October 20, 2014

Program 9 Malam menuju Tauhid 1: Esensi Agama Buddh

12-21 November 2004

buku cakrawala sufi 3
Cover Buku Cakrawala Sufi
Sumber: anandkrishna@yahoogroups.com
“Tauhid atau Kesatuan Tuhan hanya akan mulai terasa, jika ego kita mulai melentur, melebur. Ego menciptakan dualitas. Ego menciptakan dualitas baik-buruk, panas-dingin, segar-busuk, suka-duka dan lain sebagainya. Dan selama kita masih hidup dalam dualitas, sesungguhnya kita belum memahami spiritualitas. Spiritualitas menjernihkan pandangan kita, sehingga yang terlihat bukanlah kulit manusia, tetapi esensinya. Dan esensi-diri manusia, inti hakikatnya adalah Ilahi. lnilah pandangan sufi; inilah Tasawuf!” (Krishna, Anand. (1999). Cakrawala Sufi 3, Kembara Bersama Mereka Yang Berjiwa Sufi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Bukan merupakan sebuah Kebetulan bahwa saya dan teman-teman memperoleh kesempatan mengikuti Retret ‘Program 9 Malam Menuju Tauhid’.
Testimoni Peserta
“Tidaklah berlebihan, jika dikatakan bahwa ‘Program 9 Malam Menuju Tauhid’ telah membangkitkan optimisme tentang masa depan masyarakat yang lebih baik, lebih damai dan lebih indah. Program tersebut meyakinkan kita bahwa sekat-sekat agama yang selama ini telah membelenggu umat manusia dalam sikap saling curiga dan saling klaim yang paling benar, adalah sesuatu yang sangat mungkin untuk dihilangkan, atau paling tidak diminimalisir dengan cara berupaya untuk saling memahami dan saling mengerti akan ajaran yang dianut oleh orang lain. Dari upaya tersebut diharapkan muncul keyakinan bahwa “kita semua sedang menuju ke satu tujuan yang sama, hanya saja jalan yang kita gunakan berbeda-beda.” Demikian kesan tertulis Saudara Helmi dari Batam, satu di antara puluhan testimoni.
Kesan saya tentang ‘Program 9 Malam Menuju Tauhid’:
Pembahasan Hadist Qudsy setiap hari membuka cakrawala baru pemahaman tentang agama, khususnya Tauhid. Buku yang disampaikan pernah saya baca dan terasa biasa-biasa saja, akan tetapi di tangan seorang Ahli, seorang Master, pemahamannya menjadi luar biasa. Layaknya akar pohon yang biasa digunakan sebagai kayu bakar, di tangan seorang Master pemahat akan menjadi patung yang sangat indah.
Pembahasan tentang agama-agama besar membuka tabir yang selama ini tertutup, sehingga kita dapat memahami intisari-intisari agama.
Kembali ke pertanyaan mendasar, Agama sebagai alat atau Agama sebagai tujuan? Agama sebagai alat manusia sebagai pedoman hidup, bukan Agama sebagai tujuan, sehingga manusia diamanfaatkan untuk kepentingan elit kelompok agama, sehingga Agama sewaktu-waktu dapat digunakan untuk mengorbankan kemanusiaan. Agama sebagai alat guna memuliakan manusia.

Program 9 Malam Menuju Tauhid
“Para sufi membagi meditasi dalam tiga tahap utama, yaitu : tahap Takhali, Tahalli dan Tajalli. Pertama, tahap Takhali atau tahap pembersihan, tahap cleansing. Dalam tahap ini, yang dibersihkan adalah pikiran. Hasilnya adalah no mind. Kemudian, pikiran menjadi bersih, tidak kotor; jinak, tidak liar; tenang, tidak bergejolak. Pikiran yang demikian sesungguhnya sudah bukan pikiran lagi. Ia sudah mengalami proses dau ulang dan berubah mejadi kesadaran; Kedua, tahap Tahalli atau tahap pembenahan. Saya menyebutnya tahap pembetulan ulang creation of new mind. Untuk tahap ini, saya memberikan 52 renungan. Satu renungan untuk satu minggu. Dan, renungan-renungan ini diambil dari beberapa karya Maestro Sufi, Hazrat Inayat Khan. Inilah tahap Fiqr, seperti saya Jelaskan di atas; Ketiga, tahap Tajalli atau tahap pencerahan. Inilah tahap terakhir dimana anda bisa memilih duduk diam, hening atau berdansa, menari, atau mengungkapkan ketenangan diri anda, kebahagiaan anda.” (Krishna, Anand. (2002). Fiqr Memasuki Alam Meditasi Lewat Gerbang Sufi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama)

“Selama 9 hari, seratus orang dari berbagai kota secara sadar ‘mengkarantinakan diri’ di One Earth, Retreat Center yang didirikan oleh Bapak Anand Krishna. Di tempat ini, selama sembila hari mereka ‘turun mesin’, mentrasformasi diri, agar bisa hidup dalam Cinta.” Demikian ungkapan Mbak Wayan Suriastini dalam mengawali laporan kegiatan program tersebut.
Program diberikan dalam 3 tahapan:
1. Pertama, Tahap Pembersihan, yang dalaam sufi dikenal dengan istilah Takhali. Dalam tahaapan ini fisik, pikiran dan emosi dibersihkan dari hijab, tirai yang menutupi diri, sehingga pandangan kita menjadi lebih jernih. Ketidakjernihan bagaikan tirai, hijab yang menghalangi kita untuk menyadari kehadiran Allah dimana-mana termasuk di dalam kita sendiri.
2. Tahap Kedua: ketika pikiran dan emosi telah bersih, mereka daapaat ditransformasi untuk menggapai kesadaraan, ini yang disebut dalaam sufi sebagai Tahalli.
3. Transformasi melahirkan mind baru, lahirnya pikiran dan emosi yang baru. Dengan terjadinya transformasi ini lahirlah manusia baru. Ketika manusia baru ini lahir, hanya satu yang dia lakukan, yaitu merayakan kehidupan, dalam sufi dikenal dengan istillah Tajalli.
Kegiatan dimulai dari jam 6 pagi sampai jam 9.30 malam. Dimulai dengan meditasi dinamis Sufi Takhali dengan “Ya Hoo”.
Setelah makan pagi dilanjutkandengan meditasi Sufi Tafakur dengan pembahasan Hadist Qudsy yang dibawakan oleh Bapak Anand Krishna. Selanjutnya lagu-lagu pujian atau Sankirtan dilakukan sebelum makan siang.
Working meditation, Meditasi Therfa. Whirling dilakukan sampai sore hari.
Pada malam hari diskusi dengan para pembicara yang merupakan tokoh dari berbagai agama. Para pembicara program saat itu adalah: Bapak Nasarudin Umar yang berbicara tentang Islam; Bapak Frans Magnis Suseno berbicara tentang Katholik; Bapak Natan Setiabudi berbicara tentang Kristen Protestan; Bapak Jo Priastanaa berbicara tentang Buddha; Bapak Adi Suripto berbicara tentang Hindu; Bapak Chandra Setiawan berbicara tentang Khonghucu, dan Mr. Sharma yang sharing lagu-lahu pujian dari Sikh, Gurubani.
Di bawah ini tulisan diambil dari Sumber: anandkrishna@yahoogroups.com
Buddha (Husin Wijaya), Hindu (Putu Oka), Islam (Ahmad Yulden Erwin), Katolik (Erwin Thomas), Khonghucu (Rudy Winata), Kristen Protestan (Tunggul)

Esensi Agama Buddha
“Setiap avatar, setiap Buddha, setiap mesias memang selalu inkonsisten, karena mereka tidak pernah ‘mengagendakan’ hidup. Mereka sedang ‘mengalir’, mengikuti arus kehidupan. Mereka tidak memiliki rencana ‘pribadi’, mereka tengah mengikuti cetak biru Keberadaan. Mereka telah berserah diri sepenuhnya. Mereka berjiwa “Islam sejati”. Jadi, mereka memang harus inkonsisten, Tidak bisa konsisten.
“Yang konsisten adalah kita, saya dan anda yang masih belum bisa menerima ‘kehendak Ilahi’ yang masih penuh dengan keluh kesah. Tabungan di bank harus bertambah terus. Kalau tidak, kita mulai menjerit-jerit seperti anak kecil. Yang konsisten memang kita-kita ini. Kita mengagendakan hidup, merencanakan hidup, kita belum bisa mengalir bersama Dia. Kita masih memiliki ‘ego’ pribadi.
“Siddhartha adalah seorang Buddha, seorang yang telah terjaga. Dan yang sudah terjaga memang tidak bisa duduk diam. Ia akan berkarya, akan menggerakkan badan, akan berjalan. Akan mengalir bersama Keberadaan. Inkonsistensi berarti ‘gerakan’. Inkonsistensi berarti ‘aliran’. Sebaliknya, jika anda masih belum terjaga, jika anda masih tertidur, anda bisa menjadi sangat konsisten. Tidak ada gerakan, kecuali sesekali saja, untuk mengganti posisi tidur. Tidak ada yang berjalan, tidak ada yang mengalir. Demikianlah konsistensi adanya.” (Krishna, Anand. (2000). Ah Mereguk Keindahan Tak Terkatakan Pragyaa-Paaramitaa Hridaya Sutra Bagi Orang Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Jakarta)

Bapak Jo Priastana adalah Wakil Ketua I dari Sekolah Tinggi Buddhisme Nalaanda, beliau ikut mendirikan majalah Budhist Svaha, Media Bangsa dan Cenfo dan menulis sejumlah buku Buddhisme di antaranya Pokok-Pokok Mahayana, Buddhadharma dan Politik, Buddhadharma dan Seksualitas dan beberapaa buku lainnya.
Bapak Jo Priastaana menyampaikan melalui esensi setiap agaama akan diperoleh spiritualitas baru. Menurut beliau setiap agama akan bertemu di esensinya. Akan tetapi pandangan tersebut tidak mutlak, setiap orang bisa berbeda. Untuk menemukan esensi dari setiap agama, tidak terlepas dari penghayatan dan perilaku dari si penghayat itu sendiri.
Beliau berpendapat bahwa tidak satu pun agama terlepas dari keterkaitan manusia dan kemanusiaan dan sosok tokoh yang mempopulerkan agama yang bersangkutan. Beliau sendiri memasuki agama melalui teladan Sidhrata Gautama. Perjalanan kehidupan Sidharta dari seorang pangeran menjadi pertapa sangat menarik. Pada saat itu Sidharta adalah seorang yang radikal, dan menolak nilai-nilai yang telah usang. Sidharta juga merupakan seorang humanis, emansipatif dan Solider.
Sidhartaa mengejar pencapaian kesadaran Buddha, yaitu kesadaraan yang tidak diskriminatif lagi, yang melihat kesatuan di mana-mana., danmelihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Kesadaraan berlapis-lapis dan pada kesadaran badaniah nampak adanya penderitaan. Penderitaan terjadi karena badan tidak kekal dan selalu berubah. Fenomena usia tua, sakit dan kematian mengusik Sidharta.
Keterusikannya terhadap penderitaan membuat Sidharta menempuh hidup religius dalam mencari obat penawar penderitaan.
Menurut ajaran Buddha sumber dari penderitaan itu sendiri adalah kebodohan dan kemelekatan terhadap apa saja termasuk di dalaamnya kemelekatan terhadap konsep-konsep agama. Mau tidak mau menurut beliau perlu dilakukan revolusi kesadaaraan, merekonstruksi ulang pemikiran-pemikiran dan perilaku kita. Dalam bahasa Buddhist menumbuhkembangkan prajna, pandangan jernih, pandangan yang tidak diskrimininatif. Pandangan yang melihat kesatuan di balik perbedaan. Hadirnya sesuatu yang absolut di tengah-tengah hal yang relatif, atau melihat Kasunyataan dalam setiap hal.
Menurut Bapak Jo Priastana, Buddhis adalah agama pelatihan. Pemeluknya harus siap melakukan pelatihan diri untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi. Untuk memulai pelatihan, para pemeluk agama Buddha mengambil sumpah Tiga Perlindungan yang biasa disebut Tri Ratna. Berlindung dan berserah diri kepada Buddha, yaitu orang yang telah mencapai kesadaran murni, sebagai dokter yang mengobati penderitaan. Kedua berlindung kepada Dharma yang berisi Kasunyatan dan dapat diibaratkan sebagai obat kesadaran. Ketiga berlindung kepada Sangha, siswa-siswa yang berusaha mencapai kesadaran Buddha. Komunitas Sangha ini dapat diibaratkan sebagai perawat untuk mempertahankan kesadaran.
Semua pemahaman tentang kesempurnaan dan dan kebajikan Buddhism pada dasarnya berpuncak kepada Nirbana (kekosongan) dan dipenuhi hati yang welas asih (bodhichitta) karena manusia saling terhubung dan tergantung satu sama lain. Pemahaman tersebut akhirnya menggerakan hati nurani yang paling dalam yakni tumbuhnya perasaan kebersamaan (sunyata) terhadap semua eksistensi fenomena dan welas asih terhadap yang menderita.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone