July 4, 2011

Renungan Bhagavatam: Raja Chitraketu, Hubungan Kekerabatan Dalam Dunia Bersifat Sementara

Parikesit bertanya kepada Resi Shuka mengapa Vritra, seorang asura bisa mencapai kaki Narayana dengan jalan bhakti. Padahal dewa yang mempunyai genetika satvik dan para resi yang mempunyai pikiran jernih, bhaktinya tidak sebesar Vritra. Di dunia ini banyak makhluk dan sedikit di antaranya adalah manusia. Dan di antara seluruh manusia hanya sedikit yang berada di jalan dharma. Dan di antara mereka yang berada di jalan dharma sangat sedikit yang berpikir moksha sebagai tujuan hidupnya. Dan di antara 1.000 orang yang mengharapkan moksha hanya 1 orang yang akan mencapai kaki Tuhan. Oleh karena itu Parikesit bertanya kepada Resi Shuka mengapa Vritra yang asura dan memerangi dewa dapat mencapai Narayana. Resi Shuka tersenyum dan kemudian mencaritakan latar belakang kehidupan Vritra.

Adalah seorang raja dari negeri Surasena bernama Chitraketu. Chitraketu mempunyai segalanya, istri-istri cantik, istana megah dan negeri sejahtera, hanya satu yang tidak dipunyainya, yaitu seorang putra. Pada suatu hari Resi Angirasa putra Brahma datang berkunjung mengajarkan brahmawidya kepadanya. Dan, setelah mendengar masalah sang raja, dia membantu sang raja dengan memberikan ramuan ilahi buatan Tvasta, ayah dari Visvarupa. Ramuan tersebut diberikan kepada istri tertuanya dan dalam beberapa bulan kemudian, sang istri hamil. Sang Raja dan istrinya sangat berbahagia dengan kelahiran putranya. Istri-istri raja yang lain menjadi iri dan pada saat ibunya lengah mereka meracuni sang putra sehingga sang putra meninggal dunia. Raja Chitrakethu dan istrinya menjadi sedih sekali sehingga hidup mereka berantakan karena kesedihan akibat matinya sang putra. Negeri tersebut menjadi suram, karena rakyatnya bingung dengan raja yang sedang menderita kesedihan yang sangat dalam.

Resi Angirasa berkunjung lagi dengan mengajak Resi Narada, tetapi raja Chitraketu tidak mengenali mereka lagi karena kesedihannya. Resi Angirasa memberi nasehat, “Wahai Raja, tidak seharusnya raja bersedih. Raja merasa mempunyai hubungan dengan sang putra, akan tetapi apakah sang putra juga merupakan putranya di kehidupan sebelumnya dan sebelumnya lagi? Apakah sang putra juga putranya di kehidupan yang akan datang dan yang akan datang lagi? Dalam perjalanan waktu Raja telah bersama sang putra, kemudian perpisahan telah datang. Kita semua hidup di dunia dalam waktu sementara dan kemudian kita meninggal. Jadi mengapa bersedih? Tuhan mencipta, memelihara dan kemudian mendaur-ulang, ini adalah hukum alam. Ikatan antara badan dengan atman adalah karena ketidaktahuan tentang atman. Sekali engkau melepaskan avidya, ketidaktahuan ini maka dukacitamu akan lenyap!”

Dalam buku “Bhagavad Gita Bagi Orang Modern, Menyelami Misteri Kehidupan”, Gramedia Pustaka Utama  2002……. Gita 2:23-28, menyampaikan…….. Senjata tidak dapat membunuh-Nya, Api tidak dapat membakar-Nya, Air tidak dapat membasahi-Nya dan angin tak dapat mengeringkan-Nya. Dia tidak dapat dilukai ataupun dibakar.dia tidak dapat dibasahi ataupun dikeringkan. Ketahuilah bahwa Dia Abadi Ada-Nya – Maha Ada, Tak tergoyahkan, Tak beubah. Dia berada untuk selama-lamanya. Dia tak dapat dilihat (oleh panca indera), dipahami atau diubah. Memahami hal tersebut kamu seharusnya tidak berkabung untuk badan ini. Sekalipun kamu mempercayai bahwa Dia lahir dan mati secara terus menerus, kamu tetap tidak mempunyai alasan untuk meratapinya. Ia yang lahir harus mati, ia yang mati harus lahir. Jangan gelisah, karena hukum ini memang tak terelakkan. Makhluk-makhluk yang kau lihat ini, wahai Arjuna, pada awal mulanya Tak-Nyata, pada masa pertengahannya terasa Nyata dan pada akhirnya menjadi Tak-Nyata lagi. Lantas apa gunanya kamu bersedih hati?………

Raja Chitraketu yang sedang sedih tersinggung dengan nasehat Resi Angirasa, “Engkau siapa yang berbicara dengan kata menghibur kepadaku. Orang-orang dengan jiwa bebas sepertimu mengembara di seluruh dunia untuk berbagi pengetahuan Kebenaran yang menipu orang-orang bodoh seperti diriku. Aku memang seperti orang gila karena duka cita yang kausebut keterikatan dengan anakku. Coba bantulah aku, berilah aku kebahagiaan.”…….. Resi Angirasa berkata, “Wahai raja aku adalah Angirasa yang pernah datang kepadamu membantu kau mendapatkan seorang putra. Dan bersamaku adalah Resi Narada salah seorang saudaraku. Kau adalah seorang panembah Tuhan dan tidak seharusnya kau menderita. Ilmu Brahmawidya yang pernah kuberikan kepadamu belum matang dan kau masih terikat dengan keinginan memiliki seorang putra. Dan kini kau menjadi semakin menderita karena kehilangan seorang putra. Wahai Raja, perempuan, rumah, kekayaan, kemuliaan, obyek indera, istana, teman dan lain-lainnya semuanya adalah penyebab penderitaan. Pernahkah kau memperhatikan awan yang nampak seperti istana dan kemudian menjadi buyar. Apakah kau bersedih karenanya? Bukankah kau pernah bermimpi yang membahagiakan dan kemudian ada yang merusak kebahagiaanmu dalam mimpi tersebut. Dan, setelah beberapa saat kau sadar bahwa itu semua cuma mimpi. Apakah kau perlu meratapi mimpimu? Kerajaan, kekayaan, istri dan putra semuanya ini adalah obyek seperti yang kau lihat dalam mimpi. Mereka tidak ada saat kau terjaga, manakala kau terbangun dalam keadaan yang benar, keadaan Brahmi. Bangunlah dari mimpi! Tidak ada di dunia ini yang kekal yang riil, yang benar, yang sejati.”

Resi Narada berkata, “Aku akan memberimu mantra dari Upanishad. Setelah mengulanginya selama satu minggu kau akan daapat melihat Adhisesa. Kamu kemudian dapat melepaskan diri dari dualitas dan mencapai keadaan jiwa yang bebas.”…….. Kemudian dengan kekuatan yoganya, Narada membuat mereka yang hadir dapat melihat jiwa sang putra yang telah mati tersebut. Narada berkata kepada jiwa sang putra, “Lihatlah ayah ibumu yang sedih akibat kematianmu. Kembalilah ke dalam tubuhmu dan terimalah nasibmu sebagai seorang pangeran, yang mempunyai kekayaan dan kerajaan yang akan diberikan kepadamu oleh ayahmu!”………. Jiwa sang putra berkata, “Jiwa ilahi karena terlibat dalam karma, maka dia dilahirkan di dalam dunia sebagai anak manusia, atau makhluk lainnya. Seperti emas yang diperjual belikan dan melalui beberapa orang, sang jiwa sendiri tidak terikat dengan siapa yang memilikinya. Hubungan antara emas dan pemiliknya adalah khayal, ilusi, hanya bersifat sementara. Pertimbangkan satu batang emas yang hari ini ditempatkan dalam kotak milik seorang pelit. Padahal kemarin batang emas tersebut ditempatkan dalam kotak tukang emas. Kemudian esok hari akan ditempatkan dalam kotak penyimpanan harta seorang raja. Masing-masing orang berkata bahwa emas itu berada dalam kotak miliknya. Tetapi mereka tidak menyadari bahwa emas itu bukan milik kotak atau pemilik kotak. Emas berada dalam kotak-kotak tersebut hanya sementara saja. Demikian juga atman tidak mempunyai keterikatan dengan wadah yang dihuninya, dan dengan demikian tidak ada penderitaan atau kesenangan baginya. Ia tidak senang atau berduka kala dipindahkan dari wadah satu kepada wadah yang lain”……. Dan, setelah berkata demikian  jiwa sang putra menghilang………

Bapak Anand Krishna memberikan wejangan……. The spirit is always free, it cannot be bound. It is the body, the flesh, that is subject to bondage. The form of bondage changes, but it is bondage all the same. Realize the spirit within, and you are free. In that freedom, you cannot but love and be compassionate. It knows no other laguage. The rishis remind us time and again. “That spirit thou art” – Tat twam asi. (Ruh selalu bebas, tidak dapat diikat. Adalah tubuh, daging yang terikat. Wujud keterikatan berubah, tetapi tetap keterikatan juga. Sadari bahwa dirimu adalah ruh dalam diri dan kamu bebas. Dalam kebebasan itu, kamu tak bisa tidak hanya bersifat cinta dan kasih, tak ada bahasa lainnya. Para resi mengingatkan kita berkali-kali bahwa ruh adalah dirimu – itulah dia).

Para penyaksi kejadian tersebut menjadi sadar dengan kata-kata jiwa sang putra. Mereka bebas dari duka cita  dan kemudian melakukan upacara penyempurnaan jasad sang putra. Ibu-ibu tirinya yang telah meracunnya melakukan tapa untuk menebus kesalahan mereka. Resi Angirasa dan Resi Narada kemudian meninggalkan sang raja dan istrinya…….. Raja Chitraketu kemudian melakukan meditasi di sungai Yamuna dan dalam meditasinya dia melihat kedatangan Resi Narada bersama Resi Angirasa yang memberikan mantra yang dijanjikannya. Selama 7 hari 7 malam sang raja membaca mantra  dan berpuasa makan kecuali minum air putih. Pada malam ke 7 dia menjadi Vidyadhara, pikirannnya terang dan bersih. Kemudian dia dapat melihat Adhisesa salah satu wujud Tuhan. Adhisesa kemudian mengajarkan Brahmawidya kepada raja Chitraketu. “Seluruh alam semesta diliputi oleh-Ku. Aku adalah penglihat, yang dilihat dan proses melihat itu sendiri. Seorang manusia manakala ia terjaga maka dunia mimpi tidak ada baginya. Pada saat dia bermimpi maka dunia jaga tidak ada baginya. Pada saat dia tertidur lelap maka  baik dunia jaga dan dunia mimpi tidak ada baginya. Akan tetapi dalam tiga keadaan tersebut ada Sesuatu yang berkata, ‘aku terjaga, aku bermimpi, aku tertidur lelap’. Yang berkata itu adalah atman dan itu adalah kamu dan aku. Aku di sana dan di dalam semuanya. Dan sekali kau menyadari kebenaran ini tidak ada lagi penyebab penderitaan atau kesenangan bagimu. Bagi kamu semuanya menjadi mirip karena semuanya adalah atman. Keadaan yang membuat kamu melihat segalanya diliputi oleh aku, adalah keadaan Brahmi. Kapan saja kebenaran dilupakan, kemudian jiwa terlihat dalam dunia obyek dan melupakan keadaan alami sebenarnya”…….. Setelah berkata demikian, kemudian Adhisesa menghilang……..

Dalam buku “Panca Aksara, Membangkitkan Keagamaan Dalam Diri Manusia”, Anand Krishna, Pustaka Bali Post, 2007 disampaikan…….. Ternyata, apa yang terjadi, perubahan yang terjadi pada badanku, pikiran serta perasaanku, status sosial serta ekonomi – semuanya tidak serta merta merubah-“ku”. Ketika kau menyadari hal itu, maka kau terbebaskan dari belenggu “aku” yang kecil dan bersifat individual. Kau berhadapan dengan Sang Aku Sejati, Aatmaa. Ketika “aku” menyadari hal itu, maka “aku” pun terbebaskan dari belenggu – dan pada saat itu juga Sang Aku Sejati “terungkap” dengan sendirinya! Wow, setiap orang yang terbebaskan dari individualitas – menemukan Sang Aku yang satu dan sama. Luar biasa! Maka, para resi merumuskan: “Itulah Kebenaran Hakiki”. Itulah Satya, Al Haqq……….

Suatu ketika saat Raja Chitraketu naik kereta pemberian Narayana lewat gunung Kailasa tempat tinggal Mahadewa, dia melihat Mahadewa yang bersinar sedang memangku istrinya dikelilingi oleh para resi dan semua pengikutnya. Raja Chitraketu berkata, “Ini merupakan suatu kejutan, Mahadewa yang dijunjung tinggi  manusia karena kebijaksanaannya sedang bercinta dengan isterinya di muka umum.” Sang Mahadewa hanya tersenyum mendengar perkataan sang raja. Tak seorang pun dari tamu dan muridnya yang berbicara. Tetapi Sati, istrinya tidak bisa menerima kekasaran tamunya dan menggerundel “Manusia ini sangat besar, menguasai brahmawidya, pengetahuan keilahian, dan sedang berpikir untuk memberikan pelajaran etika kepada orang seperti kami.” Sati melanjutkan dengan perkataan lebih keras, “Kamu menganggap semua yang hadir di sini, Resi Narada, Resi Brigu termasuk bodoh dan tidak mengetahui etika. Kukutuk kamu agar lahir sebagai Asura karena keangkuhanmu.”

Raja Chitraketu turun dari kereta dan bersimpuh di depan Sati dengan segala kerendahan hati. “Bunda Dunia, aku menerima kutukanmu. Apa yang ditetapkan para dewa, apa yang diucapkan sebagai kutukan, pada kenyataannya adalah sebagai akibat dari perbuatan diri pada masa yang  lalu. Manusia terperangkap dalam maya, dan tidak mengetahui bagaimana melepaskan diri dari jeratan kelahiran dan kematian yang tak berkesudahan. Atman menjauhi putaran ini. Paramatma menciptakan makhluk bersama mayanya. Ia yang memberi keterikatan, Ia pula yang membebaskan dari keterikatan. Ia tidak pernah terlibat. Ia tak pernah mencintai atau membenci orang. Ia tak punya saudara atau teman. Segalanya nampak mirip baginya. Rasa kebalikannya juga tak ada. Dia berada di luar dualitas. Bagaimana mungkin suatu kemarahan menemukan suatu tempat di dalam-Nya? Tidak Bunda, aku tidak marah karena Bunda mengutuk aku. Tidak juga aku minta Bunda menarik kutukan. Jika kata-kataku menyakiti hatimu aku mohon maaf.”

Setelah memberikan penghormatan, Raja Chitraketu melanjutkan perjalanan dengan senyuman di wajahnya. Semua yang hadir masih ternganga oleh kata-kata sang raja. Mahadewa membalas senyuman dan berkata pelan kepada sang dewi, “Sekarang apakah kau tidak melihat keagungan seorang bhakta Narayana? Tidak ada apa pun yang akan mempengaruhi dia. Surga, neraka, kutukan, berkat semua sama bagi bhakta Narayana. Lihatlah, keadaan menjadi sangat hening. Semua yang hadir sedang menahan napas, angin pun menahan diri untuk tidak bertiup, matahari tetap bersembunyi di balik awan, induk burung pun menunda terbang menikmati tindakan agung salah seorang makhluknya”. Mahadewa melanjutkan, “Ia akan menemukan kedamaian di mana saja. lihatlah kedamaian pada wajah Raja Chitraketu yang telah kauhukum. Dia dapat membalas kutukanmu tetapi hal tersebut tidak dia lakukan.”…….. Kemarahan sang dewi pun berkurang……….

Raja Chitraketu telah mencapai keadaan jiwa yang bebas. Bapak Anand Krishna pernah memberikan sebuah nasehat…….. Dalam Dhammapada 10:134, Buddha menjelaskan keadaan seorang yang mencapai nirwana selagi masih hidup. Dalam bahasa sufi, ia telah mati sebelum mati. Ia telah mencapai kesempurnaan hidup, atau moksha – tidak setelah kematian, tapi ketika masih berbadan.  Ia tidak berbunyi seperti kaleng kosong. Dari satu ciri itu saja kita sudah bisa menilai diri, apakah kita sudah mencapai keadaan itu atau belum? Apakah kita sudah mencapai kesempurnaan atau tidak?  Buddha menjelaskan bahwa orang seperti itu sudah bebas dari segala macam kegelisahan. Ia tidak terlibat dalam perang mulut sekalipun, apalagi dalam konflik lainnya. Ia tidak memperkarakan orang, ia sadar bila dirinya ingin bahagia dan bebas dari penderitaan – maka orang lain pun sama. Mereka pun ingin bebas dari penderitaan. Maka ia tidak menyebabkan penderitaan pada seorang pun. Demikianlah kebenaran abadi!…….. Menegakkan dharma adalah tranpersonal, kegiatan para buddha. Menegakkan ego adalah personal, kegiatan mereka yang masih bisa perang mulut dan saling menjatuhkan demi kepetingan diri. (Dhammapada 10:133-134: Janganlah berbicara kasar kepada siapapun, karena mereka yang mendapat perlakuan demikian akan membalas dengan cara yang sama. Sungguh menyakitkan ucapan kasar itu, yang pada gilirannya akan melukaimu. Apabila engkau dapat berdiam diri bagaikan sebuah gong pecah, berarti engkau telah mencapai Nibbana, sebab keinginan membalas dendam tak terdapat lagi dalam dirimu)……….

Bhikku Sanghasena, pendiri Mahabodhi International Meditation Center sangat menghargai tindakan Bapak Anand Krishna yang mengapresiasi semua agama. Bhikku Sanghasena memberikan ilustrasi……. Semua agama disampaikan dalam “bahasa” berbeda, nampaknya berbeda tetapi semuanya berawal dari seorang yang mendapat pencerahan purna. Kasih murni, cinta murni…….. Seorang dokter sedang memeriksa pasien, dia akan memeriksa tubuh yang sakit secara mendalam, dokter tak akan bilang, kamu agama Islam maka sakitmu akan kuobati, kamu agama Kristen, Katholik kamu saya obati sebagian, kamu beragama Hindu saya tidak mau mengobati. Dokter saja menganggap sama manusia apalagi manusia yang sudah mengalami pencerahan purna dia akan menganggap semua manusia sama…… Krishna, Muhammad, Jesus, Buddha, Guru Nanak dan lain sebagainya adalah dokternya dokter, selalu menganggap manusia sama……. Sayang pandangan Bapak Anand Krishna tersebut sering disalah pahami oleh sebagian kelompok. Bhikku Sanghasena sampai mengadakan doa khusus di centernya bagi keselamatan Bapak Anand Krishna. Silakan lihat:

http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=3815

http://www.freeanandkrishna.com/in/

Karena kutukan Sati, Raja Citraketu dilahirkan kembali pada saat Tvasta mengadakan upacara persembahan untuk membalas kesalahan Indra yang telah membunuh Asura Visvarupa, putranya. Raja Chitraketu lahir sebagai Asura Vritra yang memimpin para asura berperang melawan Indra yang memimpin para dewa…….. Sati pada akhirnya membunuh dirinya saat diabaikan Daksha, ayahnya yang melakukan upacara untuk menghina Mahadewa. Dan akhirnya Sati dilahirkan lagi sebagai Parvati…..

Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.net/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

http://twitter.com/#!/triwidodo3

Juli 2011

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone