Antologi : Satu Bumi
” Bangsa yg tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa,tidak dapat berdiri sbg suatu bangsa yg merdeka.”
~ Soekarno (Presiden Republik Indonesia yg Pertama)
Pernahkah kita menyadari kita tinggal diatas bumi yg sama,diatas satu bumi yg sama yg umurnya (mungkin) kurang lebih sudah mencapai 2014 tahun?(Menurut kalender Masehi)
Pernahkah kita setelah memandang keatas langit biru yang menawan,lalu muncul sebuah “penampakan” akan keluasan serta ketidakterbatasannya? Bahkan kaki langit yg nampak dipandangan matapun sebenarnya bukanlah garis batas nyata antara langit dan bumi yg diwakili oleh luasnya lautan.
Pernahkah kita rasakan perasaan sebagai satu umat manusia,terlepas dari segala atribut,segala titel,segala gelar akademik ataupun gelar kebangsawanan,juga melintas batas daerah negara?
Bukan karena adanya sentimen kesukaan dan ketidaksukaan semata lalu kita memihak negara yg satu dan melawan negara yg lain.
Perasaan kemanusiaan yg begitu erat dan kental akan sebuah pengertian yg dalam tentang sebuah kesatuan energi yang tidak terpisahkan.
Para Nabi, Mesias, Avatar hadir ke dunia dalam wujudnya sebagai manusia untuk mengingatkan kita semua,ya kita semua. Ajaran mereka diperuntukkan bagi kita semuanya yg mau membuka diri.
Bukan semata bagi “umat pilihan” yg telah dijanjikan dalam kitab-kitab terdahulu.
Pesan kasih selalu dan akan terus melintas batas,karena keluasannya tidak bisa dipenjara oleh akal manusia yg terbatas,logika intelektualitas yg sempit.
Kembangkan intelegensia kita lewat segala pengalaman serta ekperimen dalam kehidupan ini.
Intelegensia yg telah dianugerahkan kepada kita bahkan ketika kita masih bayi.
Kemampuan seorang bayi menemukan puting susu sang ibu adalah bukti dari kemampuan anak manusia utk berusaha “survive”. Karena dari air susu sang ibulah segala sumber kehidupan dan ketahanannya bagi tumbuh kembangnya kelak.
Demikian juga bumi ini, serupa Ibu yang telah memberi kepada kita semua hal mulai dari makanan,kesejahteraan serta tempat berpijak/tinggal.
Menjadi anak yg bijak dan berbakti adalah sebuah ungkapan kasih kita kepada Ibu Bumi. Sebuah ungkapan intelegensia manusia yg telah berkembang.
Mereka yg sudah berkembang intelegensianya tidak akan serakah menguras segala yg terpendam di perut Ibu Bumi.
Karena keserakahan anak manusia yg satu akan berimbas kepada anak manusia yg lain. Sudah banyak contoh nyata yg ada dihadapan mata kita. Yang baru-baru ini terjadi adalah banjir bandang di Manado.
Karena kebijakan yg tidak memihak pada keseimbangan alam dan daya dukung lingkungan musibah itu terjadi. Kita harus memetik buah dari perbuatan kita.
Dalam buku ” Tao Teh Cing” dijelaskan sebagai berikut :
” Segala sesuatu yang lebih berarti, lebih bermakna, tidak selalu dapat dijelaskan.”
Kembalilah dalam gaya hidup yang alami. Gunakan teknologi untuk menunjang kehidupan Ibu Bumi,bukan utk sebuah ekploitasi keserakahan. Seimbangkan diri kita dengan hal-hal mendasar dengan selalu menjaga kesehatan lewat jalan pagi,diet makanan,mengkonsumsi air putih (bukan dlm kemasan) dan menghindari rokok.
Dan gunakanlah setidaknya 2 x 20 menit dalam keseharian utk bermeditasi.
Menyadari aliran napas yg masuk serta keluar. Dengan napas yang teratur maka pikiran menjadi teratur pula. Karena napas dan pikiran adalah laksana dua sisi mata uang. Pegang yg satu maka sisi yang lainnya juga terpegang.
Gunakan keseimbangan diri dengan terus berkarya dan berbagi. Mengunjungi yayasan/panti sosial utk berbagi kasih akan menyegarkan batin kita,memberi kita sudut pandang yg berbeda terhadap kehidupan serta membuat kita lebih peka akan keadaan.
Atau melakukan hobi yang seragam dengan niatan berbagi kasih bagi sesama dan alam.
Demikian,sebagai bagian yg tak terpisahkan dari kesalingterhubungan antar manusia,antar alam dan antar Keberadaan Yang Tak Terbatas. Dengan perspektif yg meluas inilah maka manusia akan menjadi berkah bagi semua.
Salam Satu Bumi…
Rahayu…