Bagian ke 1 Masa Lalu dan Memilih Jodoh
Foto berdua di Leh Ladakh India 2008
“Perkawinan adalah perjalanan dari ‘aku’ menuju ‘kita’. Bila milik-mu tetap milik-mu dan milik-ku tetap milik-ku, tujuan perkawinan itu sendiri tidak terecapai. Dianggap gagal atau tidak oleh masyarakat, berakhir dengan perceraian atau tidak, perkawinan semacam itu sesungguhnya sudah berakhir.” (Krishna, Anand. (2006). Saptapadi, Tujuh Langkah Menuju Keluarga Bahagia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Agar memiliki nilai tambah maka ilustrasi perkawinan sepasang manusia ini diberi bingkai mutiara hikmah dari buku (Krishna, Anand. (2006). Saptapadi, Tujuh Langkah Menuju Keluarga Bahagia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Masa Lalu Kami Berdua
“Seorang pria yang belum mandiri, belum bisa membiayai diri dan keluarganya, tidak berhak untuk kawin, tidak berhak untuk berkeluarga. Janganlah menjadi parasit. Janganlah mengharapkan lebih dari apa yang telah diperoleh dari orang tua. Bebaskan orang tua dari tanggung jawab yang tak berguna, supaya mereka dapat melakukansesuatu yang berguna menjelang senja hidup mereka. Sesuatu untuk mempersiapkan jiwa mereka bagi perjalanan terakhir menuju kesempurnaan hidup.” (Krishna, Anand. (2006). Saptapadi, Tujuh Langkah Menuju Keluarga Bahagia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Saya lulus sebagai sarjana Teknik lulusan Fakultas Teknik Bagian Sipil Universitas Gajahmada di Yogyakarta pada tahun 1979 dan kemudian bekerja pada Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Pengembangan Sumber Daya Air. Pada tahun 1985 tugas belajar, melanjutkan kuliah di University of Manitoba Canada memperoleh gelar Master of Engineering pada tahun 1987. Masa kecil saya tinggal di Solo, lahir di Kampung Kalirahman dimana ayah saya menyewa rumah di sana, kemudian ke Kampung Ketelan dan selanjutnya pindah ke Desa Paulan Colomadu tempat kakek saya, ayahanda dari lbu saya yang tinggal di sana sebagai pensiunan Mantri Guru. Rumah tersebut sebelumnya adalah milik kakek dari ayah saya yang dibeli ayah dari ibu saya.
Ketika ayah yang bekerja sebagai pegawai negeri Balaikota Surakarta mulai punya rumah sendiri di Perumahan Jajar, kami sekeluarga pindah ke Kelurahan Jajar. Dari rumah tersebut saya masuk sekolah Sekolah Dasar No 39 di Pijirejo, SMP 1,dan SMA 1 semuanya di Solo.
Istri kami dari kecil bertempat tinggal di Sidokare, yang kini kami tempati sebagai home base yang kami rencanakan sebagai tempat untuk menghabiskan masa tua. Istri saya adalah generasi keempat yang bertempat tinggal di rumah kuno tersebut. Istri kami menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Kemasan, SMP 4, SMA 3 dan Universitas Sebelas Maret Fakultas Ekonomi lulus tahun 1984.
Gambar Cover Buku Saptapadi yang dipakai sebagai bingkai kisah
Memilih Suami/Istri
“Dari warisan budaya yang kaya ini kita memperoleh “landasan kuat” bagi perkawinan. Landasan yang kukuh. Landasan berdasarkan saling percaya, saling hormat, dan diatas segalanya, kasih ! Tidak ada unsur tindas menindas; tidak ada dasar subordinasi. Suami dan istri berdiri di atas landasan yang sama. Sama tinggi sama rendah. Tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada yang lebih penting. Keduanya sama-sama penting.” (Krishna, Anand. (2006). Saptapadi, Tujuh Langkah Menuju Keluarga Bahagia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Sebagian orang menjalani apa yang disebut Ki Ageng Suryometaram sebagai “mulur-mungkret”, mengembang dan mengempis menyesuaikan keadaan. Biasanya seorang lelaki akan memilih calon istri yang cantik, berpendidikan tinggi dan anak orang kaya. Ketika bertemu banyak yang cantik dia menambahkan kriteria yang berpendidikan tinggi. Ketika banyak yang cantik dan berpendidikan tinggi mendekat, dia menambahkan kriteria anak orang berada, saudara sedikit dan seterusnya. Tapi saat idolanya tak tercapai maka dia menurunkan kriterianya, sampai akhirnya asal istri setia dan mau menjalani hidup bersama sudah cukuplah. Itulah hukum “mulur-mungkret” yang selalu meningkat saat ditemukan akan tetapi menurun setelah tidak tercapai.
Saya melihat kehidupan orang tua saya, sebagai pegawai negeri golongan menengah hidup mereka pas-pasan. Pada waktu tahun enampuluhan, saat hidup sulit, kami sekeluarga kalau pagi makan nasi jagung, atau beras “tekad” singkatan dari beras yang dibuat dari tela, kacang dan (d)jagung. Ibu saya membantu dengan menjual gorengan yang dijual dengan menitipkan gorengan pada pedagang yang buka lapak di pinggir jalan dan di Kantin Rumah Sakit Paru-Paru di depan rumah keluarga kami. Urusan berkeluarga itu sibuk dan asyik, jadi saya mulai berpikir mencari pasangan yang sesuai, mau menjalani bahtera rumah tangga bersama akan membuat keluarga yang kokoh.
Belakangan saya melihat tipe pasangan tua yang bahagia, mereka hidup sederhana, anak-anaknya bekerja di Jakarta atau luar kota dan setiap lebaran anak-anaknya pulang membawa cucu-cucunya menengok kakaek-neneknya. Saya melihat pasangan yang baik adalah pasangan yang cocok dalam menjalani sisa usia. Jadi kecocokan sangat penting. Atas dasar pemahaman seperti itu maka saya mulai memilih calon istri.
Setelah masuk Komunitas Anand Ashram, saya memperoleh pengetahuan tentang hakikat suami-istri, tentu saja pemahaman tentang suami-istri mengalami perubahan, akan tetapi itu untuk masa depan. Masa lalu saya dan istri saya demikianlah.
Istikharoh dan Mohon Bantuan Gusti Pangeran
Tidak banyak kisah percintaan saya, serius belajar agar cepat lulus dan dapat bekerja. Ayah saya yang pensiunan Pegawai Negri telah bersusah payah membiayai saya kuliah di UGM Yogyakarta. Tahun 1979 saya lulus dan langsung bekerja di Departemen PU, Proyek Irigasi Luwu di Sulawesi Selatan.
Sebagai insinyur muda yang penuh semangat, buku bacaan saya waktu itu adalah pengembangan diri terutama tentang daya pikir bawah sadar. Sering sekali, bahkan hampir pasti apa yang dapat saya bayangkan dengan jelas, akan menjadi kenyataan. Saya akui saat itu pemahaman hidup saya sangat duniawi. Walaupun demikian pada waktu memilih istri, saya pasrahkan kepada Tuhan. Setiap ketemu gadis yang simpatik saya selalu istikharah, “Ya Tuhan, kalau dia baik bagiku, bagi masa depanku, bagi keluargaku dan bagi agamaku, demikian pula aku baginya maka jadikanlah, tetapi kalau tidak baik jauhkanlah kami berdua!” Akibatnya saya tidak pernah pacaran , termasuk kaku, pacaran hanya dengan istri saja.
Istri saya pun demikian, sejak remaja suka berpuasa, dan selalu berdoa kepada Tuhan. Istri kami adalah anak bungsu dari lima bersaudara, dan karena 4 putra laki-laki semua, maka kedua orang tuanya berdoa pada Tuhan agar diberi anak perempuan. Kata orang Jawa dia adalah “anak pujan”. Istri saya selalu berdoa agar Gusti memberikan suami sejati yang menjadi kekasih-Nya. Agak aneh juga kala istri saya memberitahu saya bahwa keinginannya adalah memperoleh suami sebagai Kekasih Gusti. Saya sendiri merasa biasa-biasa, tidak saleh-saleh amat, tidak alim sekali, moderat saja. Baru setelah kami berdua masuk Komunitas Anand Ashram, kami baru sadar sehingga saya dan istri berupaya menjadi suami-istri sejati yang dikasihi Gusti.
Nanti setelah bertahun-tahun kemudian setelah mulai belajar spiritual, saya baru tahu bahwa bahwa istri adalah jodoh yang ada kaitan dengan kehidupan masa lalu saya dan dia.
Pada tahun 1980, saat saya dalam proses mutasi dari Proyek di Sulawesi Selatan dan belum tahu akan dipindahkan ke mana, pulang dari Jakarta saya naik kereta senja ekonomi dan kebetulan di depan saya duduk calon istri saya. Setelah berkenalan, beberapa minggu kemudian, saat saya sudah ditempatkan di Proyek Irigasi Bengkulu saya titip surat kepada adik teman saya untuk disampaikan ke calon istri saya. Dan kemudian mulailah surat-suratan sampai akhirnya di tahun 1984 kami menikah di Solo. Setelah menikah istri ikut saya ke Bengkulu dan beberapa bulan kemudian dia lulus di UNS dan saya mengantarkan dia wisuda di Solo. Pada saat wisuda istri saya sudah hamil anak pertama.
Adalah Eyang Srini, Guru spiritual di Solo, yang di buku Otobiografi Bapak Anand Krishna, (Krishna, Anand. (2004). Soul Quest, Pengembaraan Jiwa dari Kematian Menuju Keabadian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama) disebut dengan nama Ibu Sri yang memilihkan hari pernikahan kami. Bahkan adik Eyang Srini bertindak sebagai pengantar istri sewaktu “Temu Penganten”. Saya ingat ibu saya juga sering menghadap Eyang Srini kala paman-paman saya menghadapi masalah, dan biasanya setelah menghadap dan diberi jawaban maka masalahnya terselesaikan. Demikian pula kala saya akan ujian masuk perguruan tinggi atau akan menghadapi ujian pendadaran ibu saya menghadap Eyang Srini. Jauh di kemudian hari kami berdua baru sadar bahwa hari perkawinan pilihan Eyang Srini tersebut sangat bermakna bagi kehidupan kami berdua.
Bekerja Dulu, Memperoleh Penghasilan Tetap Baru Kawin
“I will provide you with food.Aku berjanji untuk menyediakan makanan dan minuman bagimu.”
“Seseorang harus memiliki pekerjaan yang tetap sebelum menikah. Dia tidak pantas mengharapkan sedekah, bantuan, maupun mas kawin. Dia sudah mandiri, tidak tergantung pada orang tuanya. Dia juga tidak menjadi beban di Pondok Mertua Indah.” (Krishna, Anand. (2006). Saptapadi, Tujuh Langkah Menuju Keluarga Bahagia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Setelah lulus sarjana, saya bekerja di Departemen Pekerjaan Umum. Bekerja pertama kali di Proyek Irigasi Luwu Sulawesi Selatan pada tahun 1979. Pada tahun 1980, saya mutasi ke Proyek Irigasi Bengkulu (waktu itu bernama Proyek Irigasi Sedang Kecil Seluma Lais Kurotidur. Saya menempati Rumah Dinas di Padang Harapan Bengkulu, dan saya di sana tinggal bersama istri saya.
Bisa dikatakan bahwa kami mulai dari nol. Walaupun demikian, sejak bekerja, setiap bulan saya selalu mengirimkan sebagian gaji saya ke orangtua saya. Dan, setelah kawin kirim ke orangtua dan mertua saya. Hal tersebut rutin saya lakukan tidak pernah putus sampai kedua orangtua dan kedua mertua saya meninggal dunia.
Bertahun-tahun setelah kawin, saat saya masuk Komunitas Anand Ashram dan belajar dari seseorang yang kami berdua anggap sebagai Guru yang sangat kami hormati, kami berdua baru tahu bahwa berbakti kepada kedua orang tua dan kedua mertua adalah tindakan terberkati yang melancarkan kehidupan. Bagaimana pun tanpa mereka, kami berdua tidak akan menjadi apa-apa. Sampai meninggal pun kami berdua tidak akan dapat membalas kebaikan kedua orang tua kami berdua.
Bertahun-tahun kemudian kami juga bersyukur, bahwa selama ini kami menganggap uang rejeki yang saya peroleh adalah rejeki keluarga. Padahal waktu itu belum ada yang mengajari saya tentang hal demikian. Belakang hari, kami tahu bahwa bahwa setelah menjadi suami istri, bila gabungan fengshuinya baik kehidupannya akan lancar. Rejeki bukan hanya akibat pengaruh suami tetapi rejeki istri pun bisa dilewatkan suami, bahkan rejeki orangtua dan mertua pun bisa dilewatkan pasangan suami istri. Itulah sebabnya seorang suami yang sukses dan merasa hal tersebut terjadi karena upaya dirinya sendiri, setelah mempunyai istri baru fengshuinya rusak, rejekinya melorot, dan kebahagiaannya hancur.
Blog terkait:
http://triwidodo.wordpress.com/
http://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/