Mungkin ini agak sedikit kurang-ajar ya Bu…
Saya memanggil Panjenengan dengan hanya menyingkat saja. Namun begitu, saya rasakan itu membuat saya lebih dekat dan akrab dengan Panjenengan, yang hari ini diperingati dengan kegembiraan dan keriangan dalam busana adat , yang makin langka dipakai sebagai busana harian, seperti yang dahulu Panjenengan gunakan dalam segala kegiatan serta dalam segala kerepotan yang ada, tentu saja ya Bu Kar…
Mengingat Panjenengan selalu membuat saya bahagia Bu Kar…
karena saya mengenal Panjenengan sejak study tour waktu Sekolah Dasar dulu. Mengunjungi rumah yang menjadi museum pengingat sejarah atas segala aktivitas panjenengan sebagai Ibu, Istri, Nyonya dan juga pengerak pendidikan bagi kaum perempuan di waktu itu.
Dan tadi saya sempat membuat survey kecil-kecilan, yang tentu saja tidak valid dengan meminta gambaran atau semacam pandangan bagaimana perempuan itu sendiri memandang sebentuk perayaan dan juga hasil-hasil dari pemikiran Panjenengan yang terkenal dalam buku dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang” itu.
Dan yang menjadi menarik, selalu saja ada perdebatan tentang perayaan memperingati Panjenengan, Bu Kar…
ya biasalah. Masyarakat kita itu mulai mempertanyakan ? Seperti dulu juga Panjenengan mempertanyakan segala hal dalam surat-surat Panjenengan yang tertutup kepada teman baik Panjenengan dari negara Belanda itu.
Curhatan panjenengan itu telah mengubah yang tertutup menjadi terbuka.
Dan saya ingat ketika membaca sebuah cerita tentang Panjenengan yang mempertanyakan agama, tentang bagaiamana Bahasa Arab yang di pakai untuk membaca kitab suci Al-quran yang tidak Panjenengan mengerti dan mempertanyakan dengan kritis kepada seorang Kiai.
Beruntung sekali kiai itu terbuka dan mau mengerti. Saya tidak membayangkan jika itu dipertanyakan di belahan timur tengah sana. Mungkin ceritanya bisa lain Bu Kar…
Mereka yang konservatif akan menganggap Panjenengan ganjil dan menjadi musuh yang akan diperangi, seperti ketika seorang anak gadis Malala yang hanya ingin bersekolah saja sampai harus menderita luka tembak di kepalanya.
Dan berkat itu pula, kalau boleh dibilang begitu, selanjutnya anak gadis tersebut dianggap sebagai pahlawan yang berani menyuarakan dirinya.
Kembali soal survey saya yang tidak valid dengan responden 3 perempuan itu ya Bu Kar….
ada yang menyatakan bahwa berkat surat korespondensi Panjenengan serta gerakan mengajar yang Panjenengan prakarsai di rumah, mampu menjadikan anak perempuan sekarang bisa bebas belajar menuntut ilmu setingggi-tingginya, sesuai dengan kemampuan otak dan juga duit, tentu saja.
Karena di zaman sekarang ini, tidak ada pendidikan yang benar-benar gratis, meskipun sudah ada BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Namun ada saja pengeluaran ini itu yang harus ditanggung peserta didik.
Maklumlah Bu Kar…zaman telah berubah mengikuti kehendak para pelakunya. Namun pemikiran Panjenengan tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan tetap saja memberi inspirasi dalam setiap zaman. Aksara yang Panjenengan tuliskan akan abadi.
Dan saya membenarkan pendapat responden yang saya tanya tadi siang, bahwa Panjenengan itu memang sosok pejuang — disebut Pendekar — yang cerdas, berpikiran lebih maju —berkat bacaaan buku-buku bahasa Belanda dan juga meguru — dibanding mereka yang sezaman dengan Panjenengan.
Meskipun sekarang ini pemikiran Panjenengan agak dilupakan, yang di
Ingat dan dimeriahkan (mungkin) pesta memakai baju adat, yang merupakan sejenis propaganda kebudayaan yang dulu di bawa saat tinggalan Orde Baru, namun itu bagus juga bagi anak-anak negeri ini untuk tidak lupa busana adatnya.
Makasih ya Bu Kar…
Kehadiran Panjenengan telah membawa kebaikan bagi bangsa ini.Saya mengharapkan akan banyak perempuan yang tidak hanya berbusana adat namun juga memiliki pemikiran luas, cerdas serta spiritualis seperti Panjenengan.
Salam Kartini Indonesia…
Malam Rabu, 21/04/2015