July 10, 2011

Renungan Bhagavatam Resi Markandeya Dan Rahasia Maya

Bhagavata Purana dikisahkan dari waktu ke waktu, dari Bhagawan Abhyasa ke Shuka dan murid-muridnya. Kita mengetahui bahwa lewat Resi Shuka, Parikesit mendengar kisah Bhagavata Purana. Romaharsana, murid Abhyasa menyampaikan kisah kepada Ugrasrava, putranya dan kemudian Ugrasravamenyampaikannya kepada Saunaka. Saunaka bertanya kepada Ugrasrava, “Wahai Resi Ugrasrava, aku mendengar bahwa Bhagawan Abhyasa mendapatkan kisah Purana ini dari Brahma. Kemudian aku mendengar tentang kisah banjir besar, akhir pralaya dari kalpa sebelumnya dan dilanjutkan dengan dengan kisah Matsya Avatara. Yang membingungkan aku adalah kisah Resi Markandeya putra Markandu dari Dinasti Bhargawa(Bhrigu). Kita menyaksikan kehidupannya dan kita tidak pernah mengalami banjir besar. Bagaimana mungkin ada kisah Resi Markandeya bisa selamat dari banjir besar sepanjang Pralaya?” Resi Ugrasrava tersenyum dan kemudian menyampaikan kisah Resi Markandeya……

Resi Markandeya putra Markandu adalah seorang yang menguasai Veda dan juga pertapa yang sempurna. Pikirannya tenang dan terfokus pada Narayana. Indra meragukan kekuatan tapa sang resi dan ingin mengganggunya. Ia mengirimkan rombongan penggoda yang terdiri dari para Gandharva untuk menyanyi, para Apsara untuk menari, dan Manmatha, dewa cinta sebagai pemimpin rombongan. Markandeya sedang berada dalam yoga dan apsara cantik Pujikastali menari di depannya. Manmatha memungut busurnya yang terbuat dari tebu dengan anak panah berkepala lima dan menunggu mata Markandeya terbuka yang dengan segera dilepaskannya. Akan tetapi semua usaha Manmatha dan yang lain sia-sia. Mereka melarikan diri dengan penuh kengerian melihat mata Markandeya. Bagaimana pun Markandeya tidak mengutuk mereka, itulah salah satu sifat agung dalam dirinya.

Selanjutnya Narayana datang dalam wujud Nara dan Narayana yang berkulit hitam dan putih.  Markandeya menghormati mereka dan berkata, “Tuhan, Engkau meliputi alam semesta. Engkau adalah Brahma, Mahadewa, Wisnu dan juga Atman dalam diri manusia. Bentuk kembar ini telah Kau ambil untuk kepentingan dunia.” Nara dan Narayana kemudian berkata, “Tapa dan bhaktimu kepada kami telah menjadikanmu seorang Siddha dan aku sangat terhibur olehmu. Mintalah apa pun dan aku akan mengabulkannya!” Markandeya menjawab, dapatkah manusia mempunyai keinginan lainnya setelah menyaksikan-Mu? Bagaimana pun adalah tidak hormat menolak perintah Tuhan. Oleh karena itu mohon diberitahukan kepada kami “Maya” yang menyebabkan ketidaktahuan dalam pikiran manusia. Nara dan Narayana tersenyum dan berkata, “Semoga demikian!” dan mereka lenyap.

Resi Markandeya meneruskan meditasinya di tepi sungai Puspabhadra dengan tekun setiap hari. Pada suatu hari, mendadak angin kencang bertiup yang berubah menjadi angin topan bersamaan dengan turunnya hujan yang sangat lebat. Bumi nampak tertelan oleh samudera. Ia menemukan dirinya terapung-apung diatas permukaan samudera. Ia merasa sakit, sedih dan menderita dan datang rasa takut mengalami kematian. Resi Markandeya telah menaklukkan kematian, ia telah memahami kematian, akan tetapi dalam keadaan demikian rasa takut menyelimutinya. Mendadak Markandeya melihat pohon Asvattha dikejauhan yang terlihat sangat indahnya. Dalam salah satu daunnya ia melihat seorang anak bayi yang sangat agung. Sang bayi memegang kakinya dan menempatkannya pada mulutnya seperti sedang mencium bunga teratai. Markandeya memperhatikan anak bayi tersebut dan segala rasa sakit, derita dan takut musnah. Markandeya merasakan nafas anak tersebut menghisapnya masuk lubang hidungnya. Manakala markandeya berada di dalam tubuh anak bayi tersebut dia menemukan dunia seperti aslinya sebelum topan datang. Ia melihat surga dan langit bertaburan bintang, samudera dan pulau-pulau. Ia melihat para dewa dan para asura. Ia melihat Himalaya dan Sungai Puspabhadra.

Tiba-tiba ia dibuang oleh hembusan nafas sang anak dan menemukan dirinya berada di permukaan samudera lagi. Anak dan pohon Asvattha lenyap dan Markandeya  menemukan bahwa dia sedang berbaring di tempat tinggalnya. Mahadewa dan Parwati dan seluruh pengawalnya mendekati Markandeya dan memberkatinya. Markandeya segera menyembah mereka dan menyampaikan penghormatan kepada mereka. Mahadewa kemudian berkata, “Karena bhaktimu terhadap Narayana, kamu sudah menerima siddhi di dalam segalanya. Kamu telah diberitahu Tuhan untuk mengetahui Maya-Nya. Kamu akan hidup abadi dan kamu akan terkenal sebagai Puranacharya. Manusia memperoleh manfaat dari cerita tentang Tuhan yang kamu ceritakan kepada mereka.” Mahadewa dan seluruh pengiringnya segera menghilang. Dan Resi Markandeya menghabiskan seluruh waktunya berpikir berulang-ulang tentang pengalaman unik yang dialaminya. Banjir besar dan anak yang berbaring dalam daun Asvattha………

Penjelasan bahwa waktu itu hanya ilusi pikiran atau maya menurut Kitab Vasistha Yoga adalah sebagai berikut:

Kecepatan cahaya adalah sekitar 300.000 km/detik sedangkan kecepatan suara sekitar 344 m/detik atau 1238 km/jam. Jika kita bergerak cepat mendekati kecepatan cahaya, maka benda-benda yang bergerak nampak bergerak secara perlahan.  Ketika kecepatan gerakan kita sama dengan kecepatan cahaya maka benda yang bergerak akan nampak diam. Kecepatan waktu diasumsikan sama dengan kecepatan cahaya. Berdasarkan hal tersebut, maka jika kita bergerak melebihi kecepatan cahaya maka kita kita bisa pergi ke masa depan atau masa lalu. Itulah dasar pijakan dari film-film fiksi tentang masa lalu dan masa depan. Sebagai contoh, seseorang mengendarai pesawat ruang angkasa dengan kecepatan 87% kecepatan cahaya, maka waktu akan melambat menjadi setengahnya. Artinya, pertambahan umur seseorang setelah melakukan perjalanan tersebut akan menjadii 1/2 kali lebih lambat di bandingkan dengan orang-orang yang ada dibumi. Dengan demikian, orang-orang yang ada di bumi akan menjadi lebih tua dan lebih berkeriput dibanding orang yang melakukan perjalanan luar angkasa tersebut.

Kecepatan lari manusia tercepat sangat jauh lebih lambat dibandingkan dengan kecepatan suara yang keluar dari mulut manusia. Kecepatan suara manusia, jauh lebih lambat dari  kecepatan daya lihat mata manusia yang sama dengan kecepatan cahaya. Walaupun demikian, kecepatan pikiran manusia jauh melampaui kecepatan cahaya. Daya pikir manusia dapat menampakkan berbagai gambaran dalam sekejap tanpa harus melihatnya. Walaupun kecepatan pikiran sudah sedemikian cepatnya, ternyata masih ada yang jauh melampau kecepatan pikiran manusia yaitu kesadaran sejati. Sebelum segala gambaran pikiran timbul, kesadaran sejati telah ada jauh sebelumnya.

Apabila kita bergerak dengan kecepatan tak terbatas, maka waktu itu tidak eksis. Hidup hanya berupa kumpulan gambar-gambar sejak  kecil hingga dewasa. Emosi, suka duka tidak eksis lagi karena hidup hanya sekadar kumpulan gambar. Waktu yang dibutuhkan untuk melihat gambar-gambar masa lalu hanya dalam hitungan detik. Sehingga dalam hitungan detik pikiran bisa melihat gambar kehidupan puluhan tahun di alam nyata. Mau bepergian ke mana saja langsung sampai. Apabila waktu tidak eksis, maka evolusi manusia dari materi menjadi tumbuhan, ke hewan dan manusia pun hanya sekadar pikiran. Bahkan sejak awal penciptaan sampai pralaya pun hanya sekadar pikiran. Apakah itu yang disebut maya atau ilusi kehidupan? Dalam mimpi, cerita yang panjang pun hanya dialami selama beberapa menit. Itupun karena kita masih menggunakan rasa, emosi dalam mimpi tersebut. Bila hanya sekadar melihat tanpa merasakan maka waktu akan jauh lebih singkat. Dalam buku “Shambala, Fajar Pencerahan di Lembah Kesadaran”, Anand Krishna, PT Gramedia Pustaka Utama, 2000 disebutkan,  1 menit di Shambala adalah sekitar 5 tahun di bumi. Sehingga berada di Shambala bisa melihat masa lalu dan masa depan.

Dalam kitab Vasistha Yoga disampaikan bahwa Ada 3 jenis akash, yaitu “bhutakash”- tahap elemen Bhutakash adalah bumi dimana semua raga yang tidak abadi bersemayam., “chitakash”- tahap mental pikiran, dan “chidakash”- tahap kesadaran. Alam Chitakash adalah hasil kekosongan, jadi seharusnya alam tersebut juga kosong. Alam tersebut hanyalah konsep pemahaman pikiran saja atau sankalpa. Memori bukanlah suatu unsur, memori adalah nama lain dari pemahaman pikiran, atau sankalpa dan merupakan salah satu akash jalan pikiran. Memori hanyalah sebuah refleksi sebuah sankalpa. Seandainya memori hanyalah sebuah sankalpa atau akash, maka alam semesta ini pastilah sankalpa juga. Engkau dan seluruh alam semesta ini adalah kekosongan, akash rupa. Semua ini dirasakan berdasarkan ilusi. Bagaimana mungkin memori alam semesta yang tidak nyata menjadi nyata. Seandainya dunia ini nyata maka memoripun akan bersifat nyata. Akan tetapi hal tersebut telah diciptakan di dalam sebuah atom yang bersifat pemahaman pikiran yang ilusif di dalam chidakash.

Dalam Kitab Vasistha Yoga, Dewi Saraswati menjelaskan kepada Ratu Leela: “Aku telah menjelaskan perincian kelahiranmu. Semua manifestasimu ini adalah ilusi. Dunia yang kau rasakan dan alami ini adalah delusi yang berasal dari ilusi. Sebenarnya tidak ada yang telah diciptakan. Dunia ini tidak nyata, lalu bagaimana mungkin memorinya dapat berwujud nyata? Semua pengalaman ini ibaratnya seseorang yang mengalami tiga tahap sang waktu di dalam mimpinya. Begitu sadar dari mimpinya semua ini menghilang. Sudah kujelaskan kepadamu, bahwa berdasarkan sankalpa maka waktu yang panjang tersebut dapat dialami dalam waktu yang singkat. Semua yang kau saksikan termasuk aku dan dirimu sendiri adalah ilusi. Sewaktu seseorang meninggal dunia maka iapun masuk ke tahap tidak sadar, dan setelah kesadarannya kembali ia merasakan raga, keluarga, rumah, semesta, dan lain sebagainya, semuanya berada dihadapannya. Semua ini adalah pemahaman pikirannya yang memungkinkan waktu yang panjang dirasakan di dalam waktu yang singkat, karena semesta itu sendiri adalah modifikasi dari pemahaman pikiran-pikiran ini. Sebenarnya tidak ada yang lainnya selain Brahman. Seseorang yang paham akan kebenaran ini tidak akan berilusi lagi dan akan menghasilkan Sang Atman semata.” Resi Vasishtha berkata kepada Sri Rama, “Demikianlah Ramaji, semua bentuk ini adalah pengejawantahan dari chitta, mental pikiran. Karena terbiasa dengan wujud kasar duniawi maka wujud halusnya terlupakan. Chitta itu ibaratnya sebuah cermin, demikian idenya, demikian juga refleksinya. Setelah mencapai tahap non-eksistensi, maka tidak akan lagi terlihat wujud yang kasar. Begitu mencapai tahap non-eksistensi, Atman maka insan tersebut akan mampu menyaksikan berbagai semesta.”…………

Dalam Svarnadvipa Institute of Integral Studies, Bapak Anand Krishna menyampaikan wejangan bagaimana caranya menjauhkan diri dari perbudakan maya…….. Seorang pedagang yang sedang berkunjung ke kota lain boleh menikmati segala kenyamanan dan kemewahan hotel dimana ia sedang bermalam. Tapi, dia selalu ingat tujuannya berada di kota asing itu. Ia tidak larut dalam kenyamanan dan kenikmatan itu. Pagi-pagi ia sudah bangun. Meninggalkan kamar hotel, dan pergi ke pasar untuk berdagang. Ia tidak memiliki keterikatan dengan hotel itu, dengan segala kenyamanan kamarnya. Itulah sebab ketika urusannya selesai ia pun langsung checkout, tidak menunggu diusir, dan pulang ke “negeri asalnya”. Kiranya inilah arti ayat 11 dalam surat al-Fath, “harta dan keluarga kami merintangi”. Qur’an Karim mengingatkan para mukmin untuk tidak terikat dengan kenyamanan dan kenikmatan duniawi, dan untuk senantiasa mengingat tujuan hidup. Yaitu “berjuang” dalam, dan dengan kesadaran ilahi. Gusti tidak membutuhkan pembelaan, Ia pun tidak membutuhkan senapan kita, roket dan bom kita untuk memusnahkan dunia ini. Jika ia menghendaki maka dalam sekejap jutaan nyawa bisa melayang, planet ini bisa musnah hancur-lebur………. Ayat ini adalah pelajaran bagi mukmin, bereka yang beriman. Ayat ini dimaksudkan bagi hamba Allah, dan bukan bagi budak dunia. Jika kita puas dengan perbudakan, maka itu adalah pilihan kita. Dan, konsekuensinya adalah resiko kita sendiri. Tuhan maha menyaksikan. Ia menjadi saksi akan setiap pikiran, perasaan, ucapan dan tindakan kita. Keselarasan antara apa yang ada di hati dan kita buat mengantar kita ke svarga, fitrah kita, kodrat kita (innalillahi…) Jannah – itulah Idulfitri.  Ketidakselarasan mengantar kita ke narka, untuk mengulangi pelajaran yang belum selesai, dan itulah jahannam, itulah Yaumid din – wilayah kekuasaan Yama, mayapada. Yama, Maya – jelas? Simran, constant remembrance, zikir tanpa tasbih dan tanpa suara yang tak pernah putus – itulah antidote untuk maya. Ketika itu terjadi Yama tidak berkuasa lagi……….

Demikian wejangan Bapak Anand Krishna agar masyarakat dapat mengingkatkan kesadaran dengan memberdaya dirinya. Sayang pandangan Beliau tentang kebhinnekaan kadang mendapat hambatan dari beberapa kelompok yang tidak senang dengan kebhinnekaan. Silakan lihat…..

http://www.freeanandkrishna.com/in/

Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.net/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

http://www.kompasiana.com/triwidodo

http://twitter.com/#!/triwidodo3

Juli 2011

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone