March 30, 2011

Perjuangan Menegakkan Ke-“Bhinneka Tunggal Ika”-an Di Tengah Kegamangan Sebuah Bangsa

Sepasang suami istri sedang berbincang mengenai kondisi bangsa yang masih saja tidak dalam keadaan tenang. Baru saja teror bom buku belum tuntas, masyarakat sudah disuguhi masalah PSSI yang memakan energi bangsa.

Sang Suami: Aku, seperti halnya sebagian besar masyarakat sudah jenuh melihat jagat perpolitikan yang ditampilkan di tengah panggung bangsa. Akan tetapi, kemarin kebetulan aku melihat debat di TV One tentang Ahmadiyah. Kebanyakan yang hadir dengan berapi-api memojokkan pihak Ahmadiyah. Mereka menganggap kekerasan bukan hanya yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kelompok Ahmadiyah, akan tetapi pandangan Ahmadiyah pun merupakan kekerasan terhadap pandangan mereka. Aku sendiri tidak paham tentang Ahmadiyah, akan tetapi aku menjadi tertarik, karena ini menyangkut pandangan seseorang tentang kebenaran yang diyakininya. Mari kita diskusi tentang pandangan seseorang tentang kebenaran……

Sang Istri: Aku hanya merenung, kita lahir dengan sifat genetik yang diwarisi lewat orang tua kita. Kemudian kita mendapat pendidikan lewat orang tua, lewat pendidikan sekolah dan lingkungan. Maka kebenaran bagi seseorang adalah kebenaran menurut apa yang dipahaminya, apa yang diajarkannya sejak kecil. Beda orang tua, beda pendidikan, beda lingkungan, beda negara maka pandangan kebenarannya akan berbeda. Mereka yang diajari sejak kecil untuk fanatik maka kebenaran akan diikutinya secara fanatik. Ini adalah masalah programming…….

Sang Suami: oleh karena itu aku tidak heran dengan pandangan Pak Syafii Maarif dalam Tribunews 26 April 2010. Mantan Ketua PP Muhammadiyah tersebut mengatakan bahwa sekarang ini pluralisme terancam oleh kelompok tertentu yang mencoba memaksakan pendapatnya. Beberapa kelompok diantaranya bahkan berkedok agama dengan memvonis kelompok lain sesat. “Agama itu datangnya secara nisbi, jadi harus dipahami sebagai sesuatu yang nisbi juga. Jangan dianggap sebagai sebuah kebenaran yang mutlak, karena kebenaran mutlak itu hanya milik Tuhan YME,” ujar Syafii. Dijelaskan oleh Syafii, pluralisme merupakan roh bangsa ini dalam bernegara. Oleh karena itu, pluralisme harus dijaga eksistensinya. Pihak-pihak yang mencoba mengganggu pluralisme harus dilawan, karena hal itu merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Lebih lanjut diungkapkan oleh Syafii tak ada satu ummat dan kelompok manapun yang berhak memfatwakan sesat atas sebuah penafsiran ajaran agama. Juga tak boleh ada satu umatpun yang boleh menyatakan dirinya paling benar dalam beragama. “Setiap umat, entah itu Hindu, Budha, Islam, Nasrani atau ajaran apapun juga tentu akan merasa bahwa ajaran mereka yang paling benar. Kita tak usahlah untuk saling mengklaim seperti itu,” ujar Syafii. “Saya orang yang tidak setuju dengan ajaran Trilogi Ahmadiyah. Tetapi, kalau ada yang melakukan kekerasan terhadap Ahmadiyah, saya yang akan membelanya. Tindakan kekerasan alasan apapun harus dilawan, “ tandas Syafii.

Sang Istri: Aku hanya merenung, pandangan jernih beberapa orang tokoh pencinta bangsa seperti Pak Syafii Maarif, Pak Anand Krishna dan lain-lainnya sekarang ini kurang mendapat porsi pemberitaan….. Para pendiri negara ini ketika menyusun konsep dasar negara. Sadar betul bahwa kesatuan bangsa ini harus tegak diatas kekuatan moral yang universal. Bhineka Tunggal Ika bukanlah istilah mudah untuk dipahami apabila tidak didasarkan oleh keyakinan bersama tentang asas moral yang universal. Bagaimana perbedaan (plurarisme) dapat diakui untuk menjalin persatuan (tunggal)? Para pendiri negara menempatkan ruh kekuasaan kedalam sila ke empat “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. Bahwa negara ini adalah negara kerakyatan. Bukan negara kekuasaan. Bukan pula negara partai. Ini Negara kerakyatan!

Sang Suami: Kini setelah reformasi dan di amandemen nya UUD 45 maka kekuatan Pancasila sebagai pemersatu dari pluralisme menjadi luntur. Hikmat kebijaksanaan digantikan kepentingan mayoritas. Makanya tidak aneh bila Politik Parlemen kita menjadi seperti bursa saham. Birokrat kita seperti broker. Penegak hukum kita seperti arranger. Semuanya harus ada fee dan laba yang harus didapat. Maka jangan pernah berharap akan lahirkan kebijakan untuk menjawab masalah kebenaran, kebaikan dan keadilan……

Sang Istri: Aku kembali merenung, apakah suara mayoritas itu selalu benar? Sekarang ini terjadi perubahan di Timur Tengah. Mereka punya agama yang sama, dasar agamanya juga sama, mayoritasnya sama, akan tetapi tetap saja terjadi friksi antara penguasa dan pihak oposisi. Sama-sama berdasar agama yang satu ingin melanggengkan kekuasaan bagi dinastinya, yang lain menginginkan demokrasi. Tidakkah ini membuat kita sadar? Selalu saja ada friksi karena ada beda pandangan walau mayoritasnya sama.

Sang Suami: Benar istriku, kembali ke masalah mindset, mind programming….. Para pencetak pelaku kekerasan paham tentang subconscious mind. Mereka telah membentuk pola pikiran bawah sadar para pelaku tindak kekerasan. Semakin muda mereka dibentuk, semakin kuat pola tersebut mencengkeram diri mereka. Para pelaku kekerasan tidak sadar bahwa panggilan suci mereka adalah panggilan ‘mindset’ yang sengaja dibentuk oleh para pencetak pelaku kekerasan. Para pelaku merasa berjalan menapaki jalan suci, padahal mereka korban pembentukan mind-set, mereka menjadi budak dari pikiran bawah sadar yang telah terbentuk sejak kecil.

Sang Istri: Dalam Jangka Jayabaya ditulis adanya “zaman jaran makan sambel”, kuda yang doyan sambal. Kuda sebetulnya tidak doyan sambal. Tapi, pada zaman tersebut diceritakan ada kuda yang menjadi doyan sambal. Saat ini beberapa anak bangsa mudah ngamuk, gampang lepas kendali, sulit diatur, dan merasa benar sendiri. Saya yakin bahwa kita sebenarnya bukanlah bangsa yang suka “sambal kekerasan”.

Sang Suami: Karena mind programming sejak kecil, ada mindset dari sebagian masyarakat yang merasa memperoleh mandat dari Yang Maha Kuasa untuk merusak apa saja yang mereka tidak suka. Merusak atas nama, kepercayaan, dogma, doktrin, dan peraturan-peraturan menurut pemahaman mereka. Dan “majority yang silent”, membuat negara kita semakin parah. Janganlah kita melakukan kekerasan, tetapi jangan pula membiarkan kekerasan terjadi pada diri kita. Itu bukan “Non Violence”, itu bukan “Ahimsa”. Menolak kekerasan berarti menolak segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan yang ditujukan kepada kita.

Sang Istri: Bangsa ini membutuhkan perubahan drastis dalam hal berpikir, sebuah revolusi pemikiran. Masalah bangsa kita bukanlah masalah agama, akan tetapi masalah conditioning, masalah programming. Kita diprogram untuk mempercayai hal-hal tertentu. Kita membutuhkan revolusi untuk mengubah pola pikir yang sudah terlanjur dogmatis. Dibutuhkan revolusi kasih untuk mengubah pola pikir yang sudah terlanjur dilumuri oleh arogansi dan rasa benci. Kita perlu mencerdasakn bangsa dengan menyampaikan bahwa kita ini satu saudara satu tanah air.

Sang Suami: Pak Anand Krishna berusaha menyampaikan tentang kebhinnekaan, bila kondisi pengkotak-kotakan sejak kecil terus dilakukan, maka persatuan bangsa akan goyah. Pandangan beliau ini jelas tidak disenangi kelompok tertentu. Dan Pak Anand mendapatkan ketidakadilan dengan tuduhan pelecehan seksual yang dalam sidang yang tengah berjalan tidak terbukti, karena saksi-saksi yang menyampaikan hal yang berubah-ubah dan tidak sama dengan BAP. Muatan pelecehan seksualpun hanya sekitar 10%, lainnya mengadili pandangan kebangsaannya…….

Sang Istri: Pak Anand mengingatkan bangsa ini kita ini bahwa kita berada dalam satu bumi yang sama, dilingkupi satu langit yang sama, dan sama-sama satu umat manusia….. Rukun dan berdamailah. Perbedaan jangan sampai merusak tali persaudaraan kita…..

Sang Suami: Komplek Rumah Kebhinnekaan satu per satu sudah terbakar dan api sudah merembet semakin dekat, mungkinkah kita hanya duduk diam dan berpangku tangan? Tidak semua rumah-rumah tersebut sesuai selera dengan kita, akan tetapi rumah-rumah tersebut berdiri di atas Hak Milik NKRI dengan Ijin Mendirikan Bangunan sesuai UUD’45. Di lain pihak nampaknya kekerasan demi kekerasan dibiarkan terjadi tanpa tindak lanjut…. Bersuaralah……

Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.net/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

http://www.kompasiana.com/triwidodo

Maret 2011

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone