April 15, 2011

Beberapa Karakter Utama Manusia Zaman Alengka di Tengah-Tengah Bangsa Kita

Sepasang suami istri sedang membaca dukungan para tokoh terhadap Pak Anand Krishna yang sedang mengalami ketidakadilan dan beliau sudah puasa makan selama 39 hari untuk memprotes ketidakadilan yang menimpanya. Di antaranya adalah….

http://www.mediaindonesia.com/read/2011/04/15/218333/37/5/Pengadilan-Terhadap-Anand-Krisna-tidak-Wajar

Sang Istri: Aku baru saja membaca buku “Rupa &Karakter Wayang Purwa”, sebuah ensiklopedi karakter wayang yang bagus……. Wayang adalah simbol dari karakter manusia. Biasanya dalam satu kotak wayang kulit ada sekitar 250 wayang, tetapi wayang yang lengkap bisa mencapai 400 buah. Berarti ada contoh simbol dari 400 karakter manusia. Sehingga kita bisa melihat karakter apa yang sesuai dengan diri kita. Karakter kita bukan harga mati, kita bisa mengubahnya, akan tetapi merupakan suatu perjuangan yang berat untuk memperbaiki karakter kita.

Sang Suami: Baiklah istriku, mari melihat tokoh-tokoh yang ada di Zaman Alengka. Pertama Resi Wisrawa…. Resi Wisrawa adalah seorang raja yang merasa sudah cukup lama berkuasa dan meninggalkan kenyamanan istana guna mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Akan tetapi sang resi masih punya keterikatan dengan sang putra, Danaraja yang menggantikannya sebagai raja Lokapala. Sang putra mabuk kepayang ingin mempersunting Dewi Sukesi, akan tetapi sang putra takut karena semua kesatria yang datang meminang sang putri harus memenangkan pertarungan melawan Patih Harya Jambumangli adik Prabu Sumali yang diam-diam jatuh cinta kepada sang keponakan. Semua kesatria yang datang meminang telah dibunuhnya.

Sang Istri: Wisrawa merupakan figur seorang yang sudah pensiun, sudah mantan pejabat, tetapi belum mempercayai putra-putrinya agar hidup mandiri. Dia sedang mencari jalan pulang kembali kepada Yang Maha Kuasa, tetapi karena keterikatannya pada putra-putrinya yang dianggapnya belum mapan, maka dia terus terikat dengan duniawi yang bisa menggelincirkannya.

Sang Suami: Figur selanjutnya, Dewi Sukesi, putri raja Alengka, putri Prabu Sumali, seorang putri cantik, cerdas, sangat percaya diri serta penuh semangat. Sang putri menerima saran sang ayahanda bahwa pemilihan suaminya melalui pertarungan antar kesatria tidak perlu diperpanjang lagi. Dewi Sukesi kemudian memilih calon suami siapa pun juga yang dapat menjabarkan kitab “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu”.

Sang Istri: Dewi Sukesi menggambarkan figur seorang wanita yang cantik, cerdas, putra pejabat yang ambisius yang ingin memperoleh apa pun yang menjadi ambisinya. Walaupun ambisinya dapat menimbulkan resiko yang berbahaya.

Sang Suami: Resi Wisrawa berangkat ke Alengka  untuk mendapatkan jodoh bagi sang putra. Akan tetapi sewaktu menguraikan makna “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” kepada Dewi Sukesi, mereka berdua terlena dan melakukan hubungan suami istri. Apa pun alasannya seorang laki-laki yang berdekatan dengan seorang wanita cantik, mudah tergelincir dari cita-cita sebelumnya. Dewi Sukesi ingin menjadi murid dari Resi Wirawa dalam hal ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Ilmu yang dapat meruwat, mengembalikan kembali sifat keraksasaan menjadi sifat keilahian.

Sang Istri: Seorang murid sejati adalah seseorang yang berkeinginan tunggal atau “murad” untuk mengalami penyatuan dengan Keberadaan, manunggal dengan Gusti. Sang murid telah paham bahwa dunia ini hanya sebuah ilusi, permainan pikiran, dan oleh karena itu Keberadaan membimbingnya sehingga dia dapat bertemu dengan Guru untuk memandunya dalam menjalani kehidupan spiritual. Sang Guru dan Sang Murid hanya melaksanakan ridho Keberadaan. Mungkin contoh yang baik hubungan antara Guru dan Murid adalah hubungan antara Sri Rama dengan Hanuman. Hanuman pasrah total kepada Sri Rama yang merupakan wujud keilahian, Hanuman tidak memiliki keinginan secuilpun kecuali dekat dengan Sri Rama dan menjalankan perintah Sri Rama.

Sang Suami: Resi Wisrawa dalam mengupas Sastrajendra masih menuruti ego pribadi untuk mendapatkan jodoh bagi sang putra. Dewi Sukesi dalam menerima pengetahuan juga masih mempunyai keterikatan terhadap ego pribadi untuk mencari suami yang hebat. Mereka berdua masih menuruti hasrat ego-nya, bukan ridho Keberadaan, mereka belum mencerminkan hubungan antara Guru dan Murid Sejati. Dalam buku “Menyelami Samudra Kebijaksanaan Sufi”, Anand Krishna, PT Gramedia Pustaka Utama, 2001 disampaikan…….. Mereka yang jiwanya telah mati sibuk mencari kehidupan. Mereka yang jiwanya hidup mengejar kematian. Suatu paradoks tetapi Begitulah adanya. Apabila anda tidak merasa hidup, Anda akan selalu mengejar kehidupan. Apabila Anda tidak merasa sehat, Anda akan mengejar kesehatan. Apa pun yang Anda rasakan tidak “ada” dalam diri Anda, akan Anda kejar. Anda akan membanting tulang untuk memperolehnya. Sebaliknya, mereka yang merasakan dirinya hidup, mereka yang telah mengenal kehidupan dari dekat, mereka yang telah puas menjalani kehidupan tidak akan mengejar kehidupan lagi. Mereka yang sehat tidak mengejar kesehatan……..

Sang Istri: Sifat keraksasaan dalam diri harus diruwat, dikembalikan ke keadaan asalnya. Dan untuk mensucikan jiwa, harus menggunakan raga. Oleh karena itu Resi Wisrawa mengajak Dewi Sukesi, untuk kembali membumi untuk menyelesaikan tugas mengendalikan keraksasaan, mengendalikan Diyu dalam diri! Dewi Sukesi yang merasa belum terpuaskan keingintahuannya, belum mau menyudahi penjelasan tentang Satrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu……. Begitu larutnya mereka dalam penjabaran Sastrajendra, sampai mereka lupa bahwa “Diyu”, sang raksasa dalam diri mereka yang lama terpendam bangkit dan menutup kesadaran mereka. Keduanya bahkan gagal memaknai Sastrajendra, Sang Tulisan Agung. Mereka melakukan hubungan suami istri. Mereka tidak dinikahkan oleh orang tua atau dinikahkan oleh pelaksana ritual pernikahan, tetapi mereka dinikahkan oleh syahwat mereka………. Mereka melahirkan empat anak, Rahwana atau Dasamuka, Kumbakarna, Sarpakenaka dan Gunawan Wibisana……

Sang Suami: Tokoh berikutnya adalah Rahwana. Rahwana adalah seorang yang ulet dan gigih dalam mengejar cita-citanya. Hal itu dibuktikan dengan tindakan dia yang bertapa selama 100 tahun memohon kepada Dewa Brahma (Kekuasaan untuk mencipta segala sesuatu). Rahwana berhasrat menciptakan kenyamanan duniawi terutama kenyamanan atas kekuasaan dan kekayaan. Oleh karena itu dia Ingin sakti luar biasa tidak bisa kalah oleh saingannya. Rahwana menghalalkan segala cara. Rahwana yang juga disebut Dasamuka bisa dimaknai mempunyai sepuluh kepala, sepuluh otak, sangat cerdas dan mempunyai keserakahan yang luar biasa. Rahwana merupakan perwujudan dari sifat agresif.

Sang Istri: Rahwana adalah figur dari orang-orang yang cerdas, yang bersemangat selama masa pendidikan, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya termasuk membayar para pemilihnya, memberi jabatan kepada orang yang mendukung kepentingan pribadinya. Menyelamatkan pejabat yang bermasalah asal mendukungnya. Orang yang tega mengorbankan siapa pun, termasuk mengorbankan teman kolega, koalisi, atau kelompoknya sendiri. Orang yang tega menghancurkan musuhnya dengan segala cara. Menghabisi mereka yang beda keyakinan, beda pendapat dengan dirinya. Anak buahnya disuruh menyusup ke tempat musuhnya, seperti Kala Marica yang mengubah diri menjadi kijang kencana untuk memperdaya Dewi Sinta. Orang yang menggunakan kaki tangannya untuk menjatuhkan pasukan kebenaran yang dipimpin Sri Rama dengan kekerasan.

Sang Suami: Figur berikutnya adalah Kumbakarna. Kumbakarna adalah putra Sukesi yang tidak mau berbuat jahat. Kelemahannya hanya suka makan dan tidur. Kumbakarna tidak menyetujui tindakan Rahwana menculik Dewi Sinta. Dia menolak perang melawan Sri Rama, akan tetapi karena diingatkan negaranya dalam bahaya, maka dia maju perang bukan untuk membela kebenaran tetapi untuk membela negara.

Sang Istri: Kumbakarna adalah figur dari orang-orang yang tidak setuju dengan ketidakbenaran yang dilakukan pemimpinnya, akan tetapi dia tak peduli, yang penting mereka tidak ikut, dan mereka hanya memuaskan kesenangan fisiknya sendiri. Figur dari orang-orang yang tidak berani bersuara karena merasa nyaman berada dalam comfort zone. Mereka tidak sadar bahwa kenyamanan mereka hanya semu.  Kumbakarna juga figur dari orang-orang yang mendiamkan ketidak benaran karena rasa korps. Orang-orang yang tahu boss mereka salah tetapi tetap melawan orang-orang yang menyerang instansinya.

Sang Suami: Kemudian figur Sarpakenaka. Dia pandai mengubah penampilan diri guna memenuhi ambisinya. Dia bisa mengubah dirinya menjadi gadis cantik menawan kala bertemu Sri Rama dan Laksmana. Sarpakenaka mempunyai 3 orang pasangan hidup tetapi masih suka selingkuh, diantaranya selingkuh dengan Kala Marica, anak buah Rahwana yang pandai mengubah penampilan dari raksasa menjadi kijang kencana yang menawan. Sarpakenaka juga seorang hiperseks.

Sang Istri: Sarpakenaka adalah figur dari orang-orang yang munafik, yang pandai mengubah citra diri guna mencapai ambisi mereka. Orang-orang yang memuaskan nafsu pribadinya dengan segala cara. Mereka berubah-ubah penampilannya demi ambisi pribadinya. Figur dari orang-orang yang pandai mencari pembenaran dari peraturan untuk memuaskan nafsunya.

Sang Suami: Bila Kumbakarna kesadarannya terpusat pada makan, minum dan tidur atau lapisan kesadaran dasar pertama. Kesadaran Sarpakenaka terpusat pada seks atau lapisan kesadaran kedua. Kesadaran Rahwana terpusat pada kenyamanan atau lapisan kesadaran ketiga. Ketiga lapisan tersebut masih merupakan instink dasar manusia yang masih sama dengan instink hewani yaitu makan-minum, seks dan cari nyaman. Bedanya hanya kualitas saja, manusia makan steak weldone, sedang hewan makan daging mentah. Manusia berhubungan seks dengan istrinya, hewan dengan setiap lawan jenis. Manusia tidur di rumah sedang hewan tidur di liang atau pohon…….. Selanjutnya adalah figur  Gunawan Wibisana. Gunawan Wibisana berani bersuara kepada Rahwana, bahwa tindakannya menculik Dewi Sinta itu tidak benar. Gunawan Wibisana berani diusir dari istana gara-gara membela kebenaran. Wibisana tahu kejahatan yang merajalela harus dihentikan. Karena bila dibiarkan akan merusak masa depan bangsanya. Kesadaran Gunawan Wibisana sudah berada di dada. Di Rasa. Dia sudah tidak memperhitungkan matematika untung rugi. Dia menjunjung tinggi kebenaran. Awalnya dia tidak memakai kekerasan dan hanya menyuarakan kebenaran. Akan tetapi setelah diusir maka dia melawan kejahatan demi penegakan kebenaran.

Sang Istri: Wibisana adalah figur dari orang-orang yang berani bersuara tentang kebenaran, mesti mereka diusir dari comfort zone nya. Dia paham comfort zone mereka yang diam seperti Kumbakarna, hanya comfort zone semu. Karena kejahatan yang merajalela ada batasnya. Kekuasaan pemimpin yang terlalu lama di negara-negara Timur Tengah pun kena masalah.  Wibisana adalah figur orang-orang yang berani menyuarakan kebenaran walau mendapat intimidasi oleh para raksasa yang ingin melanggengkan kekuasaan mereka.

Sang Suami: Semua karakter tersebut ada dalam diri kita semua. Adalah pilihan kita untuk menjadi Rahwana, Kumbakarna, Sarpakenaka atau Wibisana. Tidak mudah memang menjadi seorang Wibisana. Dalam cerita ramayana dia hanya diusir, di zaman sekarang sifat kerahwanaan semakin parah, Wibisana zaman sekarang bisa mengalami seperti Pak Anand Krishna yang difitnah dan dipaksa mengalami ketidakadilan……. lihat http://freeanandkrishna.com

Sang Istri: Aku Ingat pesan Pak Anand dalam buku “Be The Change, Mahatma Gandhi’s Top 10 Fundamentals For Changing The World”, Anand Krishna, PT Gramedia Pustaka Utama, 2008…….. Hidup adalah sebuah perjuangan. Berjuanglah terus-menerus demi penegakan dharma, demi hancurnya adharma. Kita tidak di sini untuk saling jarah-menjarah, atau saling rampas-merampas. Kita tidak mewarisi budaya kekerasan dan barbar seperti itu.

Jangan berjuang untuk tujuan-tujuan kecil yang tidak berguna. Jangan berjuang untuk memperoleh kursi yang dalam beberapa tahun saja menjadi kadaluarsa. Jangan berjuang untuk memperoleh suara yang tidak cerdas.

Berjuanglah untuk tujuan besar untuk sesuatu yang mulia. Berjuanglah untuk memperoleh tempat di hati manusia, ya manusia, bukan di hati raksasa. Berjuanglah untuk mencerdaskan sesama anak manusia, supaya mereka memahami arti suara mereka, supaya mereka dapat menggunakan hak suara mereka sesuai dengan tuntutan dharma. Perjuangan kita adalah perjuangan sepanjang hidup. Perjuangan kita adalah perjuangan abadi untuk melayani manusia, bumi ini dengan seluruh isinya, bahkan alam semesta. Janganlah mengharapkan pujian dari siapa pun jua. Janganlah menjadikan pujian sebagai pemicu untuk berkarya lebih lanjut. Berkaryalah terus menerus walau dicaci, dimaki, ditolak…….. Berkaryalah karena keyakinan pada apa yang mesti kita kerjakan.

Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.net/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

http://www.kompasiana.com/triwidodo

April 2011

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone