana Chakra” datang melindungi dan membakar makhluk tersebut. Resi Durvasa kagum sebentar dan kemudian cemas karena “Sudarsana Chakra” mengejar dirinya. Resi Durvasa berlari ke hutan akan tetapi senjata chakra tersebut selalu mengejarnya. Ia lari kedalam gua di Gunung Meru, akan tetapi sang chakra selalu mengejarnya. Akhirnya sang resi berlindung kepada Brahma yang berkata, “Aku adalah pembantu Tuhan dan aku tidak dapat mengendalikan senjata Tuhan!” Kemudian sang resi berlindung kepada Mahadewa yang berkata, “Datanglah kepada Narayana, sang pemilik senjata!” Sang resi kemudian menghadap Narayana dan berkata, “Wahai Tuhan lindungilah kami dari senjata-Mu yang mengejar-ngejar diriku. Aku telah berbuat salah dengan Raja Ambarisha dan senjata-Mu mengejar diriku ke mana pun kami pergi!”

Narayana tersenyum dan berkata, “Durvasa, kamu juga tidak melihat bahwa aku pun sama seperti Brahma dan Mahadewa? Kamu tidak memahami diri-Ku. Aku bukan orang bebas. Aku mungkin mampu melakukan apa pun yang aku kehendaki. Tetapi aku adalah milik bhakta-Ku. Mereka sudah meninggalkan segalanya dan memilih Aku sebagai sahabat mereka. mereka meninggalkan segalanya untuk-Ku. Istri, rumah, anak, keinginan dan hidup mereka tinggalkan untuk-Ku. Mereka tidak memikirkan dunia dan tidak tergiur surga. Yang mereka harapkan hanya rahmat-Ku. Sebagai balasan, Aku tidak akan pernah meninggalkan mereka. mereka sudah menaklukkan aku dengan cinta mereka. hinaan apa pun terhadap mereka adalah hinaan kepada-Ku.”

Dalam buku “Surah Surah Terakhir Al Qur’an Bagi Orang Modern”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2000 disampaikan……….. Dengarkan sekali lagi hadits yang indah ini “Bumi dan langit-Ku tidak dapat memuat-Ku. Tetapi hati hamba-Ku yang berimanlah yang lemah lembut dan tenang yang dapat memuat-Ku”. Keyakinan, kelembutan dan ketenangan, tiga hal ini yang anda butuhkan. Untuk menyadari kehadiran-Nya dalam kalbu anda, dalam hati anda, itu saja yang anda butuhkan. Selama anda masih mencari-Nya di luar, sesungguhnya anda belum berkeyakinan, anda belum cukup lemah lembut dan jelas belum tenang. Itu sebabnya anda mencari Dia kemana-mana. Kadang ke Ka’bah dan kadang ke Himalaya. Padahal Ia berada dalam hati kita sendiri. Keyakinan, kelembutan dan ketenangan pernahkah anda menyelami kata-kata kunci ini? Pernahkah anda menganggapnya sebagai kata-kata kunci? Untuk menyadari kehadiran-Nya dalam hati, anda harus berkeyakinan. Berarti pikiran anda tidak kacau lagi. Selama pikiran anda masih kacau, anda tidak bisa yakin sepenuhnya. Keyakinan anda, iman anda akan selalu mengalami pasang surut. Jadi pikiran anda harus terkendalikan. Kemudian, anda harus lembut. Dan yan dimaksudkan harus menjadi lembut adalah kepribadian anda, sifat anda. Perilaku anda harus lembut. Kata-kata yang anda ucapkan harus lembut. Cara anda mengucapkan harus lembut. Tetapi kelembutan ini harus muncul dari kesadaran. Bukan sesuatu yang dipaksakan. Bukan pula topeng yang harus anda pakai. Anda harus menjadi lembut karena “sadar” bahwa kekerasan tidak pernah bisa menyelesaikan masalah. Yang ketiga, dan terakhir, adalah ketenangan. Ketenangan adalah rasa. Anda harus mengembangkan rasa dalam diri anda. Jangan mengembangkan otak melulu………. Selama ini, kepribadian kita memang agak pincang. Otak diisi dengan segala macam pengetahuan, tetapi rasa tidak pernah dikembangkan. Dan jika rasa tidak berkembang, belum berkembang, seseorang tidak akan pernah kenal kasih. Lalu tanpa kasih anda tidak akan pernah bisa mengasihi. Anda akan takut pada Tuhan, tetapi tidak bisa mengasihi-Nya. Ia yang mengaku dirinya sudah “cerah” sesungguhnya masih belum apa-apa. Ia masih angkuh, masih sombong. Ia masih hidup dalam kegelapan. Ia yang cerah akan membagi “pencerahan” tanpa gembar-gembor. Ia tidak akan memasang iklan. Ia tidak mengharapkan ucapan terima kasih dari merka yang memperoleh bingkisan “pencerahan” dari dirinya. Ia yang cerah akan membagi “pencerahan” tanpa gembar-gembor. Ia tidak akan memasang iklan. Ia tidak mengharapkan ucapan terima kasih dari merka yang memperoleh bingkisan “pencerahan” dari dirinya. Bahkan, mereka tidak pernah “merasa” telah membagikan sesuatu kepada siapapun juga. Dan, sebenarnya mereka memang tidak “memberikan” atau “membagikan” sesuatu apapun juga. “Kehadiran” mereka sudah merupakan berkah. Dimanapun mereka berada, disana akan terjadi pencerahan………..

Narayana melanjutkan, “Durvasa, Ambarisha mengingat dan menyadari kehadiran-Ku setiap saat. Dia berserah diri penuh kepada-Ku, bahkan saat diserang Kirtya makhluk ciptaanmu, dia tak menghindar, dia telah pasrah sepenuhnya kepada-Ku, dia yakin pada kehendak-Ku dan bukan kehendaknya, sehingga senjataku Sudarsana Chakra otomatis melindunginya. Durvasa, kamu pun juga bhakta-Ku, tetapi Aku tidak bisa meminta chakra ini untuk melepaskanmu. Aku minta kamu turun ke bumi minta maaf kepada Ambarisha. Barangkali Sudarsana Chakra mau mendengarkan permintaannya.”

Dalam buku “Narada Bhakti Sutra, Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2001 disampaikan……… Menyadari kehadiran serta keterlibatan-Nya setiap saat tidak segampang berdoa sekian kali setiap hari atau setiap minggu, karena saat ini apa yang kita anggap berdoa hanya melibatkan fisik kita. Lapisan-lapisan kesadaran mental dan emosional pun sering tidak terlibat. Itu sebabnya saat berdoa, kita masih bisa berpikir tentang hal-hal yang tidak berkaitan dengan ibadah kita.  Lalu bagaimana berserah diri sepenuhnya? Bagaimana berdoa dengan khusuk? Dalam sutra ini, Narada menyebut tiga hal – keinginan, amarah dan keangkuhan. Saat berdoa pun ketiga-tiganya masih ada. Misalnya berdoa untuk memperoleh sesuatu. Entah sesuatu itu rumah di Simprug atau kapling di Surga, keinginan tetaplah keinginan. Kemudian, amarah. Bila ada keinginan yang tidak terpenuhi, doa pun bisa menjadi luapan amarah. Dan, keangkuhan… Saat berdoa, “aku” masih hadir. “Aku” berdoa. “Aku” rajin berdoa……… Narada sadar betul bahwa membebaskan diri dari keinginan, amarah dan keangkuhan itu tidak gampang, “maka”, nasihat dia, “alihkan semuanya kepada Dia. Keinginan, amarah dan keangkuhan pun diarahkan kepada-Nya.” Apa maksud Narada? Inginkan Tuhan. Marahi ketidaksadaran diri. Dan biarkan “kali  aku” bergabung, menyatu dengan “Lautan aku”. Untuk itu, para bijak di Timur menciptakan simbol-simbol tertentu, sarana-sarana untuk membantu kita. Sarana itu bisa berupa sebuah patung Krishna, Kristus dan Buddha, atau kaligrafi Indah……. Selama kita masih belum mampu melihat-Nya di mana-mana, simbol-simbol ini memang dibutuhkan………

Demikian pandangan Bapak Anand Krishna tentang berdoa. Pandangan yang menyadarkan setiap orang agar memberdaya diri sendiri sehingga dapat melakukan doa yang benar, agar kesadarannya dapat meningkat. Sayang pandangan Bapak Anand Krishna disalahpahami oleh beberapa pihak yang kemudian membuat rekayasa untuk membuat Bapak Anand Krishna berhenti berbicara tentang kesadaran. Silakan lihat…..

http://www.freeanandkrishna.com/in/

Resi Durvasa kemudian datang kepada sang raja dan bersujud minta maaf atas kesalahannya dan mohon agar Sudarsana Chakara membebaskan arah dari dirinya. Sang raja sangat malu dengan tindakan sang resi yang penuh hormat kepadanya, dan kemudian berdoa kepada sang chakra, “Sudarsana, aku menghormat kepadamu. Engkau adalah Agni, Surya, Chandra dansemua bintang-bintang. Engkau adalah senjata yang disenangi Narayana yang adalah samudera kemurahan hati. Engkau menjadi sangat agung sehingga semua senjata tidak berdaya melawan kemuliaanmu. Aku minta padamu untuk memaafkan Bapa Resi Durvasa.” Sudarsana Chakra menjadi dingin dan tidak mengejar Resi Durvasa lagi.

Sang resi berterima kasih kepada sang raja dan akhirnya mengetahui bahwa sang raja sangat menghormatinya. Selama Resi Durvasa dikejar Sudarsana Chakra, dia telah lari ke tiga dunia selama satu tahun. Dan selama satu tahun itu sang raja tidak makan sedikit pun, rupanya sang raja menunggu Resi Durvasa yang diundang makan datang baru sang raja makan. Akhirnya mereka makan bersama……….

Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.net/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

http://www.kompasiana.com/triwidodo

http://twitter.com/#!/triwidodo3

Juli 2011

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone