September 27, 2014

Anak banyak, belum melakoni hidup keberagamaan…

 

 

Sorry to say, sepertinya sulit menemukan kata lain. Dapat dipastikan banyak orang akan tersinggung, tapi bagaimana lagi. Mungkin seseorang yang bukan pemimpin agama akan menunjuk, ‘Itu si pemimpin agama anaknya banyak, saya hanya ikutan dia.’

Disini repotnya, mengaku pemimpin atau seorang tokoh yang dihormati tetapi tidak atau belum mampu memberikan contoh yang pantas ditiru sebagai panutan. Agama mesti dilakoni, bukan hanya berteori. Semua agama bertujuan satu dan sama, berkah bagi semua makhluk, Tujuan agama adalah agar setiap orang merasakan kesejahteraan dan kebahagiaan.

Banyak yang memiliki argumen, ‘Saya tidak merepotkan orang lain dengan anak saya yang banyak. Saya bisa membayari biaya hidup untuk makan dan sekolah. So what??? Apa anda rugi???’

Boleh saja hal itu terucapkan, mungkin ditambah lagi: ‘Bukankah zaman nabi anak tidak dibatasi. Dengan demikian, saya boleh punya anak semau saya dong!’

Benarkah demikian? Mari kita renungkan sebelum kita mengumbar emosi kemarahan.

Pernahkah kita berpikir bahwa banyak anak dapat dipastikan akan menambah beban bumi? Jumlah makanan yang dibutuhkan semakin banyak. Beban negara untuk impor makanan semakin banyak karena lahan yang dulunya untuk sawah disulap jadi tempat tinggal. Lihat saja Krawang, dulu kala dikenal sebagai lumbung padi. Sekarang? Banyak tanah produktif dijadikan lahan pabrik. Dengan sendirinya, produksi beras semakin berkurang. Di pihak lain, jumlah orang meningkat.

Semua agama mengajarkan bahwa setiap orang mesti bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Bleh dijawab dengan argumen, saya bisa cari duit untuk biayai anak saya. Inilah tanggung jawab saya pribadi.’

Tetap sering kita lupa bahwa agama juga mengajarkan kehidupan untuk menghormati hak orang lain. ‘Perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan.’ Jika akibat ulah kita anak banyak akhirnya membuat negara repot urus impor makanan, bisakah hal ini dikatakan kita bertanggung jawab. Dalam pengertian saya, yang disebut bertanggung jawab bukan saja terhadap diri sendiri, tetapi terhadap lingkungan tempat kita hidup. Negara. Ulah kita yang mengakibatkan merepotkan orang lain tidak sejalan dengan pola agama yang memberikan berkah terhadap lingkungan dan masyarakat.

Belum lagi kita bicara masalah pengendalian nafsu hewaniah. Boleh saja orang beralasan, ‘Itu khan istri saya yang sah menurut hukum agama. Boleh dong saya berhubungan dan kemudian punya anak.’

Boleh saja, tetapi apakah ita hanya berpikiran untuk berhubungan seksual dengan istri? Bukankah kita hidup didunia bukan seperti hewan. Asal nafsu libido naik, kita melakukan hubungan. Apa bedanya dengan hewan?

Bukankah kita hidup didunia ada tujuan yang lebih mulia?

Memuliakan perjalanan jiwa atau batin. Dengan selalu kita melampiaskan hasrat libido sesungguhnya kita menyembah hawa nafsu kita. Kita belum juga sadar bahwa kita masih dibawah kendali selangkangan. Kita belum memahami kalimat: Tiada Tuhan selain Allah. Kita masih menuhankan nafsu. Inikah yang diajarkan atau disampaikan oleh nabi?

Kita semua sadar sekarang bahwa Keluarga Berencana gagal di negeri kita. Banyak tayangan TV memberitan gambar bahwa keluarga yang hidupnya pas-pasan punya anak banyak. Mereka berpedoman: Banyak anak banyak rejeki. Itu pola pikir lama. Bukan pola pikir seseorang yang melakoni keberagamaan. Pola pikir yang hanya mementingkan diri sendiri.

Seseorang yang sadar akan dirinya akan selalu sadar bahwa kehadirannya di dunia bukan untuk makan dan seks. Bukan pula untuk anak banyak. Keberadaan manusia di bumi untuk membersihkan jiwa yang selama ini terperangkap oleh keserakahan dan nafsu pikiran.

Jiwa yang ada dalam setiap individu adalah percikan dari Sang Jiwa Agung. Saat ini sang jiwa dalam diri kita terperangkap oleh pikiran kita yang selalu saja mencari kenyamanan badan.

Maaf jika mengusik banyak orang. tetapi, marilah kita memikirkan kesejahteraan bersama. Bukan hanya mementingkan ego kenyamanan badan.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone