
Indonesia terdiri atas 17.504 pulau, di dalamnya termasuk 9.634 pulau yang belum diberi nama dan 6.000 pulau yang tidak berpenghuni. Di Indonesia juga terdapat tiga dari enam pulau terbesar di dunia. Yaitu, Pulau Kalimantan Sumatra dan Papua. Dengan perairan seluas 93.000 km2 dan panjang pantai sekitar 81.000 km2, Indonesia diakui sebagai negara maritim terbesar di dunia. Di dalamnya terdapat keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, yaitu 2.500 spesies ikan laut, 590 jenis karang batu, 2.500 spesies moluska, 1.500 jenis udang-udangan, dan sebagainya. Luas hutan tropis Indonesia diperkirakan mencapai 120 juta hektar dan merupakan terluas ketiga setelah hutan tropis di Brasil dan Kongo. Sayang, laju kerusakan hutan di Indonesia juga sangat tinggi. Dunia mengakui kekayaan alam Indonesia yang sangat melimpah. Di zaman kerajaan, negeri kita pun memiliki masa-masa keemasan. Mulai dari Kerajaan Kutai, Majapahit, Sriwijaya, hingga Mataram. Di masa itu, Indonesia yang masih dikenal dengan sebutan Nusantara begitu melegenda. Nusantara menjadi salah satu pusat seni budaya dan perdagangan yang besar, seperti halnya Cina dan India kala itu. Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan berbagai prasasti kuno lainnya menjadi bukti kemegahan sejarah Nusantara di masa lampau. Apalagi bila nantinya terbukti memang banyak piramida yang ada di negara kita (http://sejarah.kompasiana.com/2011/12/05/paparan-sunda-dan-temuan-piramida-di-garut-jawa-barat/). Setiap daerah di Indonesia memiliki budaya sendiri yang menarik dan dianggap eksotis oleh para wisatawan asing. Misalnya, Pulau Bali yang begitu terkenal di mata dunia. Begitu juga adat istiadat daerah lain seperti Suku Dayak di Kalimantan, Suku Toraja di Sulawesi Selatan, dan sebagainya. Di Indonesia, terdapat sebanyak 583 bahasa dan dialek dari 67 bahasa induk yang digunakan berbagai suku bangsa. Dengan keragaman itu, kita memiliki bahasa pemersatu, yaitu Bahasa Indonesia.
Keberagaman di Indonesia adalah sebuah berkah, tetapi juga bisa menjadi sebuah musibah. Menjadi berkah kalau keberagaman diakui sebagai ekspresi kebebasan, penghormatan, dan pengakuan. Menjadi musibah apabila disikapi sebagai kebencian karena berbeda dengan dirinya. Pengetahuan tentang keberagaman Indonesia memang dipelajari oleh pemerintah kolonial, namun tujuannya bukan untuk menyatukan Indonesia, tetapi untuk menguasai dan mengeksploitasi kekayaan negeri kita. Politik adu domba atau divide et impera adalah kunci sukses mengusai bangsa kita.
Di bawah ini adalah terjemahan dari artikel tulisan Bapak Anand Krishna di The Jakarta Globe yang mengingatkan kita bahwa pihak asing yang ingin memecah-belah kita memulainya dengan merusak warisan spiritual dan budaya kita.
(Sumber: http://www.thejakartaglobe.com/opinion/article/12192.html).
……. “Saya telah berpergian keliling India dan tak pernah melihat satu pun pengemis atau pencuri. Kekayaan semacam itu saya saksikan di seantero negara ini. Dengan nilai moral, orang sekaliber tersebut, saya tak pernah berpikir bahwa kami dapat menjajah negara ini, kalau kami tidak mematahkan tulang punggung bangsa ini, yakni warisan spiritual dan budayanya. Oleh sebab itu, saya mengusulkan bahwa kita musti mengganti sistem pendidikan lama dan budaya mereka. Karena jika orang India berpikir bahwa budaya asing dan Inggris lebih baik dan lebih hebat dari budaya mereka sendiri, maka mereka akan kehilangan harga diri dan budaya lokal yang asli. Mereka pasti menjadi apa yang kita inginkan, bangsa yang sungguh terjajah……….”
…….Itulah kata-kata Tuan Thomas Babington Macaulay (1800-1859), anggota dewan pemerintahan dari Perusahaan India Timur pada tahun 1834-1838, dikutip dari pidatonya yang diberikan pada tanggal 2 Februari 1835. Membaca kata-kata yang diucapkan hampir dua abad silam, saya menyadari bahwa Tuan Macaulay belum mati. Oleh karena itu, saya memakai istilah “sekarang” dan bukan “dulu”. Idenya tetap hidup. Dia masih mempunyai banyak pengikut di seluruh dunia……..
……..Berapa dari kita di Indonesia menyadari bahwa hal yang sama tengah terjadi pada kita di zaman modern ini? Kita tak hanya dikepung oleh satu atau dua, tapi begitu banyak Macaulay. Satu perbedaannya: Macaulay tersebut berkebangsaan Inggris, putih, sehingga begitu mudah dikenali. Sekarang, genre Macaulay datang dalam pelbagai warna dan bentuk, putih, coklat, merah dan bahkan hitam. Dan, mereka mencabut akar budaya kita dan peradaban leluhur dari segala sudut. Salah satu dari mereka, kaum Wahabi, telah secara intensif menyusupi masyarakat dan sistem sosial kita, sampai-sampai saat ini kita bingung dan tak bisa membedakan mana nilai spiritualitas agama dan mana yang radikalisme agama………..
Salah satu program e-learning dari One Earth College (http://www.oneearthcollege.com/) adalah program Ancient Indonesian History And Culture (http://history.oneearthcollege.com/) yang bertujuan agar para peserta program dapat mengetahui dan menghargai sejarah awal Kepulauan Nusantara. Selanjutnya ada program Neo Transpersonal Psychology (http://stponline.oneearthcollege.com/) yang membahas tentang peningkatan kesadaran dari keadaan personal, ego-based menuju keadaan transpersonal, integensia-based. Kemudian program lainnya adalah Neo Interfaith Studies (http://interfaith.oneearthcollege.com/) yang mempunyai tujuan agar para peserta program dapat memberikan apresiasi terhadap keyakinan yang berbeda. Ketiga program tersebut sebenarnya saling kait-mengkait.
Sebelum zaman kolonial, keberagaman ini disadari oleh masing-masing budaya asal di seluruh Indonesia. Tidak pernah terjadi serial Perang Nusantara I, II, III dan seterusnya. Perang antar kerajaan memang terjadi, tetapi bukan karena perbedaan, semata-mata ambisi raja-rajanya sendiri. Budayawan Yakob Sumardjo menulis…….. Adalah kebodohan yang sama apabila perbedaan dan keragaman sekarang ini kita sikapi secara kolonial. Keberagaman bukan kondisi untuk kekuasan apa pun. Perkawinan antara kekuasan dan keberagaman adalah kebencian. Sebarkan konflik SARA dimana-mana, maka Indonesia akan Anda kuasai demi kepentingan Anda. Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Bagaimana kebersatuan ini kita peroleh? Bersama kita bisa atau bersatu kita bisa bukan cuma semboyan kosong, tetapi filosofi nasional. Filosofi ini adalah keikaan, ketunggalan. Ketunggalan itu letaknya di kedalaman, di filsafat. Keberagaman dan keanekaan itu ada di permukaan nampak. Dan karena kita bodoh, maka pikiran cuma nyangkut di permukaan gejala. Kita tidak mampu lagi menukik ke kedalaman tunggalnya. Yaitu kedalaman waktu atau sejarah, kedalaman kepercayaan atau iman, kedalaman ruang atau lokalitas budaya, kedalaman manusia, kedalaman agama, kedalaman filosofinya…….. Lha Majapahit bagaimana pak? Nak, baca baik-baik, apa pernah ada koloni orang-orang Majapahit di Melayu, di Papua, di Kalimantan Tanjungpura? Majapahit tetap menghargai perbedaan meskipun haus penghormatan. Sriwijaya bagaimana pak? Ya sama saja, yang penting pelabuhan-pelabuhan berkiblat ke Sriwijaya. Mereka tidak pernah mengibarkan kebencian atas perbedaan………. Bangsa ini tengah berproses menjadi kolonial dalam bangsanya sendiri. Politik pemecah belahan, pertikaian tingkat makro dan mikro, tawuran antar kampung, penyebaran kebencian kerena beda, adalah gejala perbedaan hanya dilihat dari sisi permukaan belaka. Kita tidak mampu lagi berpikir mendalam seperti bapak-bapak bangsa kemarin. Kedalaman sejarah akan sampai pada kearifan lokal purba kita, yakni Bhineka Tunggal Ika………
Setelah peristiwa 30 September 1965, para orang tua dan muda-mudi takut dicap tidak beragama, sehingga mereka banyak yang mulai mendatangi tempat-tempat ibadah sesuai keyakinan masing-masing. Putra-putri kecil mereka juga diperkenalkan dengan keyakinan orang tuanya sejak kecil. Bahkan banyak yang disekolahkan pada tempat-tempat pendidikan yang dikelola berdasarkan keyakinan tertentu. Dalam perkembangannya, beberapa pemuka agama mengajarkan kebenaran tentang keyakinan mereka tanpa mempertimbangkan keutuhan negara. Mereka juga tidak mengajarkan bahwa negara-negara maju seperti Jepang, Korea, India, China tetap mempertahankan budaya asli mereka di tengah kemajuan zaman. Banyak yang tidak sadar bahwa tindakan mereka telah mematahkan tulang punggung bangsanya sendiri, memperlemah warisan spiritual dan budaya bangsanya. Jika putra-putri bangsa berpikir bahwa budaya asing lebih baik dan lebih hebat dari budaya mereka sendiri, maka mereka akan kehilangan harga diri dan mereka pasti menjadi apa yang diharapkan pihak yang ingin memperlemah bangsa……. mudah dikendalikan…..
Empat dasa warsa telah berlalu dan putra-putri dari orang-orang tua tersebut telah dewasa dan telah terbentuk pola dalam pikirannya bahwa hanya keyakinan mereka yang benar. Anak-anak kecil tersebut sudah menjadi orang tua dan kemudian mempunyai putra-putri yang sejak kecil sudah dididik secara repetitif intensif agar sesuai dengan keyakinan mereka tanpa rasa kecintaan terhadap tanah air. Sejak usia kecil, anak-anak kita sudah didik untuk memperhatikan perbedaan, bukan melihat kesatuan di balik perbedaan. Bhinneka Tunggal Ika hanya merupakan slogan saja.
Bila kita ingin melihat Indonesia bersatu, maka kita harus mulai dari anak-anak kita agar mereka dapat melihat kesatuan di balik perbedaan. Bila tidak, disintegrasi sudah di ambang mata. Para leluhur memberi nasehat, bahwa sebatang anak panah boleh saja sakti, akan tetapi tanpa energi kuat yang mendorongnya, selepas dari busur anak panah akan cepat terkulai dan tidak mengenai sasaran……. Bhinneka Tunggal Ika adalah senjata sakti penemuan para leluhur kita, akan tetapi Bhinneka Tunggal Ika sering dimaknai sebagai “berbeda-beda namun tetap satu jua”. Pengakuan akan adanya perbedaan, apabila tidak ditindak-lanjuti akan membuat keterpisahan. Sebenarnya lebih tepat dimaknai, “nampaknya berbeda, akan tetapi esensinya sama”. Perbedaan hanya pada wujud luarnya akan tetapi esensinya satu. Ada fokus atau tujuan bersatu. Kalau kita peka, kita dapat merasakan bahwa kedua pandangan tersebut memiliki energinya berbeda, pandangan terakhir mempunyai energi yang lebih mempersatukan.
Mungkin itulah sebabnya Mpu Tantular menambahkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dengan kalimat Tan Hana Dharma Mangrwa. Tidak ada Dharma yang mendua, semuanya satu jua untuk memfokuskan pada rasa persatuan.
Dalam buku “Sandi Sutasoma Menemukan Kepingan Jiwa Mpu Tantular”, Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2007 disampaikan……… Kesalahan paling besar yang dilakukan Gajah Mada, menurut Mpu Tantular, adalah penerimaannya terhadap kebhinekaan, keberagaman tanpa memperhatikan benang merah yang mempersatukan manikam-manikam yang beda dalam untaian kalung manis nan indah. Keadaan kita saat ini tidak jauh berbeda. Banyak yang dapat menerima kebhinekaan, keberagaman atau pluralitas, namun sebatas penerimaan saja. Bagaimana menindaklanjuti penerimaan itu dan mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari tak terpikirkan………. Kebhinekaan, keberagaman dan pluralitas yang tidak bertujuan satu dan sama tidak berguna. Ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika” adalah “half-truth”. Anda dapat merayakan kebhinekaan dengan penggalan ini, tetapi tidak dapat menggunakannya demi tujuan yang lebih mulia. Untuk itu, penggalan berikut dari Bhinneka Tunggal Ika mesti diperhatikan: “Tan Hana Dharma Mangrwa” – Tak Ada Dualitas dalam Dharma, dalam Kebijakan yang Melandasi setiap Karya bagi Negara dan Bhakti bagi Ibu Pertiwi. Selain kebijakan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, mesti menjunjung tinggi kearifan lokal. Manusia Indonesia harus tetap menjadi Manusia Indonesia, bukan fotokopian Arab, China, India atau Eropa………
Untuk mengetahui lebih dalam tentang sejarah dan budaya awal kepulauan Nusantara silakan ikuti program online “Ancient Indonesian History and Culture” (http://history.oneearthcollege.com/).
Situs artikel terkait
http://www.oneearthmedia.net/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo
http://www.kompasiana.com/triwidodo
http://blog.oneearthcollege.com/
http://twitter.com/#!/triwidodo3
Desember 2011
