” Jadilah pelita bagi dirimu sendiri.
Jadilah pelindung bagi dirimu sendiri.
Jangan menyandarkan dirimu pada orang lain.
Pegang teguh Dhamma sebagai pelita.
Pegang teguh Dhamma sebagai pelindungmu.”
( Mahāparinibbāna Sutta )
Ada yang terasa beda ketika memasuki Anand Ashram (www.anandashram.or.id) pada hari Kamis, 23 Oktober 2014. Di sekeliling Patung Mahakali ada banyak terdapat lilin-lilin yang menyala rapi dan indah. Juga di dalam ruangan pertemuan ada banyak lilin-lilin kecil yang menyala.
Sebuah Tradisi
Perayaan Diwali bukan saja diperingati oleh pemeluk agama Hindu, namun juga penganut Sikh, Jain serta pengikut Budha.
Sebuah tradisi kuno yang masih bertahan dalam era modernitas yang makin pekat dengan sifat materialisme.
Ketika India mengalami penjajahan yang panjang oleh Inggris ternyata tidak menyurutkan atau menghilangkan akar tradisi lamanya yang masih bertahan hingga kini, ketika kebudayaan Mesir, ataupun Romawi telah terkubur tinggal kenangan, kebudayaan India dengan kearifan dan kemuliaannya masih banyak memberi inspirasi kepada dunia.
Melihat hal tersebut, ada sebuah pertanyaan besar yang ada dalam sejarah Nusantara ini, benarkah kebudayaan Nusantara ini masih ada dan mengakar dalam diri kita. Coba kita bertanya pada teman kita yang Jawa, masih ingatkah akan sejarah kebudayaan Jawa dengan segala nilai-nilai yang sarat dengan kebajikan dan kemuliaan bukan hanya sekedar ritual-ritual seperti peringatan Bulan 1 Suro atau cobalah bertanya pada anak muda kita tentang Sunda Wiwitan, kemungkinan kata Sunda Wiwitanpun asing bagi mereka. Berapa banyak ilmuwan negeri ini yang perduli dan menggali kedalaman budaya Nusantara ini.
Kita begitu terpesona dengan kepiawaian Sunan Kalijaga membabarkan ajaran Islam dengan media wayang kulitnya yang begitu mengesankan tentang kehidupan, tapi tahukah kita juga akan sebuah buku kuno Ajaran Tatar Sunda yang mengajarkan tentang “Dunia Kematian” seperti yang diajarkan oleh ajaran kuno Tibet.
Inilah saatnya kita bukan bertanya “Who Am I ?” namun “What Am I ?” Untuk apa saya ada di sini, lahir dan besar di tanah Indonesia ini ? Bagaimana bisa lupa akan sejarah diri kita sendiri ?
Perayaan Cahaya
Sebelum kita menyadari akan kegelapan yang ada didalam diri kita sendiri, amnesia akut, maka cahaya belum merupakan manifestasi yang nyata bagi diri. Kita hanya berhalusinasi telah mendapatkan penerangan. Namun tingkah laku dan kehidupan kita masih sarat dengan sisi-sisi gelapnya.
Langkah pertama dengan menyadari kegelapan diri, kemudian mulai melihat kegelapan sebagai kegelapan tanpa prasangka dan penghakiman. Seperti ketika bermeditasi dengan memejamkan mata, melihat kegelapan yang ada dalam diri.
Simak bagaimana Presiden Amerika Barack Obama mengapresiasi perayaaan Diwali :
” Contemplation and prayer remind us that that people of all faiths have an obligation to perform seva, or service to others. And the flame of the diya, or lamp, reminds us that light will ultimately triumph over darkness. Here in the United States, Diwali also reminds us that our nation is home to many faiths and traditions, and that our diversity makes us stronger, which is why I’m proud that this year Democrats and Republicans in Congress joined together for the first-ever celebration of Diwali on Capitol Hill. Over the last five years, Michelle and I have been honored to have the chance to observe this ancient holiday, both at the White House and in India, and we wish all those celebrating this weekend a Happy Diwali and Saal Mubarak.”
(http://m.whitehouse.gov/the-press-office/2013/11/01/statement-president-observance-diwali).
Indonesia telah mempunyai semboyan Bhinneka Tunggal Ika, namun apakah kita telah benar2 mempraktekkannya? Lihatlah dalam kehidupan masyarakat kita secara luas. Apakah apresesiasi perbedaan agama yang merupakan kondisioning paling awal, bahkan ketika kita belum bisa merangkak bisa dipraktekkan tanpa praduga dan prasangka atau perasaan tetap lebih baik, lebih bagus “miliknya” sebagai jalan menuju Tuhan.
Dan malam itu, Anand Ashram memperingati Diwali dalam kebersamaan yang indah dalam segala perbedaan yang ada. Perbedaan agama, warna kulit, status sosial dan profesi lebur dalam kegembiraan dan perayaan.
Dan yang menarik sekali adalah komentar beberapa tamu yang hadir mengikuti acara tersebut.
Inayah Wahid, Putri Presiden ke 4 (Alm) Gus Dur yang datang bersama 3 temannya yang tergabung dalam Positive Movement :
” Happy Diwali untuk semua.Saya baru pertama kali hadir di sini, dan saya sangat senang bisa mengikuti perayaan Diwali yang menyajikan tarian dan nyanyian yang heboh. Terima kasih telah mengundang kami ke sini. Saya semakin yakin akan ‘positive movement’ bukan hanya sekedar gerakan. Disini saya merasakan sekali aura kebersamaan itu. ”
Dan ada juga komentar Ibu Tari dari Komunitas Sebelas Sebelas yang juga hadir disana bersama seorang temannya :
” Saya bersyukur telah diundang kemari. Acara ini sejalan dengan misi Sebelas Sebelas yang mengangkat paham ONENESS dan kebersamaan. Terima kasih atas pengalaman yang indah ini.”
Bagaimana merasakan indahnya perbedaan sangat berbeda sekali jika hanya sekedar mengatakan “Bhinneka tunggal ika”.
Saya membayangkan Indonesia yang mempunyai pandangan yang briliant dari pendiri bangsa ini, bisa mengapresiasi perbedaan dengan wajar dan luwes. Para pemimpinnya mampu benar-benar berdiri di atas pondasi bangsa ini.
Seperti apa yang diungkapkan oleh Swami Vivekananda :
” Aku menerima semua agama yang datang dari masa lalu, dan dapat beribadah bersama-sama mereka; memuja Tuhan dengan setiap orang di antara mereka, dalam bentuk apapun Tuhan dipuja. Aku bisa mendatangi mesjid kaum Muslim; Aku bisa memasuki gereja kaum Nasrani dan berlutut di depan Salib Yesus; Aku bisa memasuki vihara kaum Buddhis dan akan berlindung pada Budha dan hukumnya. Aku bisa pergi ke dalam hutan dan duduk bermeditasi bersama kaum Hindu, yang sedang berusaha menemukan CAHAYA yang dapat menerangi hati setiap orang.”
Happy Diwali…
Semoga kita bisa menjadi lilin penerang bagi diri sendiri dan dapat berbagi cahaya kemuliaan bagi semua mahluk.
Rahayu…
Bukit Pelangi,
25 Oktober 2014