June 13, 2008

Kebenaran Semu Akibat Belenggu Conditioning

Sekelompok masa melakukan tindak kekerasan terhadap sebuah kelompok lain yang sedang berkumpul dengan tujuan damai. Pemicunya adalah fatwa tentang “kebenaran”. Apakah kebenaran yang diyakini ini benar berdasarkan pandangan politis yang berujung kekuasaan ataukah suatu tindakan yang bersifat benar, tulus dan keluar dari hati nurani? Penyelesaian oleh yang berwenang pun terperangkap dalam kebenaran menurut kerangka tertentu. Kebenaran itu sebenarnya apa? Apakah kita semakin jauh terpeleset dari kebenaran dan terperangkap dalam belenggu kebenaran semu?

Ilmu medis mengakui adanya kebiasaan-kebiasaan dan kecenderungan-kecenderungan khas yang ada dalam diri manusia. Stimulus atau rangsangan yang dilakukan berulang kali membentuk synap-synap saraf baru dalam otak. Sesuatu hal yang dilakukan berulang kali menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan yang dilakukan berulang kali menjadi perilaku dan bahkan karakter. Sesudah karakter terbentuk, maka setiap masalah yang dihadapi akan diselesaikan berdasarkan program dari karakter tersebut. Karakter tersebut sudah menjadi bagian dari Otak Bawah Sadar manusia. Sirkuit synap-synap saraf otak hasil conditioning oleh orang tua, masyarakat, pendidikan, adat-istiadat, agama, dan lain sebagainya telah menjadi lebih permanen, stabil dan sulit dihilangkan. Dalam bahasa meditasi, inilah yang disebut mind. Manusia diperbudak oleh belenggu conditioning tersebut dan tidak bebas lagi untuk mengekspresikan dirinya.

Meditasi mengantar kita pada penemuan jati diri. Latihan-latihan meditasi akan membebaskan manusia dari conditioning yang membelenggu jiwanya. Kemudian, yang tertinggal adalah synap-synap baru yang masih labil, yang muncul lenyap, thoughts. Thoughts akan selalu segar. Tidak basi seperti mind. Dengan thoughts kita bisa hidup dalam kekinian.

Manusia yang serakah, berbudaya tak kunjung cukup, keadaannya sama dengan orang yang kecanduan obat-obatan. Ketagihan oleh narkotika atau oleh uang, seks dan lain-lain, mekanismenya sama : dosisnya harus bertambah terus. Ketagihan stimulus pemenuh instink hewani atau property addict persis sama dengan narcotic drug addict. Kecanduan kekerasan pun juga keadaannya tidak jauh berbeda.

Menurut ilmiah, kebenaran bagi yang mengeluarkan fatwa, kebenaran bagi yang mempraktekkannya dengan kekerasan adalah hasil conditioning bawah sadar. Perilaku ini dimanfaatkan oleh mereka yang mendapat keuntungan dari hal tersebut. Bahkan, sebagian oknum membuat conditioning bagi kepentingan mereka. Fatwa merupakan conditioning bagi mereka yang meyakininya.

Menurut beberapa pakar, fatwa pada dasarnya adalah sebuah konsep Islam yang perannya baru datang agak belakangan. Di masa Nabi, istilah “fatwa” secara teknis tidak pernah dikenal. Ada sebuah hadis Nabi yang cukup terkenal, yakni “Istafti qalbak” (mintalah fatwa dari hatimu), hadis ini menegaskan karakter fatwa yang personal dan individual, dan bukan proyeksi sebuah lembaga.

Setelah kerajaan Islam semakin besar, khususnya setelah memasuki abad ke-8, fatwa mulai dilembagakan dan memainkan peran penting. Dalam sejarah Islam, sering terjadi perkaitan antara agama dan politik, antara ulama dan penguasa. Di masa silam, adalah lumrah menyaksikan kerjasama antara ulama dan penguasa untuk mengefektifkan sebuah fatwa.

Menurut beberapa pakar, ketidak-beranian masyarakat mengambil keputusan dan menanti fatwa adalah gejala “ketidakdewasaan moral”. Menanyakan hukum mengenai segala sesuatu menandakan bahwa masyarakat tidak berani berpikir sendiri. Mereka memandang bahwa hukum adalah sesuatu yang tertera dalam teks Kitab Suci, sementara hasil penalaran manusia bukan dianggap sebagai suatu hukum yang mengikat. Karena orang-orang yang dianggap sebagai ahli tentang teks agama adalah para ulama, maka mereka selalu berpaling kepada ulama untuk menanyakan segala hal. Kalau sudah demikian, maka kualitas ulama itulah yang menjadi titik persoalan. Bagaimana para ulama mempergunakan hati nuraninya.

Sangat penting bagi manusia untuk mengembangkan kesadaran moral yang tinggi, mendalam, dan penuh tanggungjawab. Hal itu tak bisa lain kecuali jika masyarakat terus mengasah agar nuraninya berkembang dengan sehat. Nurani yang sehatlah yang akan menjadi pemandu bagi seorang beriman. Sehingga masyarakat dapat melaksanakan Hadis Nabi yang terkenal, “Istafti qalbaka”, mintalah fatwa pada nuranimu sendiri. Manusia tidak boleh taqlid membuta.

Manusia harus mempertanggung-jawabkan semua tindakan anggota tubuh pada hari pembalasan. Pikiran, ucapan, dan perbuatan yang telah dilaksanakan mempengaruhi dunia, dan kita tidak dapat mengembalikan dunia menjadi seperti sebelum terjadinya perbuatan kita. Kebenaran yang diyakini mestinya adalah kebenaran nurani, bukan kebenaran conditioning pikiran. Dia bersemayam dalam hati nurani hamba-Nya yang beriman, bukan dalam pikiran manusia yang penuh rekayasa. Hati nurani adalah kalbu tempat dimana tidak ada belenggu conditioning. Hari pembalasan adalah pasti, adanya sebab-akibat adalah pasti, dan kepastian itu muncul dari naluri, intelegensia hati nurani, agar manusia berintrospeksi, mengendalikan nafsu dan jiwanya kembali dalam keadaan tenang.

Dalam konteks keterkaitan ilmiah, maka hubungan antara agama dan politik harus kita waspadai sehingga ia tidak sampai berjalan pada posisi yang salah. Salah satu kriteria yang mudah dikenali agar dapat menarik batas yang mana politik yang harus dihindari adalah dengan menghindari penggunaan kekerasan. Artinya politik yang harus dihindari adalah politik yang menyangkut perebutan kekuasaan melalui penggunaan kekerasan, termasuk dengan memperalat orang lain atau suatu organisasi. Penggunakan simbol-simbol agama untuk hal demikian bisa sangat menyesatkan.

Triwidodo.

Juni 2008.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone