
Seseorang yang belum dapat mengendalikan nafsunya akan tamak dengan urusan kenyamanan dirinya, keluarganya dan kelompoknya dan tidak mempedulikan orang, keluarga, atau kelompok lain. Dia jauh dari sifat Karim atau pengasih kepada sesama. Dalam buku “Jalan Kesempurnaan melalui Kamasutra”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2004 disampaikan……… Napsu atau passion hendaknya tidak selalu dikaitkan dengan seks. Obsesi dengan harta atau kekayaan, dengan nama atau ketenaran atau kekayaan, dengan nama atau ketenaran dan dengan jabatan atau kedudukan semuanya adalah passion, napsu. Semuanya ini terjadi apabila kita belum mengalami peningkatan kesadaran. Mereka yang terobsesi oleh seks, harta, nama, jabatan tidak akan pernah mengalami cinta dalam kehidupan. Mereka belum tahu cinta itu apa. Mereka belum punya cinta dalam diri mereka. Dari seks, dari birahi ke cinta dan dari cinta ke kasih, peningkatan kesadaran ini yang dibutuhkan oleh dunia kita saat ini……….
Apabila pikiran seseorang telah menjadi jernih, maka dia akan dapat mengendalikan nafsunya. Dia tetep memenuhi kebutuhan dasar bagi hidupnya, tetapi tidak tamak dan cara pandangnya akan meluas. Dalam buku “Otak Para Pemimpin Kita Dialog Carut Marutnya Keadaan Bangsa”, Anand Krishna dkk, One Earth Media, 2005 disampaikan……… Pikirannya menjadi lebih jernih. Cara pandangnya meluas. Ialah manusia yang memiliki visi. la dalam perjalanan menuju kesempurnaan diri. Dalam diri mereka insting-insting hewani sudah mereda, tidak menggebu-gebu lagi. la masih harus tetap makan, minum, tidur, bahkan melakukan hubungan seks. Tetapi tidak “terbawa”, oleh semua itu. Tidak “larut” di dalamnya. Mereka tidak lagi memikirkan diri dan kelompok, tetapi memikirkan kepentingan yang lebih luas. Bagi mereka “keutuhan serta persatuan bangsa” hanyalah anak tangga pertama untuk mewujudkan “kesatuan dan persatuan dunia” – bahkan untuk mencapai Yang Tunggal!………
Setiap saat manusia selalu dihadapkan pada beberapa pilihan sebelum melakukan sesuatu. Seseorang yang masih egoistis akan memilih perbuatan yang menyenangkan diri pribadinya dalam arti menyenangkan pancaindera dan mental-emosionalnya. Akan tetapi seseorang yang kesadarannya telah meningkat akan memilih perbuatan yang mulia, yang bermanfaat bagi kepentingan orang banyak. Memang pilihan tersebut terasa tidak enak pada awalnya, akan tetapi pada akhirnya kita akan mendapatkan kepuasan batin yang besar. Dalam buku “Shri Sai Satcharita” disampaikan bahwa………. Dalam hidup ini kita memang selalu berhadapan dengan dua pilihan tersebut, shreya atau preya, yang memuliakan atau yang menyenangkan. Seorang pencari jatidiri hendaknya memilih shreya, atau yang memuliakan. Dan, tidak memilih preya, yang menyenangkan. Preya, yang menyenangkan, adalah pilihan mereka yang masih sepenuhnya berada dalam alam kebendaan. Para bijak selalu memilih “yang memuliakan”. Mereka yang tidak bijak memilih “yang menyenangkan” karena keserakahan dan keterikatan mereka dengan dunia benda……..
Dalam buku “Panca Aksara, Membangkitkan Keagamaan Dalam Diri Manusia” juga disampaikan bahwa……… Kita masih ingat tutur Sri Krishna dalam Bhagavad Gita, “Ada yang menyenangkan atau preya, dan ada yang memuliakan atau shreya.” Dharma adalah sesuatu yang memuliakan. Sesuatu yang menyenangkan tidak selalu memuliakan. Tetapi, sesuatu yang memuliakan sudah pasti menyenangkan pula, walau di awalnya tidak terasa demikian. “Sesuatu yang menyenangkan pada awalnya memang terasa manis, tetapi akhirnya terasa pahit. Sebaliknya, sesuatu yang memuliakan, awalnya barangkali terasa pahit – akhirnya manis.” Dharma adalah sesuatu yang memuliakan………
Memang secara alami, atau berdasarkan naluri kita akan memilih yang nikmat, akan tetapi dalam perkembangannya kita sadar bahwa perbuatan mulia akan lebih memberikan kepuasan batin. Dalam buku “Masnawi Buku Kelima, Bersama Jalaluddin Rumi Menemukan Kebenaran Sejati” disampaikan……… Bila disuruh memilih antara “yang baik” dan “yang nikmat” biasanya manusia akan memilih “yang nikmat”. Itu sebabnya, seorang anak harus diberi iming-iming kenikmatan permen, “nasinya dihabiskan dulu”, kalau sudah habis, mama berikan permen”. Permen kenikmatan sesungguhnya hanyalah iming-iming. Tidak penting. Yang penting adalah nasi. Bila masih kecil, pemberian iming-iming masih bisa dipahami. Celakanya, kita semua sudah kebablasan. Sudah dewasa, sudah bukan anak-anak lagi, tetapi masih membutuhkan iming-iming “permen kenikmatan”. Kemudian, demi “permen kenikmatan” kita akan melakukan apa saja. Jangankan nasi, batu pun kita makan. Asal mendapatkan permen. Demi “permen kenikmatan”, kita tega mengorbankan kepentingan orang lain. Kitabersedia memanipulasi apa saja. Agama dan kepercayaan akan kita gadaikan bersama suara nurani………
Salah satu program e-learning dari One Earth College (http://www.oneearthcollege.com/) adalah program Neo Transpersonal Psychology (http://stponline.oneearthcollege.com/) yang membahas tentang peningkatan kesadaran dari keadaan personal, ego-based menuju keadaan transpersonal, integensia-based. Kemudian program lainnya adalah Neo Interfaith Studies (http://interfaith.oneearthcollege.com/) yang mempunyai tujuan agar para peserta program dapat memberikan apresiasi terhadap keyakinan yang berbeda. Kemudian ada satu program lagi yaitu Ancient Indonesian History And Culture (http://history.oneearthcollege.com/) yang dimaksudkan agar para peserta program dapat mengetahui dan menghargai sejarah awal Kepulauan Nusantara. Ketiga program tersebut sebenarnya saling kait-mengkait.
Berikut ini adalah contoh materi dari program Neo Interfaith Studies yang berkaitan dengan preya, shreya dan peningkatan kesadaran……. Al-Ankabut bercerita tentang apa yang terjadi pada orang-orang berilmu-pengetahuan, kemudian mengikuti pikiran/perasaan saja dan menggali lubang bagi diri sendiri. Qur’an Karim menjelaskan bahwa mereka pandai dan memiliki visi pula “berpandangan jauh”. Mereka tidak goblok. Tapi tetap binasa, karena menuhankan pikiran/perasaan. Mereka memilih jalan preya, yang menyenangkan hati, “pokoknya dengan melakukan ini aku gembira, aku senang. Aku bisa ini, bisa itu”. Mereka adalah denawa. Sifat mereka berseberangan dengan manusia. Manusia berarti “yang telah melampaui pikiran/perasaan”. Selama masih berhamba pada pikiran/perasaan kita belum manusia. Orang yang terkendali oleh pikiran/perasaan “merasa” bahwa ia berkuasa, padahal sesungguhnya ia dikuasai oleh perasaannya sendiri. Ia pikir dapat menciptakan apa saja, padahal tidak juga. Qur’an mengingatkan bahaya dibalik pikiran/perasaan seperti itu. Maka, berulang-ulang kita diingatkan supaya tidak takabur. Sesungguhnya selama ini kita memang selalu berhamba pada pikiran/perasaan. Meditasi mengajak kita untuk melampaui keduanya. Maka pikiran/perasaan, mental/emotional layer of consciousness, melempar kartu as-nya, “Akulah segalanya. Aku tahu semua. Aku bisa berbuat apa saja.” Inilah “bisikan syaitan”, inilah “godaan mara” seperti yang dialami juga oleh Siddhartha……… Agar tidak terkendali oleh pikiran/perasan dan tidak takabur, Baginda Rasul memberi jalan, dengan “berhamba”, dengan “mengabdi”. Memproklamasikan kemerdekaan dari perbudakan oleh pikiran/perasaan dan berhamba, dengan mengabdi pada Allah – inilah jalan shreya, jalan yang mulia. Kita selalu berhadapan dengan pilihan antara preya dan shreya, yang menyenangkan dan yang mulia. Ada juga yang berpikir/merasa, “aku masih belum selesai dengan preya, aku masih harus memuaskan diri dulu.” Ini adalah penyakit lama, bukan penyakit baru. Dalam setiap masa kehidupan kita selalu tergoda oleh preya, babakbelur, bertobat, tapi ketika menemukan shreya, pikiran/perasaan berontak dan kita tersesatkan olehnya. Preya tidak pernah puas, kita mau melayaninya sampai kapan?
Mengabdi kepada Tuhan dilakukan dengan melayani makhluk Tuhan. Dengan melayani makhluk Tuhan maka seseorang sudah melepaskan diri dari kepentingan pribadi, dari kesadaran personal menuju kepentingan orang banyak, kesadaran transpersonal. Dalam buku “Karma Yoga bagi Orang Moderen, Etos Kerja Transpersonal untuk Zaman Baru”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2011 disampaikan…….. Cukup satu langkah saja, dan kau sudah menjadi makhluk transpersonal! Langkah itu adalah: Apapun yang kau lakukan, pikirkan kepentingan orang lain juga. Jika kau tidak bisa membantu, setidaknya janganlah sekali-kali mencelakai orang lain karena perbuatanmu. Jangan sampai usahamu, pekerjaanmu, bisnismu, industrimu berkembang dan menjadi besar diatas landasan penderitaan orang lain. Apakah mungkin? Sangat mungkin. Dan, sesungguhnya hanyalah kemungkinan ini yang dapat menyelematkan planet bumi dari kehancuran………
Bila seseorang telah mencapai kesadaran transpersonal, maka dia akan melakukan pekerjaan demi kepentingan orang banyak karena dia memang senang melakukan hal tersebut. Dalam buku “Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan” disampaikan bahwa……. la berkarya bukan bagi dirinya sendiri, bukan bagi keluarganya saja – tetapi bagi seluruh umat manusia. Ia berkarya bagi sesama makhluk. la berkarya bagi Semesta. la tidak memikirkan hasil. Seluruh kesadaran dipusatkannya pada apa yang dikerjakannya. Sehingga hasilnya pun sudah pasti baik. Tidak bisa tidak. Maka, tidak perlu dipikirkan. la berkarya dengan semangat persembahan dan pengabdian pada Hyang Maha Kuasa. Maanava Sevaa atau Pelayanan terhadap Sesama Manusia, bahkan Sesama Makhluk, adalah Maadhava Sevaa atau Pengabdian terhadap Hyang Maha Kuasa. Dia tidak beramal-saleh atau berdana-punia demi pahala atau kenikmatan surgawi. Dia melakukan hal itu karena “senang” melakukannya……..
Untuk Kebahagiaan Sejati, Ikuti Program Online Spiritual Trasnpersonal Psychology
http://www.oneearthcollege.com/
Situs artikel terkait
http://www.oneearthmedia.net/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo
http://www.kompasiana.com/triwidodo
http://blog.oneearthcollege.com/
http://twitter.com/#!/triwidodo3
Desember 2011
