12-21 November 2004
Cover Buku Five Steps Awareness
“Mengabdilah selalu pada Yang Mahamemiliki. Mengabdi kepada siapa? Berbakti kepada siapa? Kepada mereka yang mengaku mahatahu dan mahamemiliki? Kepada mereka yang telah menyadarkan hak kita untuk berpikir dan berperasaan?
“Kepada mereka yang ingin menguasai kita? Kepada mereka yang ingin menguasai kita? Tentunya tidak. Mengabdilah kepada Ia Yang Maha Memiliki. Kepada ia yang adalah Pemilik Tunggal Alam Semesta.
“Kepada Dia yang disebut Hyang Widhi oleh orang Hindu, Adi Budha oleh orang Buddhis, Bapa di Surga oleh orang Kristen, dan Allah oleh orang muslim. Dia pula Tao Yang Tak Terungkap, dan Kami Yang Tak Terjelaskan namun dapat ‘dijalani’, dilakoni dalam keseharian hidup. Dialah Satnaam para pemuja Sikh, Sang Nama Agung Yang Berada di Atas Semua Nama.
“Janganlah engkau goyah dari imanmu itu, dari pengabdianmu itu. Dari Iman pada Pengabdian itu sendiri!” (Krishna, Anand. (2006). Five Steps To Awareness, 40 Kebiasaan Orang Yang Tercerahkan, karya terakhir Mahaguru Shankara “Saadhanaa Panchakam”, Saduran & Ulasan dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Testimoni Peserta
Suatu pengalaman yang luar biasa. Bertemu dengan orang-orang yang berlatar-belakang berbeda, baik agama, pekerjaan dan juga dari berbagai tempat di Indonesia seperti Bali, Jogja, Semarang, Solo, Surabaya, Lampung, Pontianak, Medan. Berkumpul bersama, bercanda gurau bersama, bernyanyi dan menari bersama tanpa mempermasalahkan perbedaan latar-belakang yang ada. Dan, itu bagi saya merupakan hal yang luar biasa indahnya.
Pada acara ini terdapat pendalaman macam-macam agama besar yang ada seperti Katolik, Islam, Protestan, Buddha, Hindu dan Khonghucu dengan pembicara dari orang-orang yang berkompeten sehingga wawasan dan pengetahuan saya tentang agama lain bertambah.
Selain itu ada acara mengunjungi Kuil Hare Krishna, kunjungan ini bagi saya suatu yang luar biasa dan juga menambah wawasan, karena selama ini saya hanya mengetahui tentang Kelompok Hare Krishnan sekilas saja. Dengan kunjungan ini, saya bisa melihat suatu tradisi Hindu yang lain. Karena dalam kunjungan tersebut ada pernikahan sesama pengikut Hare Krishna, saya bisa lebih memahami tradisi Hare Krishna.
Bagi saya Bhinneka Tunggal Ika benar-benar terjadi di dalam program ini. Cinta kasih dan persatuan juga sangat terasa. Saya yakin ke-Bhinneka Tunggal Ika-an Indonesia akan kembali lagi dimana manusia Indonesiabisa menghargai perbedaan yang ada.
Disampaikan oleh Baloma dari Surabaya.
Bukan merupakan sebuah Kebetulan bahwa saya, istri dan 100 teman-teman memperoleh kesempatan mengikuti Retret ‘Program 9 Malam Menuju Tauhid’.
Sumber: anandkrishna@yahoogroups.com
Buddha (Husin Wijaya), Hindu (Putu Oka), Islam (Ahmad Yulden Erwin), Katolik (Erwin Thomas), Khonghucu (Rudy Winata), Kristen Protestan (Tunggul), Perangkum (Wayan Suriastini)
Esensi Agama Hindu
“Dari individualistik menuju holistik, inilah perjalanan yang harus kita tempuh bersama. Agama-agama kita pun awalnya mengajak kita untuk melakukan perjalanan yang sama. Al-Qur’an mengajak kita untuk melihat Wajah Allah di mana-mana, dan melayani sesama manusia. Injil menasehati kita untuk mencintai sesama sebagaimana kita mencintai Tuhan. Veda merumuskan bahwa Tuhan meliputi Alam Semesta. Dhammapada, Avesta, Guru Granth, semua kitab suci mengatakan hal yang sama. Mereka yang masih terkendali oleh insting hewani tidak mampu melihat kebenaran secara holistik.
“Celakanya bila dalam satu masyarakat atau satu kelompok agama, para pemimpin dan mereka yang dipimpin, para rohaniwan dan mereka yang menganggapnya sebagai panutan – sama-sama dikuasai oleh Lymbic. Ketaksadaran bertemu dengan ketaksadaran.
“Sesungguhnya mereka patut dikasihani. Terdorong oleh fight or flight mechanism, mereka hanya bertindak sesuai dengan perintah Lymbic yang menguasai mereka. Karena sangat individualistik, mereka selalu merasa ‘terancam’ dan dalam keadaan bahaya. Mereka tidak pernah hidup tenang dan kegelisahan pula yang mereka sebarkan kemana-mana.
“Bila ingin bebas dari keadaan ini, kita harus cepat-cepat mengubah cara pandang kita – dari individualistik menjadi holistik.
“Bebas dari kendali Lymbic, kita dapat menentukan sendiri apa yang baik, dan apa yang tidak baik ‘bagi diri kita’.
“Hanyalah orang-orang berpandangan holistik yang dapat mengantar kita pada Indonesia Baru. Dan saya yakin, kita tidak kekurangan orang-orang seperti itu. Sekarang, bagaimana mengumpulkan mereka dan menciptakan sinergi, networking. Itu saja. Berpandangan holistik, bagi saya, juga tidak berarti berhenti mengurusi negeri sendiri, dan membicarakan hal-hal yang bersifat internasional saja. Berpandangan holistik berarti peduli rumah sendiri, negeri sendiri, peduli lingkungan sekitar rumah, dunia, dan peduli alam semesta!” (Krishna, Anand. (2005). Otak Para Pemimpin Kita, Dialog Carut-Marutnya Keadaan Bangsa. One Earth Media)
Pembacara dari Agama Hindu adalah bapak Adi Suripto, Sekretaris Umum PHDI Pusat dan Kepala Rumah Ibadah di TMII.
Pak Adi dengan jujur mengemukakan sangat terkesan dengan Anand Ashram yang memberi contoh “bersatu dalam keberagaman”.
Beliau bercerita mengapa terjadi banyak agama dalam kehidupan manusia. Menurut beliau agama diturunkan untuk memanusiakan manusia sehingga dapat hidup dalam kasih. Perbedaan agama terjadi karena agama diturunkan di tempt yang berbeda dalam kurun waktu yang berbeda dan untuk menjawab tantangan masyaraakat yang berbeda pula. Kita tidak perlu ribut tentang kulit luar agama, tetapi lebih menghayati esensi agama dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga tujuan agama diturunkan akan tercapai.
Beliau menyinggung pentingnya menyadari budaya nusantara dan kembali ke nilai-nilai luhur bangsa. Bangsa kita telah memiliki budaya asli, sehingga kedatangan agama akan memperkaya kebudayaan Indonesia dan tidak menyingkirkannya.
Manusia adalah makhluk Rohani (atman) sehingga sudah menjadi kewajiban untuk melayani sang roh (atman) dan bukan sebaliknya.
Tuhan adalah Roh Utama (paramatman) yang melampaui segala penjelasan, Acyntia. Sesungguhnya atman dan paramaatman adalah satu.
Atman tidak menyadari hakekat dirinya karena keterikatan dirinya pada badan, pada dunia. Untuk menydari kesatuan ini, atman harus membebaskan dirinya dari keterikatan.
Beliau mengutip salah satu ayat dalam Bhagavad Gita dimana Krishna menyatakan bahwa sesungguhnya seluruh jalan menuju Tuhan, sehingga seluruh jalan adalah sah. Kebenaran adalah satu adanya, dan para bijak menyebutnya dengan banyak nama.
Beliau juga menjelaskan tentang Panca Sradha yaitu lima keyakinan:
Keyakinan akan adanya Tuhan yang disebut dengan banyak nama dan dicapai dengan banyak jalan.
Keyakinan akan adanya atman (jiwa) yang sesungguhnya adalah satu adanya dengan Tuhan.
Keyakinan akan hukum sebab-akibat yang melahirkan kejidupan ini.
Keyakinan akan perjalanan jiwa menikmati hukum sebab-akibat dalam kelahiran yang bberulang (reinkarnasi).
Keyakinan bahwa jiwa dapat bebas (moksa).
Agama adalah untuk diri sendiri. Tugas setiap manusia adalah senantiasa memperbaiki dirinya setiap saat sehingga menjadi lebih baik, sempurna.
Esensi Agama Islam
“Idries Shah memang benar – persatuan dan kesatuan semacam ini tidak pernah bisa diterima oleh mereka yang tidak berjiwa Sufi. Para sufi sebaliknya tidak bisa melihat perbedaan. Mereka melihat aliran kesatuan dan persatuan di balik perbedaan yang disebabkan oleh budaya-budaya yang berbeda.
“Menurut Idries Shah, Rumi telah melampaui batas-batas yang disebabkan oleh kesadaran rendah, kesadaran biasa. Ia telah mencapai kesadaran tinggi, kesadaran luar biasa. Itu sebabnya, olehnya hanyalah kesatuan dan persatuan.
“Pada dasarnya saya menolak segala macam ‘isme’. Spiritualitas tidak mengenal ‘isme’. Lagi pula saya tidak ‘mencampur-adukkan’ agama. Lewat buku-buku itu, saya ingin mengajak para pembaca untuk menemukan ‘esensi agama’ atau ‘spiritualitas’ – yang memang satu adanya. Pada saat yang sama, saya juga tidak ‘menolak’ agama. Upaya saya sangat persuasif. Saya ingin menyadarkan para pembaca, juga mereka yang datang ke Ashram, bahwa Kebenaran Itu Satu Ada-Nya.
“Islam, Hindu, Buddha, Kristen dan agama-agama lain hanyalah sisi-sisi Kebenaran Yang Satu Itu.” (Krishna, Anand. (1999). Cakrawala Sufi 3, Kembara Bersama Mereka Yang Berjiwa Sufi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Prof. Dr. Nasaruddin Umar menyampaikan bahwa secara sosiologis ada 3 komponen Islam di Indonesia saat ini. Secara statistik Nasarudiin menyampaikan bahwa pendukung Islam garis keras (2004) hanya sekitar 3 %. Yang berhadapan dengan pendukung Islam Liberal yang juga sekitar 3%. Sedangkan sisanya sebanyak 94% adalah pendukung Islam mayoritas yaitu Naahdaatul Ulama, Muhammadiyah dll.
Perkembangan dukungan masyarakat terhadap keberadaan Islam garis Keras dan Islam Liberal sebenarnya berkat dukungan pemberitaan – baik secaraa langsung atau tidak langsung – yang dilakukan media masa. Sedangkan keberadaan Islam mayoroitas dikecilkan oleh media masa juga.
Beliau menceritakan pengalamannya sewaktu menjadi pembicara pada diskusi terbatas dengan beberapa pakar Islam dan Indonesianis di George Town University USA. Menurut beliau “Kyai” tidak identik dengan pemimpin Islam Garis Keras, tetapi lebih sebagai tokoh cultural di masyarakat yang memiliki pemahaman mendalam tentang agama Islam. Para Kyai adalah para ahli dan praktisi Tasawuf yang menganjurkan sikap lemah-lembut dan bijak dalam melakukan dakwah Islam. Kemudian, mengenai Madrasah di Indonesia tidak sama dengan madrasah di Pakistan atau negara Timur-Tengah yang dijadikan sarana pelatihan bagi para penganut Islam Garis Keras untuk melakukan tindakan teror. Madrasah di Indonesia adalah tempat pendidikan agama Islam yang kurikulum pendidikannya pun disesuaikan dengan pendidikan umum. Soal pengertian jihad menurut beliau mempunyai akar kata dalam bahasa Arab “jahadah” yang artinya bersungguh-sungguh dalam berjuang. Dari kata jahadah tersebut berkembanglah kata jihad yang artinya perjuangan fisik, ijtihad yang artinya perjuangan akal, dan mujahadah yang artinya perjuangan nurani. Menurut beliau, jika Jihad mengabaikan Ijtihad dan Mujahadah, maka Jihad itu akan diselewengkan menjadi tindakan teror.
Beliau mengingatkan bahwa pada suatu ketika Rasul Muhammad kedatangan beberapa orang tamu beragama Nasrani. Waktu itu Rasul menerima tamunya di Mesjid. Setelah pertemuan selesai, para tamu yang beragama Nasrani itu pamit ke luar Masjid untuk berdoa. Tetapi Rasul Muhammad mencegahnya dan berkata, “Silakan berdoa di dalam Masjid, bukankah di sini juga Rumah Tuhan?”