April 10, 2011

Ancaman Disintegrasi Bangsa Dan Neo-Devide Et Impera

Malam itu sepasang suami istri sedang bercengkerama memperbincangkan berbagai berita yang diterbitkan koran dan berbagai berita lainnya yang mudah ditemukan dalam internet serta beberapa informasi dari teman-teman mereka, sumber pertama di kehidupan masyarakat nyata.

Sang Isteri: Kebanyakan orang-orang Indonesia, selalu mengatakan negara kita dalam keadaan baik-baik saja, mengalir saja, seakan-akan tak ada hal yang mengkhawatirkan dalam kehidupan kebangsaan. Ibarat kodok yang berada dalam panci rebus yang airnya mulai hangat, sang kodok tidak sadar bahwa panasnya naik pelan-pelan dan bila tidak segera keluar dari panci dia akan mati karena air yang mendidih. Demikianlah banyak orang yang merasa berada dalam comfort zone dan lupa keadaan sudah mulai kritis.

Sang Suami: Seandainya saja kita lebih jeli, kita akan melihat beberapa kebiasaan anak-anak bangsa yang kurang baik. Kita selalu menyalahkan dan mencari-cari kesalahan orang lain. Kita tidak melihat ke dalam diri untuk mencari kesalahan dan kekurangan, kelemahan dan kekhilafan diri.  Kita selalu berfokus pada perbedaan bukan kesamaan yang ada. Kita cenderung memisahkan dan memecah-belah, daripada bersatu dan bertemu.  Kita lebih suka hal-hal yang mudah dan menyenangkan, meskipun salah. Kita menjauh dari apa yang benar hanya karena hal itu membutuhkan kerja keras. Kita membenarkan kekacauan dan penganiayaan yang kita lakukan kepada orang lain, tetapi tidak suka menerima perlakuan serupa dari orang lain. Hal demikian seakan-akan sudah menjadi biasa.

Sang Isteri: Iya dan semuanya berawal dari pendidikan. Sejak kecil, anak-anak sudah dimasukkan dalam sekolah dengan azas agama tertentu. Ada saja yang mengajari bahwa teman sesama agama adalah saudara. Mereka tanpa sadar mengucilkan teman-temannya yang berbeda agama. Dan ini sudah berjalan lama, pemahaman sewaktu kecil ini akan dibawa-bawa hingga anak-anak dewasa. Mereka lupa kita semua adalah satu saudara dan hidup di bumi Indonesia. Kita diberi makan-minum, tempat tinggal, pekerjaan di bumi Indonesia, akan tetapi kita tidak sadar ada tindakan kita yang membawa masalah bagi bangsa. Bukan masalah kecil tetapi masalah besar bagi kebersatuan bangsa.

Sang Suami: Kita dapat membaca dari internet, “PPIM director Jajat Burhanudin said the teachers’ anti-pluralist views would be reflected in their lessons and contribute to growing conservatism and radicalism among Muslims in the country” (http://www.thejakartapost.com/news/2008/11/26/most-islamic-studies-teachers-oppose-pluralism-survey-finds.html)

Sebagian dari anak-anak kecil akibat dari guru agama yang tidak menghargai toleransi, maka setelah dewasa merasa benci terhadap agama lainnya. Dapat kita lihat di internet diskusi tentang perbedaan agama, sudah sangat mengkhawatirkan. Majalah-majalah yang bernuansa religius pun banyak yang isinya menyebar kebencian pada agama yang lain, belum lagi selebaran yang diperuntukkan bagi kalangan sendiri. Mantan pengikut suatu keyakinan  bila memberikan kesaksian seperti barisan sakit hati yang haus popularitas di tempat baru. Kita tidak pernah sadar hal tersebut membahayakan eksistensi bangsa.

Sang Isteri: Memang banyak orang lebih suka membanding-bandingkan dan menjelek-jelekan agama orang lain. Mereka lebih banyak membicarakan agama orang lain dibandingkan membicarakan agama sendiri dan juga moral perilaku para pengikutnya sendiri. Jika seperti itu perilakunya, kapan bangsa kita bisa bersatu? Kita merasa para penjajah zaman dahulu menggunakan politik “devide et impera”, memecah belah bangsa. Akan tetapi kita tidak sadar bahwa saat ini perbuatan kita sendiri telah memecah belah bangsa.

Sang Suami: Bangsa ini menghadapi suatu penyakit ganas yang siap merusak tubuhnya. Kita tidak sadar tindakan kita sendiri telah membuat tubuh menderita sakit parah di masa depan. Jika tidak ada apresiasi terhadap agama lain, jika tak segera ditangani, seakan-akan kita menunggu waktu saja….. Bukankah orang yang berbeda agama adalah bangsa Indonesia juga? Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika seakan-akan sudah tidak digunakan sebagai alat pemersatu lagi. Semoga para pemuka agama mempunyai kesadaran berbangsa dan menyebarkannya ke seluruh umatnya. Kita rindu sosok Gus Dur yang mencintai bangsanya. Sayangnya para pemimpin bangsa dibelit masalah dukungan partai politik, sehingga terasa tidak tegas. Masalah mafia pajak, masalah mafia hukum, terorisme, rencana pembangunan gedung DPR baru yang menguras energi.

Sang Isteri: Bangsa ini sudah harus mengadakan introspeksi, kerja keras untuk bersatu. Bagaimana menerapkan ajaran leluhur : “Perlakukanlah orang lain seperti kita ingin diperlakukan”. Kaidah emas tersebut perlu dijadikan pedoman utama untuk mempersatukan bangsa terutama dalam hal agama. Ajaran leluhur kita sangat mulia.

Sang Suami: Karena itulah kita tertarik pada Gerakan Integrasi Nasional, National Integration Movement. Orang-orang Indonesia dari berbagai latar belakang agama, suku, etnis, gender dan pendidikan yang punya kepedulian tinggi terhadap masalah persatuan dan kesatuan bangsa. Mereka merespon atas adanya ancaman terhadap integrasi bangsa, terutama yang disebabkan karena pertikaian atas nama agama dan etnis, di berbagai wilayah Indonesia. Berbekal hati nurani dan akal sehat, mereka bermaksud mengkritisi sekaligus memberi sumbangan tenaga dan pikiran atas berbagai soal yang muncul di masyarakat, pada setiap aspek, kehidupan, yang dinilai membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa – untuk kemudian disuarakan secara lugas, jelas dan terbuka…….  Proklamasi kemerdekaan fisik oleh para founding fathers di tahun 1945 dan diteruskan melalui pembangunan di segala bidang kehidupan, bukanlah sebuah proses yang sudah selesai. Lebih mendasar dari itu, kemerdekaan jiwa bagi setiap anak bangsa harus terus diwujudkan dan diperbaharui, sebagai pondasi utama dalam membangkitkan Indonesia, yang akan memainkan peranan aktif menuju sebuah masyarakat dunia yang tidak mengenal diskriminasi dalam bentuk apapun. Satu bumi, satu langit, satu umat manusia.

Sang Isteri: Demi menuju masyarakat baru yang kita cita-citakan itu, kita perlu meneguhkan komitmen untuk menjaga dan mempertahankan keutuhan bangsa dari ancaman disintegrasi yang datang dari dalam maupun luar negeri. Dengan bersenjatakan Pancasila yang merupakan rumusan jenius nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tersebar di seluruh penjuru negeri, kita semua, Putra-Putri Ibu Pertiwi, harus bersatu membangkitkan bangsa ini dan membersihkan setiap jengkal tanah air Indonesia dari belukar kesadaran rendah yang tidak mampu melihat kesatuan di balik keragaman budaya Nusantara.”

Sang Suami: Sayangnya Pak Anand Krishna penggagas gerakan integrasi bangsa yang telah nyata terbentuk dari orang-orang dari berbagai suku, agama, gender, profesi dan usia yang mengapresiasi perbedaan dan bersatu untuk menciptakan masyarakat berkesadaran dihambat. Pak Anand dituduh melakukan pelecehan seksual, yang dalam sidang belum terbukti dan bahkan selama lebih dari 5 bulan hanya terkait dengan 10% masalah utama sedangkan sisanya berupa penghakiman pandangan pak Anand yang sebenarnya telah ditulis dalam 140-an buku yang dijual bebas di luar tanpa masalah. Silakan lihat berkas fakta di http://freeanandkrishna.com/

Sang Istri: Dalam konteks ini perlu dipahami, bangsa dan negara hanyalah sebuah konsensus. Bila konsensus tidak lagi diakui, maka eksistensi bangsa dengan sendirinya hilang, dan bersamaan dengan itu negara pun akan rontok. Semoga anak-anak bangsa sadar dan bergerak ke arah persatuan bangsa. Semoga perjuangan Pak Anand tidak sia-sia.

Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.net/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

http://www.kompasiana.com/triwidodo

April 2011

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone