Ayu Ratri menaiki tangga batu alam menuju tingkat dua Perpustakaan Dewantara Tagore. Matanya menatap banyak hal menarik.
Sebuah tata letak yang artistik sekali dari berbagai bentuk, baik berupa patung, gambar lukisan, maupun wayang.
Samar-samar didengarnya suara alat musik bali dari bambu yang merdu yang mengalun. Walaupun tidak terlalu mengerti tentang tangga nada dan birama. Telinganya selalu menyukai suara instrumental dari alat-alat musik yang alami dan tidak ketinggalan juga lirik-lirik lagu yang kuat menyemangati untuk menghidupi kehidupan ini.
” Silahkan, Mbak Ratri…ini adalah ruangan baca tempat koleksi buku sekitar 6000 buku dari Mahatma Anand. Ada bermacam buku di sini, mulai dari komik yang ringan sampai filsafat Nietsche yang berat itu.
Bersenang-senanglah dengan buku ini. Anda bebas mengambil buku yang anda sukai, namun nanti tolong dikembalikan kembali ke tempatnya.”kata Sitepu dengan ramah.
Ayu Ratri mengangguk dan tersenyum. Ini pengalaman pertama memasuki perpustakaan yang indah ini. Di atas tembok itu dilihatnya salib besar dengan sosok Isa yang disalibkan. Disampingnya ada lukisan yang sangat menarik sekali. Seorang –yang mirip– Isa sedang duduk dalam sikap sempurna padmasana. Matanya terpejam dengan latar belakang pegunungan.
“Ah…indah sekali,” batinnya
Diambilnya sebuah buku karangan seorang padri Katolik yang sangat terkenal dengan cerita-cerita pendeknya yang penuh inspirasi itu, Father Tony, demikian biasa dia di panggil.
Kemudian dia duduk di kursi dengan meja kaca warna coklat bata yang tersedia di tengah ruangan itu. Perlahan-lahan mulai dibacanya buku berjudul ” Dipanggil untuk Mencintai” itu.
Angannya sedikit mengembara sejenak tentang sebuah arah perjalanan hidupnya yang mengantarnya sampai saat ini.
Ketika kemarin mengikuti Expo Meditasi dan Yoga (www.sehatholistik.com) yang dilakukan di Aula As.Salam ada sebuah insight yang ada di pikirannya. Ada sebuah puzzel yang mulai terangkai dalam pencarian hidupnya. Suasana yang didapatnya itu rasanya begitu familiar dengan hatinya. Jiwanya merasakan ketenangan dan kedamaian yang utuh.
” Bandingkan keindahan dan kemegahan bunga mawar yang sedang mekar dengan ketegangan dan kegelisahan hidup anda. Bunga mawar yang bersahaja itu mempunyai anugerah yang tidak anda miliki, yakni ia puas menjadi dirinya.
Sejak lahir ia, tidak seperti anda, tidak diprogram untuk tidak puas terhadap dirinya. Maka, ia tidak mempunyai dorongan sedikit pun untuk menjadi sesuatu yang lain kecuali dirinya yang ada sekarang. Itulah sebabnya bunga mawar memiliki kemuliaan sejati dan tidak memiliki konflik batin. Pada manusia, keadaan seperti ini hanya ditemukan pada anak-anak kecil dan para mistikus.”
Demikian sepenggal kata renungan dari Father Tony yang dibacanya namun belum selesai ketika ada panggilan dari Mbak Dwi untuk makan malam dahulu di dapur La-Shaolin.
Ayu Ratri lalu beranjak berdiri dan mengembalikan buku itu di raknya. Lalu beranjak mengikuti Mbak Dwi yang tidur sekamar dengan dirinya.
” Nanti selesai makan kita akan menonton sebuah film, Mbak Ratri…judulnya “The Truman’s Show”.”kata Mbak Dwi sambil berjalan ke dapur.
*******
Renungan yang di baca sejenak tadi membuat Ayu Ratri merenungkan kembali tentang jalan hidupnya.
” Berapa banyak dari diri kita bebas seperti bunga mawar itu?
Berapa bebas dari kita dari penilaian masyarakat terhadap diri kita? Kita mesti dikondisikan sama dengan keadaan orang lain? Harus begini, mesti begitu. Kita dibuat tidak puas dengan diri sendiri.”
Setelah mengikuti pelatihan tadi pagi sampai siang serta mendapatkan terapi Neo Zen Reiki, ada rasa lega dan santai didapatnya. Dan kata-kata Father Tony itu menjadi penegasan bagi dirinya. Kepuasan diri tidak bisa diperoleh dari luar. Itu mesti tumbuh dari diri sendiri. Dan latihan meditasi dan yoga dapat menjadi sarana mencapai itu.
Dan pengalaman weeken di Padepokan Satu Bumi ini mengantarnya pada sebuah dunia baru yang lain. Sebuah pengalaman yang indah dan menyemangati hidupnya untuk bisa terus berusaha menjadi diri sendiri, menjadi bunga mawar yang merona merah secara alami.
” Silahkan, Mbak Ratri masuk ke mobil, kita akan pulang bersama,” kata Mas Zee.
Dan ketika Avanza abu-abu itu bergerak menyusuri jalan Bukit Pelangi yang mulai ramai itu, samar-samar lagu Sheila on7 mengalun dari radio, sebuah band dari Jogjakarta yang mengantarnya ingat akan kota tua tempat kelahirannya itu,
” Jabat tanganku, mungkin untuk yang terakhir kali
Kita berbincang tentang memori di masa itu
Peluk tubuhku usapkan juga air mataku
Kita terharu seakan tidak bertemu lagi
Bersenang-senanglah
Karna hari ini yang kan kita rindukan
Di hari nanti sebuah kisah klasik untuk masa depan
Bersenang-senanglah
Karna waktu ini yang ‘kan kita banggakan di hari tua
Sampai jumpa kawanku
S’moga kita selalu
Menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan
Sampai jumpa kawanku
S’moga kita selalu
Menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan
Bersenang-senanglah
Kar’na hari ini yang ‘kan kita rindukan
Di hari nanti…
Mungkin diriku masih ingin bersama kalian
Mungkin jiwaku masih haus sanjungan kalian”
“Terima kasih, Mbak Astari…sudah mengajak saya mengikuti weekend yang indah ini. Senang rasanya bisa ketemu kalian semua. Semoga lain waktu saya bisa bertemu dengan Mahatma Anand yang mempunyai koleksi buku di perpustakaannya yang indah itu,” ucap Ayu Ratri.
” Iya, Mbak Ratri…smoga…”
Dan Avanza itu menyusuri jalan raya Sentul dengan pemandangan danau serta hijau pegunungan di luar sana.
” Bersenang-senanglah karena waktu ini akan kita rindukan…” demikian suara Vokalis Duta masih terdengar di lirik akhir lagu yang menjadi salah satu lagu yang di sukai Ayu Ratri.
Bukit Pelangi…
Selasa, 11 Agustus 2015