August 14, 2011

Renungan Bhagavatam: Dhenukasura, Melepaskan Diri Dari Perbudakan Hawa Nafsu

Raja Parikesit masih termenung memikirkan kisah Krishna kecil yang mewujud sebagai para anak gembala, para anak sapi, pakaian dan peralatan para anak gembala. Sang Raja teringat Upanishad yang menyampaikan bahwa Tuhan meliputi segala sesuatu, mestinya bukan hanya kala itu Sri Krishna mewujud menjadi banyak hal. Bukankah segala sesuatu di alam ini pada hakekatnya adalah proyeksi dari Tuhan? Mata batin Raja Parikesit dapat merasakan bahwa apa pun yang nampak olehnya, semuanya adalah proyeksi Tuhan dan dia wajib melayani semuanya sebaik-baiknya……..

Para sufi juga bersaksi bahwa tak ada Yang Lain kecuali Allah. Einstein pun berkata bahwa semua materi pada hakikatnya adalah energi, yang ada hanya energi. Dia adalah Energi Agung. Dalam buku “Shri Sai Sacharita”, Sai das, Anand Krishna Global Co-Operation Indonesia, 2010 disampaikan wejangan seorang Sadguru untuk melampaui dualitas……… Makanan yang kauberikan kepada anjing itu telah Kuterima. Anjing itupun wujud-Ku, sebagaimana hewan-hewan lain. Ia yang melihat-Ku dalam setiap makhluk adalah kekasih-Ku. Sebab itu lampauilah dualitas yang disebabkan oleh rupa dan nama. Layanilah setiap makhluk hidup, sebagaimana kau melayani anjing itu, karena Aku berada di mana-mana, di dalam diri setiap makhluk. Lihatlah Tuhan dalam diri setiap makhluk inilah non-dualitas. Inilah inti pesan setiap Guru Sejati. Kitab-kitab suci pun mengajarkan kita hal yang sama. Tiada sesuatu yang beda antara ajaran-ajaran yang tertulis dan apa yang disampaikan oleh para Sadguru………..

Raja Parikesit tergugah dari renungannya, kala Resi Sukhabrahma datang, duduk di depannya dan melanjutkan kisahnya………

Kala Krishna mencapai usia enam tahun Krishna dan Balarama sudah dipercaya untuk menggembala sapi, mereka tidak menggembalakan anak sapi lagi.  Krishna, Balarama dan teman-teman  sebayanya setiap hari menggembalakan sapi ke bukit Govardhana yang banyak rumputnya. Kemudian mereka bermain-main di tepi hutan. Kali ini Balarama agak capek dan tidur-tiduran di bawah pohon. Krishna memijit-mijit betis Balarama. Dan beberapa temannya melepaskan lelah di dekat mereka dan beberapa masih tetap bermain di hutan.

Sebuah lingkungan kehidupan yang berbahagia. Tanaman dan hewan banyak memberikan banyak persembahan kepada makhluk lainnya. Lebah membuat madu berlebihan yang jauh melebihi kebutuhan dirinya sebagai cadangan sewaktu tanaman sedang tidak berbunga. Kelebihannya dipersembahkan kepada manusia. Ayam bertelur sebutir setiap hari, dan tidak semuanya dipergunakan untuk meneruskan kelangsungan jenisnya. Sapi juga memproduksi susu melebihi kebutuhan untuk anak-anaknya. Padi di sawah menghasilkan butir-butir gabah yang jauh melebihi kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan kehidupan kelompoknya. Pohon mangga juga menghasilkan buah mangga yang jauh lebih banyak dari yang diperlukan untuk mengembangkan jenisnya. Pohon singkong memberikan pucuk daunnya untuk dimakan manusia, akar ubinya pun juga dipersembahkan, mereka menumbuhkan singkong generasi baru dari sisa batang yang dibuang. Sifat alami alam adalah penuh kasih terhadap makhluk lainnya. Lebih banyak memberi kepada makhluk lainnya. Sikap yang altruistis memikirkan kepentingan orang lain selaras dengan alam. Egolah yang membuat manusia lebih mementingkan dirinya sendiri.

Dalam buku “The Gita Of Management, Panduan Bagi Eksekutif Muda Berwawasan Modern”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2007 disampaikan………. Alam tidak selalu “memperoleh”. Ia lebih banyak memberi. Apa sebenarnya perolehan alam? Apa yang dapat kita berikan padanya? Barangkali “perhatian” – itu saja. Lalu, apakah kita selalu memperhatikan alam? Tidak juga. Malah lebih sering mengabaikannya, tidak memperhatikannya. Kendati demikian, ia tidak kecewa. Ia tetap menjalankan tugas serta kewajibannya sebagai “pemberi”. Segala perolehan kita sesungguhnya datang dari alam, atau setidaknya “lewat” alam……….

Pada waktu itu, Sridharma, Subala dan Stoka, 3 orang anak gembala yang sedang bermain mendekati Krishna dan Balarama. Mereka berkata, “Wahai Krishna dan Balarama, tidakkah kau membaui harum buah-buahan yang terbawa oleh angin ke tempat ini? Mereka berasal dari Hutan Talavana. Hutan Talavana penuh pohon buah-buahan, akan tetapi hutan tersebut dijaga oleh Dhenukasura, Asura berwujud keledai dan gerombolannya. Mereka tidak makan dan menikmati buah-buahan yang ada di hutan tersebut, akan tetapi mereka menjaganya dengan ketat. Bahkan para binatang pun tidak berani memasuki  wilayah hutan tersebut. Wahai Krishna dan Balarama, tolonglah kami untuk mendapatkan buah-buahan dari hutan tersebut. Bila kalian menemani, kami berani mengambilnya.”

Demikianlah Krishna dan Balarama menemani para gembala kecil masuk ke Hutan Talavana. Balarama menggoyang pohon dan buah-buahan yang telah masak pada jatuh diambil oleh para gembala kecil. Adalah Dhenukasura dalam wujud keledai mendatangi mereka, dengan napas yang terengah-engah dan suara penuh kemarahan dia menyepak Balarama. Balarama melawan dan dalam suatu kesempatan memegang kaki belakang Dhenukasura. Kemudian keledai tersebut diputar-putarkannya di sekeliling tubuhnya dan dilemparkan ke pohon. Pohon tersebut roboh dan kemudian menimpa pohon disebelahnya dan Dhenukasura  mati. Seberkas sinar keluar dari tubuhnya dan jatuh di kaki Krishna dan lenyap. Seluruh gerombolan keledai mengepung mereka, akan tetapi mereka semuanya dapat dipegang kakinya oleh Krishna dan Balarama dan dilemparkan ke pohon-pohon. Seluruh gerombolan keledai mati. Sejak saat itu Hutan Talavana “terbuka”, orang-orang dan binatang-binatang berani memasukinya…….

Dalam kehidupan sebelumnya, Dhenukasura adalah salah satu dari seratus anak-anak Maharaja Bali yang bernama Sahasika. Pada suatu hari dia bersenang-senang dengan dengan 10.000 istrinya bersuka ria, melakukan perjalanan darmawisata. Para pengawalnya berada didepan dan dibelakang mereka, serta ada juga beberapa di kiri dan kanan rombongannya. Dalam kesenangan mereka, mereka lupa suara musik dan nyanyian yang diselingi gelak tawa mereka mengganggu tapa Resi Durvasa. Dhenuka dan rombongannya melihat Resi Durvasa mendatangi mereka. Resi Durvasa nampak lemah dan berjalan pun memakai tongkat, akan tetapi dia nampak dikelilingi aura yang menakutkan. Bahkan seluruh dunia pun takut dengan kutukan sang resi. Resi Durvasa berkata, “Wahai Pangeran, engkau terlalu lama mengikuti hawa nafsumu. Engkau merasa sebagai orang yang kaya dan berkuasa, akan tetapi sejatinya engkau adalah budak yang patuh pada hawa nafsumu. Oleh karena itu dalam kehidupanmu kemudian kau akan menjadi budak yang patuh dari manusia, kau akan lahir sebagai Keledai. Setelah kau lama menjalani kehidupan sebagai keledai, akan datang masanya kau masuk Hutan Talavana dan menjadi penguasa di sana. Hanya Krishna Avatara yang dapat membebaskanmu, akan tetapi Narasimha Avatara telah berjanji kepada Prahlada, kakek buyutmu , bahwa avatara sesudahnya tidaka akan membunuh keturunan Prahlada. Maka kau akan dibebaskan oleh saudaranya yang bernama Balarama!” Dhenuka mohon maaf atas tindakannya yang mengganggu tapa sang resi. Dan kemudian mohon nasehat untuk memperbaiki tingkah lakunya di kemudian hari………

Dhenukasura mewakili simbol ketidaktahuan manusia dalam spiritual. Dia mewakili sifat materialistik. Sifat ini harus dilenyapkan dari diri manusia. Keledai mempunyai kemiripan dengan kuda, hanya tidak sebesar kuda. Ia kelihatan malas dan bodoh tetapi patuh. Pada zaman dulu, banyak orang-orang kaya dan para pejabat menggunakan keledai sebagai tunggangan dalam perjalanan, bahkan Gusti Yesus pun pernah naik keledai. Keledai adalah binatang yang lembut sifatnya, jinak, sabar dan tidak pernah kelihatan marah meskipun membawa beban yang begitu berat. Ia kelihatan bodoh, tetapi sangat mengasihi majikannya. Terkadang keledai datang menemui majikannya saat sang majikan berada dalam kerumunan orang banyak……..

Dalam kisah ini Bhagawan Abhyasa menceritakan tentang hawa nafsu. Dalam buku “Mawar Mistik, Ulasan Injil Maria Magdalena”, Anand Krishna, PT Gramedia Pustaka Utama, 2007 disampaikan………. Panca indra, pikiran dan tubuh adalah alat yang kita miliki untuk berinteraksi dengan dunia. Janganlah membiarkan mereka memperalat kita. “Perbudakan” pada tubuh terjadi ketika kita memikirkan makanan melulu……  bukan hanya “makanan” yang masuk ke dalam tubuh kita lewat mulut, tetapi juga yang masuk lewat telinga, lewat hidung, lewat mata, lewat perabaan, lewat getaran-getaran pikiran………… Melepaskan diri dari perbudakan pada tubuh tidak berarti melepaskan tubuh, tidak berarti meninggalkan tubuh. Melepaskan diri dari perbudakan berarti mengangkat diri sebagai majikan. Promoting and upgrading oneself. Promosi ini bukanlah sedekah. Promosi ini adalah prestasi. Kita meraihnya sebagi hasil dari kerja keras……..

Dalam buku “Bersama J.P Vaswani Hidup Damai & Ceria”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2002 disampaikan……. Jangan menganggap bahwa yang arogan, yang bisa menindas, yang marah-marah itu yang menang. Tidak, ia pun kalah. la sedang diperbudak oleh hawa nafsunya. la sedang dikendalikan oleh naluri hewaninya………. Ada orang yang bertanya kepada seorang bijak, “Apakah yang membedakan seorang manusia dengan binatang?” Sang bijak menjawab, “Pengendalian diri.” Binatang tidak dapat mengendalikan dirinya, harus mengikuti nalurinya. Seorang manusia dapat mengendalikan keinginan-keinginan dan naluri hewaninya bukannya diperbudak oleh mereka. Sayang, banyak di antara kita yang menjadi budak nafsu dan sifat-sifat kebinatangan yang lain…….

Perbudakan nafsu bukan hanya dialami individu seperti Dhenukasura, akan tetapi sebuah bangsa pun bisa mengalami perbudakan. Dalam buku “Telaga Pencerahan Di Tengah Gurun Kehidupan”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 1999 disampaikan……. Perbudakan yang berkepanjangan bisa membisukan nurani manusia. Manusia mulai terbiasa dengan keadaan yang menimpanya. la mulai berkompromi dengan keadaan. la menganggap perbudakan itu sebagai kodratnya. Jangan mengira manusia masa kini sudah sepenuhnya bebas dari perbudakan. Manusia masih budak. la diperbudak oleh ideologi-ideologi semu. la diperbudak oleh dogma-dogma yang sudah usang. Ia diperbudak oleh paham-paham dan kepercayaan-kepercayaan yang sudah kadaluwarsa. Tetapi ia tetap juga membisu. Jiwanya sudah mati. la ibarat bangkai yang kebetulan masih bernapas………… Manusia masa lalu masih beruntung. la diperbudak oleh seorang raja atau seorang majikan. Relatif mudah membebaskan manusia dari perbudakan semacam itu. Musa berhasil melakukan hal itu. Keadaan manusia masa kini lebih parah, lebih buruk. la diperbudak oleh suatu sistem-suatu sistem yang membuat dia menjadi mesin. Musa pasti juga heran melihat keadaan para budak. Mereka menderita, tetapi mereka diam. Mereka tidak berani bicara. Mereka tidak berani memberontak. Kenapa demikian? Karena mereka sudah terbiasa hidup dalam perbudakan. Mereka tidak tahu, kebebasan itu apa. Harus ada seorang Musa, harus ada seseorang yang bebas dan memahami arti kebebasan untuk membuat mereka sadar akan perbudakan mereka. Tugas seorang Musa memang sangat berat. la harus membangunkan mereka, membangkitkan mereka, menghidupkan kembali jiwa mereka yang sudah mati. la harus membuat mereka sadar akan arti kebebasan, nilai kemerdekaan………

Demikian nasehat Bapak Anand Krishna untuk memerdekakan diri kita dari perbudakan. Sayang pandangan Beliau tidak disukai oleh beberapa kelompok yang kemudian berupaya mendiskreditkan nama Beliau. Silakan lihat……

http://www.freeanandkrishna.com/in/

Untuk mengakhiri perbudakan dari hawa nafsu, kita bisa memilih menjadi hamba dari hati nurani, patuh pada hati nurani. Biarlah kita menjadi seekor keledai, keledai yang patuh pada Sang Raja yang mengendarai diri kita dan kita akan mengikuti kendalinya menuju istana-Nya. Selama ini kita telah menjadi kuda bebas yang berniat menuju ke istana Sang Raja, akan tetapi rumput dan dedak di jalan simpang menarik kita, dan kita tidak pernah sampai tujuan. Hawa nafsu sering menunggangi kita menuju jalan yang melingkar-lingkar…….. Dalam buku “The Ultimate Learning, Pembelajaran Untuk Berkesadaran”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2010 disampaikan…… Ya, akhirilah perbudakanmu, karena hanyalah engkau sendiri yang dapat mengakhirinya. Tak ada orang lain yang dapat membantumu karena kau tidak memperbudak pada orang lain. Kau memperbudak pada hawa nafsumu sendiri, pada pancaindramu sendiri. Tak seorang pun dapat membebaskan dirimu dari belenggu keterikatan dan kebodohan. Karena belenggu-belenggu itu adalah ciptaanmu sendiri. Kau telah menciptakan keterikatan bagi diri sendiri dan kau pula yang mesti mengakhirinya. Bagaimana caranya? Aku telah jatuh dalam lumpur hawa nafsu pancaindra. Pertama-tama dengan menyadari keadaanmu. Sadarilah perbudakan dan kejatuhanmu. Kau berada dalam lumpur. Kita semua berada dalam lumpur. “Aku telah jatuh dalam lumpur hawa nafsu pancaindra”. Inilah kesadaran awal. Tanpa adanya kesadaran awal ini, sungguh tidak ada harapan bagi kita. Dan, kesadaran ini muncul ketika kita mulai jenuh, ketika kita mulai susah bernapas. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa menjadi jenuh? Bagaimana pula susah bernapas? Bukankah selama ini kita sudah terbiasa hidup dalam lumpur dan bernapas dalam lumpur? Ya, selama ini kita memang sudah terbiasa hidup dan bernapas dalam lumpur. Lumpur ini adalah lumpur pancaindra. Kita sibuk melayani segala kemampuan pancaindra. Sekarang, angkatlah kepalamu sedikit saja. Lihatlah ke atas, ke kanan, ke kiri. Ada dunia yang indah di balik kuala lumpur tempat kau tinggal. Kebebasanmu di dalam kuala lumpur ini adalah kebebasan yang semu…… “Gusti, aku tak mampu menggapai-Mu, namun Kau dapat menemukanku”. Ini adalah jeritan jiwa. Ini adalah rintihan jiwa yang sudah tersadarkan. Ini adalah ratapan diri yang sungguh-sungguh ingin bebas dari perbudakan. “Aku tidak dapat keluar dari lumpur ini. Tapi jika Kau membantu, jika Kau berkenan untuk mengulurkan tanganMu, pasti aku dapat keluar dari lumpur ini.” Permintaan mesti keluar dari lubuk hati yang terdalam. Kita mesti bersungguh-sungguh dalam permohonan kita. Kita mesti melepaskan keangkuhan kita. Keangkuhan apa pula? Aku sungguh tidak dapat membantu diriku. Ketika pemikiran seperti ini muncul, hancurlah ego kita. Saat itu juga kita meraih kembali ketulusan seorang anak kecil, ketulusan yang selama ini hilang. Aku tak berdaya, Engkau Mahadaya. Aku hanyalah debu di bawah kaki suci-Mu. Angkatlah diriku dan berkahilah daku dengan kasih-Mu! Kita kembali menjadi anak, dalam arti kata kita meraih kembali kepolosan kita, kejujuran kita, kesahajaan, dan kesederhanaan kita. Berarti apa? Kita terbebaskan dari cengkeraman pancaindra, hawa nafsu, ambisi, dan keinginan. Kita tidak lagi mengejar bayangan, dan mulai menatap Ia Hyang Terbayang! ……..

Untuk Kebahagiaan Sejati, Ikuti Program Online Spiritual Trasnpersonal Psychology http://oeschool.org/e-learning/

Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.net/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

http://www.kompasiana.com/triwidodo

http://twitter.com/#!/triwidodo3

Agustus 2011

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone