Kalau kita mendengarkan orang bicara tentang pantai, yang terbayang di benak adalah sebuah tempat yang nyaman, sejuk dengan pohon nyiur yang melambai-lambai ditiup angin pantai. Sebuah tempat yang dapat melepaskan kepenatan dan ketegangan dari berbagai macam aktifitas yang kita lakukan. Kuta, nama sebuah kawasan dengan pantainya yang sudah mendunia, entah sudah berapa juta tubuh manusia di basuh di sana. Kuta tidak pernah mengeluh, segala kotoran dan bau keringan manusia di lebur kembali oleh deburan ombaknya. Walaupun demikian yang namanya manusia selalu saja berbuat hal-hal yang melampaui batas kewajarannya.
Sejak dunia mengenal Kuta dengan pasir putih dan ombaknya yang begitu mempesona, ideal bagi para petualang air. Berbondong-bondong para investor datang kesana. Dollar mengalir deras sederas ombaknya, masuk tanpa batas, melampaui sekat-sekat kebutuhan dan tak pernah puas memenuhi hasrat keinginan. Manusia yang dulunya hidup sederhana, menyatu dengan alam, satu persatu pergi tanpa meningalkan jejak yang jelas. Para pendatang dari berbagai penjuru dunia hadir disana, menetap dan bermukim. Konsekwen logis dari sebuah pembangunan, begitulah ucap para pejabat. Penduduk asli daerah itu memang masih ada, hanya sedikit terhimpit oleh bangunan megah disekitarnya. Sungguh suatu pemandangan yang mencengangkan jika kita pergi kesebuah sudut jalan di mana warung makan penduduk bersaing ketat dengan warung makan orang bule. Begitu mudah mereka mendapatkan fasilitas dan izin semacam itu, tak bisa dibayangkan jika pemilik warung orang Bali itu ingin membuka warung di negara asal sang bule. Mimpi kali ya bli,..
Sekali waktu coba kita masuki lorong demi lorong, gang demi gang, sudut demi sudut di Kuta, nafas akan menjadi sesak, tiada ruang untuk bernafas lagi. Sawah yang dulu menghampar mengkuning hilang berganti bangunan beton, tanah rawa pun di embat. Pembunuhan atas nama pembangunan terus terjadi. Hotel, villa dan ruko-ruko berdiri megah, membusungkan dada kemenangannya. Menaklukan rasa kemanusia di hati manusia.
Manusia hanya menggagap kehidupan hak mereka. Lain dari itu bisa disingkirkan dengan mudah. Nenek moyang manusia Bali meninggalkan pedoman hidup luhur bersama alam” Tri Hita Karana”. Maksud mereka tentu bukan sekedar di baca dan dihapal sebagai pemanis dalam setiap pertemuan, wacana, atau pidato, baik resmi maupun tidak resmi. Tapi bagaimana kita bisa mengimplementasikan dalam kehidupan kita bersama.
Sayang hal itu ibarat panggang jauh dari api, selama ini pengelihatan kita coba dikelabui dengan berbagi rentetan kegiatan upacara ritual, aksi dana punia yang dilakukan manusia-manusia berduit di tempat-tempat suci disekitarnya. Kuta kian hari kian kelabu, awan hitam keserakahan bergerak semakin tebal menyelimuti. Air lautnya patut kita teliti kembali berapa jauh pencemaran yang terjadi akibat limbah hotel, mall, villa dan ruko-ruko disekitarnya. Udara disekitarnya kian panas, terasa begitu menyengat kulit, pasir putihnya banyak ditemukan bekas-bekas jarum suntik para jungkies. Ruang hijaunya jangan ditanyakan lagi, mungkin hanya dapat kita temukan saat kita berembahan dan memejamkan mata, mengenang beberapa puluh tahun lalu.
Kenangan itu hanya menjadi sebuah kenangan, desah resah angin di Kuta membawa kabar dari seorang teman yang bekerja di suatu lembaga pemerintah disana. Ia membisikan kegelisah hatinya, Kuta memiliki berbagai lembaga baik pemeritahan maupun lembaga masyarakat yang seharus bisa berfungsi untuk tetap menjaga dan melestarikan jiwa dan roh kawasan pantai yang termasyur tiada tara itu. Menjaga alam disekitarnya, menjaga kebersihan pasir putih dan airnya.
Tapi apa yang ia alami ditempat kerjanya sungguh sangat memilukan hatinya, kumpulan manusia yang mendewakan materi. Pembangunan ekonomi tanpa didukung pembangunan ekologi. Nurani di kesampingkan, Tri Hita Karana hanya mudah diucapkan, didendangkan untuk menemani kita tidur. Saat mata terbuka dan melihat disekeliling kita parade pembangunan Hotel, Villa, Mall dan Ruko terus berjalan seperti menyampaikan sebuah pesan “ Jangan ada Tanah Tersisa, Jangan ada Dollar lepas dari Genggaman kita ”.
Pembangunan yang tidak berorientasi ramah lingkungan, pada akhirnya akan membawa bencana bagi kita semua. Saat ini kita masih takjub melihat fenomena angin putting beliung yang datang beberapa waktu lalu, semoga esok kita tidak menjerit ketakutan dan air mata mulai berjatuhan. Tiada kata terlambat, saat ini juga mari kita bangkit bersama, secara sadar, berani, dan sopan kita tegur pemerintah yang kebablasan. Sentuh hati mereka, pemerintah, pemilik modal, para pelaku pariwisata, dan tamu-tamu yang datang kesana untuk bersama menjaga kehidupan ini.
oleh Hadi Susanto