Foto Keluarga
Bagian 3 : Belajar sepanjang usia
“Hidup ini tidak mengenal titik akhir. Roda kehidupan Kala Chakra, Roda Sang Waktu, bergulir terus. Selama masih hidup, belajarlah terus. Jangan berhenti belajar. Jangan menutup dirimu. Dan yang paling penting, janganlah meremehkan para gurumu. Jangan melupakan jasa mereka. Setiap guru memberikan sesuatu kepadamu. Kalau kamu tidak bisa menerima lebih banyak darinya, itu salahmu sendiri. Bukan salah mereka. Gurumu yang pertama, yang mengajar Ka, Kha, Ga (A, B, C) pun sangat berjasa. Apabila ia tidak mengajar hal-hal yang mendasar, bagaimana kamu bisa memperoleh pelajaran selanjutnya?” (Krishna, Anand. (2003). Atisha, Melampaui Meditasi untuk Hidup Meditatif. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Cover Buku Atisha
Budi Satrio
Sebagai simbol persatuan dua insan, maka nama ketiga anak kami memiliki kaitan dengan nama Tri dan Rosita. Anak pertama bernama Budi Satrio, Satrio sendiri mengandung nama Tri. Dan, Satrio bila hurufnya dibolak-balik bisa menjadi Rosita. Anak pertama kami masih berada di dalam kandungan, saat ibunya sedang menyelesaikan thesis dan ujian pendadaran sarjana. Sejak dalam kandungan anak kami sudah ikut belajar, kala ibunya mempersiapkan thesis dan ujian pendadaran, sehingga wajar saya anak pertama saya cerdas dan sering menjadi juara sejak kecil.
Di kemudian hari, kala sudah berguru kami berdua baru tahu bahwa saat membuat anak kita harus berdoa. Banyak sekali jiwa-jiwa yang ingin lahir sebagai anak kita untuk menyelesaikan karma. Bila kita asal “membuat”, hanya untuk kesenangan semata-mata jangan-jangan musuh kita di kehidupan masa lalu lahir menjadi anak kita. Itulah sebabnya ada anak dan ayah yang selalu bertentangan bahkan bermusuhan untuk menyelesaikan karma masa lalu. Musuh masa lalu memang harus kita hadapi, tapi tidak perlu dia menjadi anak kita.
Budi Satrio mulai berjalan di Bengkulu dan kemudian masuk TK di Kota Bireuen, Aceh. SD di Pandeglang, dan menjadi murid teladan sekolah dasar se Jawa Barat. Melihat prospek pendidikan, maka Budi Satrio masuk sekolah lanjutan di SMP 1 Solo ikut kedua orang tua saya. Selanjutnya dia masuk SMA 1 Solo dan ikut program AFS di Fujioka Jepang. Sampai sekarang hubungan dengan kedua orang tua asuh Budi di Jepang masih baik. Kami pernah mengantar Mr. Yamada dan istrinya Hisae berkunjung ke Borobudur, Prambanan, Jogja dan Kraton Solo. Bahkan mereka menginap di Rumah kami di Solo. Saat pernikahan Budi Satrio, mereka menyempatkan diri hadir di Jakarta.
Budi menjadi pelajar SMA Teladan di Solo dan masuk perguruan tinggi ITB Bandung.
Roswita Savitri
Roswita Savitri sebagai anak kedua juga memiliki suku kata Tri, dan orang bilang bahwa Roswita adalah putri dari Rosita dan Widodo. Lahir di Solo dan ikut kami bekerja di Aceh. Mulai dari kota Sgli, Banda Aceh dan Bireuen. Pada saat di Banda Aceh saya sudah diangkat sebagai Pemimpin Proyek Irigasi Aceh Utara dan setahun kemudian lokasi kantor proyek pindah ke Bireuen, Aceh Utara.
Ada peristiwa besar di Aceh yaitu kala sebagai Pemimpin Proyek kami melakukan perjalanan sehabis sahur dan ditembak di daerah Kabupaten Pidie. Kisah ini akan kami sampaikan tersendiri. Sepulang dari pendidikan di Canada kami pulang ke Indonesia dan nampaknya kelahiran Roswita Savitri masih terpengaruh kebiasaan kami hidup di Canada. Setelah mengalami proyek yang lancar di Bengkulu, saya harus mengalami proyek di Aceh yang perlu perjuangan sampai akhirnya proyeknya lancar. Roswita Savitri sekolah TK dan SD di Pandeglang, Banten. Ketika dari Pandeglang saya pindah tugas ke Semarang, Roswita Savitri pindah sekolah di SD Anjasmoro di Semarang. Dia sekolah di SMP 7 Semarang, SMA 3 Semarang dan Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Undip Semarang.
Bagi kami dan istri, belajar dari kehidupan itu ditunjukkan dengan kronologis Tembang Jawa. Sesuai dengan tahap kehidupan, Tembang Jawa dimulai dengan “Maskumambang”, emas yang “kumambang”, terapung, saat manusia berwujud janin yang terapung dalam air ketuban. Kedua “Mijil” berarti keluar dari goa garbanya sang ibu, di saat kelahiran. Dilanjutkan “Kinanti”, di-“kanthi”, digandeng tangannya diajari berjalan menapak kehidupan. Kemudian “Sinom”, menjadi “nom-noman”, remaja usia belasan. Setelah itu “Asmaradhana”, gelora asmara sewaktu dewasa, dalam rangka mencari pasangan. Selanjutnya memasuki “Gambuh” gabungan, membentuk rumah tangga untuk membuat anak keturunan. Selanjutnya “Durma”, aktif berdharma bhakti bagi negara sebagai pahlawan. Diteruskan “Dhandhanggula”, mengolah “gula”, menikmati manisan kehidupan. Kemudian sudah saatnya “Pangkur”, mungkur, undur diri dari keduniawian. Diteruskan “Megatruh”, persiapan “megat” ruh, memisahkan ruh dari badan. Akhirnya “Pocung”, dipocong ditutupi kain kafan.
Doni Triatmojo
Doni Triatmojo, anak ketiga juga mempunyai suku kata Tri pada namanya. Kami mempunyai anak ketiga saat istri kami berusia 36 tahun dan saya menjadi Pemimpin Proyek Induk Ciujung Ciliman.
Saat Doni dalam kandungan istri kami ikut menghadiri peresmian Proyek Irigasi Cibaliung dan Cikeusik di Teluk Lada, Banten Selatan. Wajar saja bila dia akhirnya mengambil Jurusan Teknil Sipil di Undip Semarang. Doni Triatmojo sekolah SD di Anjasmoro, kemudian SMP 1 Semarang, SMA 3 Semarang dan Fakultas Teknik Jurusan Sipil Undip.
Kepada anak-anak, kami berdua menyampaikan bahwa bukan hanya anak yang sekolah, orangtua pun masih sekolah, kami ikut pendidikan spiritual di Anand Ashram. PR nya latihan meditasi, yoga, baca afirmasi dan studi bandingnya ke Jogja, Ciawi, Jakarta, Kuta dan Ubud.
Setelah lama belajar di Anand Ashram, maka saya dan istri baru menyadari adanya beberapa tahapan dalam kehidupan. Pertama Brahmacarya, sebagai pemuda/pemudi belajar keras di sekolah dan menjauhkan diri dari hubungan seks agar liquid energy sperma dimanfaatkan untuk belajar secara kreatif. Setelah bekerja dan mempunyai penghasilan tetap, maka pemuda/pemudi memasuki Masa Grahasthya, berkeluarga dengan penuh tanggung-jawab. Setelah anak-anak bisa mandiri dan orangtua bisa mempertahankan hidup sudah aman, maka orangtua memasuki Masa Vanaprastha, untuk sepenuhnya mendalami laku spiritual. Dalam kisah-kisah di Nusantara, dikatakan seorang raja meninggalkan tahtanya untuk hidup di Vana, hutan. Setelah pensiun, sebaiknya orang tua bisa menjalani laku spiritual sepenuh hati, termasuk mengajar dengan segala pengalaman yang dimilikinya.
Setelah selesai melakukan Vanaprastha, seseorang mulai memasuki Masa Sanyas, masa akhir hidup manusia.
“Dalam masa ini, seorang sanyasi – ia yang telah memasuki masa sanyas – melepaskan segala macam keterikatan duniawi. Ia tidak lagi membedakan antara anak kandung, anak saudara, anak orang lain, bahkan antara manusia dan makhluk-makhluk hidup lainnya. Lepas dari keterikatan, tidak berarti ia bersikap tidak peduli terhadap dunia. Ia justru menjadi sangat peduli terhadap dunia, dan menggunakan sisa hidupnya untuk melayani semua.” (Krishna, Anand. (2012). Sanyas Dharma Mastering the Art of Science of Discipleship Sebuah Panduan bagi Penggiat Dan Perkumpulan Spiritual. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
“Masa transisi dari Vanaprashta menuju Sanyas tidak bisa ditentukan. Bisa satu tahun, dua tahun, atau sepuluh tahun. Bisa juga sehari, seminggu, sebulan. Semuanya kembali kepada diri kita sendiri, kepada persiapan diri masing-masing.”
“Banyak orang yang merasa terpanggil untuk menjadi sanyasi sejak masa Brahmacharya. Maka tidak ada paksaan bagi mereka untuk tetap menjalani Grahasthya dan Vanaprastha sebelum memasuki sanyas. Mereka bisa langsung memasuki sanyas ashram dari brahmacharya.” .” (Krishna, Anand. (2012). Sanyas Dharma Mastering the Art of Science of Discipleship Sebuah Panduan bagi Penggiat Dan Perkumpulan Spiritual. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Cover Buku Sanyas Dharma
Istri belajar memanfaatkan teknologi komunikasi
Terkait dengan kemajuan zaman, maka istripun belajar, mulai dari menggunakan HP, kemudian sms, BB (Black Berry), FB (Facebook) dan juga WA (Whats Up).
Untuk memantau dan mendoakan anak-anak setiap hari, maka istri membuat Grup BB, Lovely Family. Sehingga walaupun anak-anak berada di kota yang berbeda, kita tetap dapat berkomunikasi dengan lancar. Setelah Budi berkeluarga, maka dia tidak aktif lagi dalam grup.
Berbeda dengan BB yang keanggotaan grup lebih privacy, maka dengan menggunakan Whats Up nomer HP kita mempunyai identitas dan foto. Seorang Admin kala kuliah bersama atau kala masih SMA, bisa mencari daftar nama teman sekelas lewat FB dan setelah yakin itu foto temannya, maka dia menyakan no HP lewat inbox. Tak berapa lama HP sibuk memberi tanda, rupanya nama kita sudah dimasukkan Admin di Grup.
Senang juga bisa bertemu teman-teman lama, akan tetapi akhirnya kami berdua kewalahan karena kesibukan kami berdua. Selepas masa pensiun, biasanya orang aktif di komunitas, dan komunitas yang gampang adalah melalui grup Whats Up.
Beruntunglah kami sudah aktif di Komunitas Anand Ashram sebelum pensiun dan banyak waktu dipakai untuk kegiatan yang bermakna. Membaca buku, melakukan sadhana, menyelesaikan tugas rumah tangga dan secara rutin latihan meditasi dan nyoga baik di rumah sendiri maupun keluar kota membuat kami berdua jarang berkomunikasi aktif dengan teman grup di Whats Up. Untuk memperkecil pengaruh suara panggilan HP, maka pada waktu orang biasanya sibuk “ngoceh” HP kita silent dan hanya bergetar.
Menjinakkan kehewanian dalam diri adalah pekerjaan sepanjang hidup
Mengapa orang tua harus sekolah lagi? Karena menjinakkan sifat kehewanian dalam diri adalah pekerjaan purna-waktu, sepanjang hayat masih di kandung badan.
“Kita tidak bisa bebas dari hewan di dalam diri, tetapi bisa menjaga kejinakannya. Sadarlah selalu oleh karena itu berarti kendalikan hewan di dalam diri. Janganlah engkau terkendali olehnya. Yang melihat hewan dalam diri orang lain adalah hewan dalam diri si penglihat. Yang melihat hewan dalam diri orang lain adalah hewan dalam diri kita. Yang berinteraksi dengan insan dalam diri orang lain adalah insan dalam diri kita. Jangan kira sekali terjinakkan hewan di dalam diri menjadi jinak untuk selamanya. Tidak demikian. Hewan-hewan buas nafsu, keserakahan, kebencian, kemunafikan, dan lain sebagainya—termasuk majikan mereka yaitu gugusan pikiran yang kita sebut mind—membutuhkan pengawasan ketat sepanjang hari, sepanjang malam… sepanjang tahun..sepanjang hidup. (Krishna, Anand. (2004). Bhaja Govindam Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Sifat kehewanian dalam diri yang belum terkendali membuat pikiran kita menjadi liar, tidak terkendali juga. Baru setelah membaca Buku Bhagavad Gita, saya baru sadar.
“Krsna memberikan tips jitu untuk mengendalikan pikiran,
“Pertama adalah: Abhyasa – membiasakan diri, berlatih secara terus-menerus. Seorang sahabat, saintis tulen, ahli bedah otak, almarhum dr. Setiawan selalu menggunakan istilah “intensif dan repetitif”. Latihan untuk mengendalikan gugusan pikiran dan perasaan membutuhkan kegigihan, kebulatan tekad, keteguhan hati, dan kekuatan kehendak. Tidak bisa secara instan, seperti sering diiklankan oleh orang-orang yang sedang mencari keuntungan, dan tidak tahu-menahu tentang seluk-beluk mind.
“Kedua adalah Vairagya – melepaskan diri dari keterikatan: membebaskan diri dari keterikatan pada hal-hal yang dapat memicu dan/atau menambah keliaran mind.
“Abhyasa dan Vairagya – inilah cara untuk mengendalikan mind. Pekerjaan ini adalah purnawaktu. Tidak bisa hanya sesekali saja. Mind tidak pernah mati. Setelah terkendali pun masih tetap diawasi, tidak bisa dilepas begitu saja.
“Diri yang terkendali dalam ayat ini adalah ego yang telah tertaklukkan; identitas palsu sebagai badan, pancaindra, gugusan pikiran serta perasaan, intelek, status sosial, persepsi, gelar akademis, garis keturunan, ketenaran, dan lain sebagainya, yang telah terlampaui.
“Setelah ego tertaklukkan dan identitas palsu terlampaui, barulah seseorang melihat dirinya sebagai Jiwa. Atau sebaliknya, setelah menyadari hakikat dirinya sebagai Jiwa, identitas-identitas palsu tersebut rontok dengan sendirinya.” (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma)
Blog terkait:
http://triwidodo.wordpress.com/
http://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/
http://www.oneearthmedia.net/